Lelaki juga bisa jadi korban
Siapa pun bisa menjadi korban KBGO, termasuk laki-laki. Berdasarkan aduan yang diterima LBH Banda Aceh, korban kekerasan seksual online yang meminta bantuan hukum justru kebanyakan kaum adam.
Aulia menceritakan LBH Banda Aceh pernah menerima aduan dari seorang lelaki yang mendapatkan ancaman penyebaran konten intim pada tahun 2022. Sama seperti kasus lainnya, ini juga bermula dari hubungan asmara jarak jauh di media sosial.
Dalam hubungan itu, korban mengirimkan video masturbasi ke akun yang mengaku sebagai perempuan. Namun, Aulia menduga, pelakunya sebenarnya bukan perempuan.
Video itu kemudian digunakan pelaku untuk memeras korban. Awalnya, pelaku meminta pulsa, tetapi lama kelamaan juga meminta uang sebanyak Rp500 ribu. Pelaku berjanji tidak akan menyebarkan konten intim tersebut jika terus diberi uang.
“Korban kirimkan uang itu agar konten intim itu tidak disebarkan, walaupun masih ada peluang video itu muncul lagi. Namun, sejauh ini kontennya tidak tersebar,” ujar Aulia.
Kasus lainnya melibatkan seorang mahasiswa dari luar daerah yang berkuliah di Banda Aceh. Selama kuliah, ia berpacaran dengan perempuan asal Aceh. Mereka beberapa kali melakukan hubungan suami istri yang direkam di ponsel masing-masing.
Sampailah tiba ia dinyatakan lulus dan mendapatkan gelar sarjana dari kampus, korban berencana pulang ke kampung halamannya. Namun, pacarnya tidak rela ditinggal dan meminta dinikahi.
Ketika korban menolak, pacarnya mengkloning semua kontak di ponsel korban dan mengancam akan menyebarkan video intim mereka kepada keluarga korban. Ancaman itu kemudian juga berubah menjadi pemerasan. Pelaku meminta sejumlah uang kepada korban yang menolak menikahi pelaku.
Baca juga: Pilkada 2024 dan Kemajuan Aceh Barat¹
Potensi mengkriminalisasi korban
Belum ada instrumen hukum yang cukup tegas untuk melindungi korban KBGO. Kehadiran UU ITE dan UU Pornografi justru berpotensi memidanakan korban lantaran dianggap ikut berkontribusi dalam produksi konten pornografi.
Sebagaimana UU Pornografi No. 4 Tahun 2008 pasal 4 ayat (1) dan Pasal 29 yang menyatakan bahwa siapa pun yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menyebarkan, atau menyediakan pornografi dapat dipidana dengan penjara 6 bulan hingga 12 tahun dan atau denda Rp250 juta hingga Rp6 miliar.
Begitu juga dalam UU ITE, Pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa siapa pun yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat informasi elektronik yang memuat kesusilaan dapat dipidana hingga 6 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
“Karena konteksnya siapa yang menyiarkan dan memproduksi gambar atau video yang punya nuansa pornografi, keduanya dapat dijerat,” kata Aulia.
UU ITE dan UU Pornografi, menurut dia, berpotensi mengkriminalisasi korban karena belum memberikan definisi yang jelas mengenai pengertian korban dan pelaku. Meskipun ada dilema ini, terdapat argumen hukum yang dapat digunakan untuk membela korban, yaitu bahwa konsen yang diberikan telah dilanggar dan dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan pemerasan.
“Dari segi hukum bisa bangun dalilnya karena selama konten itu dibuat untuk urusan privasi. Secara hukum UU ITE, ujaran kebencian itu berlaku jika di-posting dalam ruang publik. Begitu juga dengan konten pornografi tadi, walaupun perbuatannya tidak dibenarkan. Akan tetapi, secara hukum hanya bisa dijerat jika ranahnya publik,” jelasnya.
Di sisi lain, pemahaman aparat penegak hukum tentang KBGO juga masih lemah. Dalam praktiknya, kasus KBGO hanya dipandang sebagai kejahatan siber walaupun terdapat unsur kekerasan seksual yang jelas di dalamnya. Selama ini, banyak kasus yang ditangani menggunakan pendekatan UU ITE.
Padahal, sudah ada UU Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022 yang secara khusus mengatur kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Aturan hukum ini lebih relevan digunakan dalam menangani kasus KBGO karena menyediakan perlindungan yang komprehensif kepada korban, termasuk mengakui dampak psikologis yang dihadapi korban.
Psikolog klinis dari Universitas Syiah Kuala, Zahrani, menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual berbasis daring dapat mengalami gangguan yang berdampak pada kondisi psikis mereka. Pada tingkat ringan, korban mungkin mengalami kecemasan, kegelisahan, dan mudah stres.
Pada tingkat yang lebih parah, korban bisa menderita gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD). Gangguan mental ini muncul karena korban belum sepenuhnya pulih dari pengalaman traumatis yang dialaminya. Korban mungkin mengalami serangan panik berlebihan (panic attack) jika teringat pada kenangan traumatis yang menimpanya.
