Jakarta (ANTARA) - Ternyata KPK masih menjadi perhatian masyarakat luas setelah membekuk, Wahyu Setiawan, yang merupakan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dari PDI Perjuangan.
Kejadian yang sangat memalukan ini terjadi karena Wahyu Setiawan disangkakan telah menerima uang sogokan dalam bentuk uang dolar Singapura yang setara dengan Rp400 juta. Wahyu yang lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah, pada 1973, dibekuk saat akan meninggalkan Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.
Kasus ini berawal dengan meninggalnya seorang tokoh PDI Perjuangan, Nazaruddin Kiemas, pada Juli 2019. Karena Nazaruddin telah wafat maka dia harus diganti melalui proses PAW. Yang menjadi persoalan adalah ternyata muncul dua nama sebagai penggantinya yaitu Rizky A dan anggota lain PDI Perjuangan yang berinisial H.
Ketika sejumlah penyidik PKP ingin mendatangi Kantor DPP PDI Perjuangan, di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, ternyata timbul kesan mereka telah dihalang-halangi untuk menjalankan tugasnya walaupun Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristyanto, cuma menyatakan partai politik itu menghendaki agar petugas KPK membawa surat tugas.
Ketua KPU, Arief Budiman, dalam jumpa pers di kantor KPK, Jakarta, bersama Wakil Ketua KPK, Lili Siregar, Kamis malam (9/1), menyatakan rasa keprihatinan atas apa yang dilakukan Wahyu Setiawan padahal semua komisioner KPU telah menandatangani naskah bersih diri yang disebut pakta integritas. Sang ketua KPU menegaskan siap bekerja sama dengan KPK untuk menuntaskan kasus anggota komisi itu.
KPK yang kini dipimpin Firli Bahuri kelihatannya terus berusaha melakukan tindakan nyata atau represif terhadap tindak pidana korupsi walaupun perwira tinggi Kepolisian Indonesia itu sebelumnya telah menyatakan tekadnya untuk ikut mencegah korupsi. Ternyata KPK kini harus bertindak terhadap komisioner KPU.
Kasus yang pasti mengecewakan masyarakat luas, para tokoh antikorupsi serta akademisi ini hanya terjadi beberapa bulan menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) di tidak kurang dari 270 provinsi, kabupaten hingga kota sekitar 23 September 2020. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mungkin kasus Wahyu Setiawan ini akan terjadi lagi atau tidak pada pilkada mendatang ini ?.
Bersih
Karena kasus Wahyu Setiawan ini menjadi anggota pertama komisi di tingkat pusat yang dibekuk oleh KPK maka pertanyaannya adalah apakah yang pertama kalinya dan terakhir kalinya di tingkat nasional atau pusat dan juga di daerah-daerah?.
Apabila benar terbukti Wahyu menerima uang Rp400 juta dan masih meminta uang lagi yang jumlah lebih besar maka pertanyaan mendasarnya adalah apakah “kursi empuk” di KPU pusat dan daerah bisa dijadikan ‘alat atau sarana “ untuk mengeduk uang dari para peminat posisi empuk di pemerintahan-pemerintahan daerah?
Kasus Wahyu Setiawan telah membuktikan bahwa seseorang yang berambisi atau berminat menjadi anggota DPR saja tidak ragu mengeluarkan duitnya ratusan juta rupiah supaya niatnya bisa terlaksana.
Apalagi jika pada pilkada mendatang yang memilih gubernur, wali kota serta bupati. Saat ini saja, sudah muncul beberapa keluarga tokoh masyarakat yang ingin tampil pada pesta demokrasi mendatang itu.
Nilai APBN pada tahun 2020 saja sudah mencapai ribuan triliun rupiah sedangkan APBD Provinsi DKI Jakarta sudah lebih dari Rp70 triliun. Jadi bisa dibayangkan berapa nilai APBD di 270 provinsi, kota serta kabupaten.
Masyarakat tentu harus berpikir positif bahwa nantinya semua gubernur, wali kota dan bupati akan benar-benar menjadi pejabat yang benar-benar siap menjadi abdi masyarakat yang ikhlas bekerja 24 jam sehari demi rakyat yang memberikan kepercayaan kepada mereka dan bukannya seperti calon anggota DPR yang berusaha menyogok Wahyu Setiawan.
Karena itu, mumpung pilkada masih sekitar delapan bulan lagi maka pilihlah anggota-anggota KPU-KPU daerah yang benar-benar hanya ingin mengabdi kepada rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukannya kepada “kantong pribadi”. Apabila ada calon anggota KPU daerah yang sudah kelihatan berambisi hanya mencari uang maka langsung coretlah oknum-oknum semacam itu.
KPU sebagai penyelenggara pilkada tentu harus bertemu dengan Badan Pengawas Pemilu serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu guna menyelesaikan masalah Wahyu ini supaya tuntas dan tak terjadi lagi di masa mendatang.
Sudah saatnyalah rakyat Indonesia memilih dan memiliki pejabat di tingkat apa pun juga yang benar-benar mencintai rakyat dan negaranya sehingga tidak ada lagi koruptor di tingkat nasional dan daerah.
Apabila kini rakyat mengenal nama Wahyu Setiawan maka juga jangan lagi muncul koruptor seperti Setya Novanto, Idrus Marham, dan setumpuk nama penjahat lainnya.
Majulah bangsa dan Republik Indonesia dan teruslah basmi koruptor dengan memegang teguh prinsip azas praduga tak bersalah.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan ANTARA tahun 1982-2018, pernah meliput acara kepresidenan tahun 1987-2009.
Netralitas KPU diuji pascakasus suap
Jumat, 10 Januari 2020 13:54 WIB