“Dalam kondisi sosial, masalah psikis ini juga dapat memunculkan kecemasan sosial berlebihan yang kemudian membuat korban membatasi berinteraksi dengan orang lain atau mengisolasi diri karena merasa tidak aman,” kata Zahrani.
Kasus KBGO yang dilaporkan ke Polda Aceh juga masih dikategorikan sebagai kejahatan siber. Dalam penanganannya, kasus-kasus ini dilimpahkan ke tim unit siber yang khusus menangani kejahatan digital. Tim unit siber bertanggung jawab untuk melakukan penyelidikan, mulai dari pelacakan jejak digital pelaku hingga analisis teknis terhadap bukti elektronik.
Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Aceh, Kompol Ibrahim, menjelaskan bahwa kebanyakan kasus KBGO yang diterima cenderung diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Artinya, penyelesaian perkara pidana melalui solusi di luar jalur peradilan formal, seperti melalui dialog dan mediasi.
Mekanisme penyelesaian seperti ini sudah tertuang dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Pasal 16 ayat 1 dan 2 Perpol Nomor 8 Tahun 2021 menyebutkan bahwa setelah pelaku dan korban sepakat berdamai disertai dengan bukti telah dilakukan pemulihan hak korban, penyidik dapat menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan (SP3).
Begitu pula dalam Pasal 7 dan 10 Perja Nomor 15/2020, jika pelaku dan korban sepakat berdamai, maka kepala kejaksaan tinggi akan menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKKP).
Penyelesaian kasus dengan pendekatan keadilan restoratif ini biasanya pada kasus penyebaran konten seksual yang sebelumnya direkam atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Alasannya, korban bisa saja terjerat UU Pornografi dan juga tidak sanggup bila konten seksualnya itu harus disaksikan oleh banyak orang ketika dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
“Setelah itu, korban cabut laporan tapi efek jeranya akan kita bikin surat perjanjian pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya dan HP pelaku juga kita hancurkan,” katanya.
Pentingnya literasi digital
Pada triwulan pertama 2024, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat bahwa kasus KBGO di Indonesia meningkat empat kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlah pengaduan mencapai 480 KBGO, sedangkan periode sebelumnya "hanya" 118 aduan.
Dari 480 aduan tersebut, mayoritas korban merupakan perempuan dengan jumlah 293, kemudian 174 adalah laki-laki, dan lima aduan dari nonbiner. Berdasarkan usia, 57 persen berumur 18-25 tahun, 26 persen berusia anak, 13 persen berusia 26-35 tahun, dan dua persen berusia 36-45 tahun.
Berdasarkan jenisnya, KBGO yang marak terjadi ialah ancaman penyebaran konten sebanyak 253 aduan. Kemudian sektorsi ada 90 aduan, dan penyebaran konten intim tanpa izin atau non-consensual intimate image abuse (NCII) sebanyak 73 aduan.
Kebanyakan kasus yang terjadi dilihat dari modusnya merupakan imbas masalah personal dengan jumlah 137 aduan, lalu panggilan video seksual (VCS) sebanyak 127 aduan. Selain itu, modus yang marak terjadi adalah manipulasi hubungan dengan jumlah 79 kasus, dan KBGO dari orang tidak dikenal sebanyak 50 kasus.
Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet, Aseanty Pahlevi, menyampaikan peningkatan kasus KBGO berkaitan erat dengan lemahnya pemahaman masyarakat terhadap literasi digital. Literasi digital yang dimaksud mencakup pengetahuan tentang hak-hak digital, yakni hak untuk mengakses internet, hak untuk berekspresi, dan hak atas rasa aman.
Pada kasus KBGO, kebanyakan yang terjadi bermula karena adanya pelanggaran hak digital. Pelaku mengingkari konsen yang diberikan korban.
Dia menjelaskan bahwa pemahaman konsen ini juga belum diketahui dengan baik oleh masyarakat, banyak yang menganggap bahwa konsen yang diberikan pada saat distribusi konten digital—seperti nomor telepon, foto, atau video—berlaku permanen.
Kesalahpahaman mengenai konsen ini membuat banyak orang yang ketika menerima distribusi konten merasa memiliki hak penuh untuk menggunakan atau menyebarluaskan konten tersebut tanpa batasan.
“Perlu diketahui kalau konsen itu tidak berlaku sepanjang masa. Misalnya, kalau saya mengirimkan foto kepada orang lain, ketika ingin diteruskan lagi berbeda konsennya. Jadi, berubah sewaktu-waktu,” jelas Aseanty.
Selain itu, kurangnya pemahaman masyarakat tentang berperilaku digital yang aman sering kali membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi digital. Banyak masyarakat yang belum menyadari risiko yang muncul ketika berbagi informasi pribadi atau konten sensitif secara sembarangan.
“Maka penting bagi setiap orang untuk memahami bagaimana perilaku aman di ranah digital sehingga tidak menjadi korban,” ujarnya.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dari puja-puji ke intimidasi, menguak ancaman sekstorsi di Aceh
Dari puja-puji ke intimidasi, mengungkap ancaman sekstorsi di Aceh
Oleh FB Anggoro & Nurul Hasanah Minggu, 25 Agustus 2024 11:39 WIB