Banda Aceh (ANTARA) - Pengamat Kebijakan Publik Aceh Dr Nasrul Zaman ST M Kes menilai wilayah provinsi paling barat Indonesia itu tidak hanya menjadi daerah peredaran narkoba tetapi sudah menjadi daerah produsen, sehingga membutuhkan langkah pemberantasan secara luar biasa (extraordinary).
"Pengungkapan peredaran narkoba jenis sabu 2,5 ton di Aceh menunjukkan bahwa Aceh ini bukan daerah pemasaran tetapi sudah menjadi daerah produsen," kata Nasrul Zaman di Banda Aceh, Jumat.
Pengungkapan kasus narkotika dalam jumlah besar tersebut juga menunjukkan bahwa peredaran uang hasil narkoba sangat besar di daerah Tanah Rencong itu.
Oleh sebab itu, kata dia, Pemerintah Aceh bersama aparat penegak hukum harus melakukan langkah pemberantasan yang extraordinary, sekaligus juga melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"PPATK harus ikut terlibat di dalam pemberataan narkoba di Aceh, tidak boleh hanya polisi saja. PPATK cepat mendeteksi peredaran uang itu, pasti tahu transaksi keuangan yang terlacak dengan cepat," katanya.
Kemudian, menurut Nasrul, pengungkapan kasus narkoba itu juga menunjukkan bahwa perbatasan Aceh masih sangat terbuka, belum ada pengawasan yang ketat baik jalur laut maupun jalur darat.
“Selama ini kita lihat pengawasannya memang longgar sekali. Baru Kapolda ini yang kita lihat ada penangkapan jumlahnya berton-ton ini. Padahal darurat narkoba di Aceh ini sudah lama,” katanya.
Ia menambahkan Aceh telah dinyatakan darurat narkoba sejak tiga tahun lalu. Namun, aksi dalam mengatasi darurat tersebut belum terlihat dari pemerintah daerah berjulukan Serambi Mekkah itu.
“Jadi Polda, BNN itu harus ekstra, sekaligus melibatkan PPATK untuk menumpas peredaran narkoba di Aceh,” katanya.
Selama ini, menurut dia, Pemerintah Aceh juga masih pasif dalam memberantas narkoba. Seyogyanya pemerintah daerah harus membantu para penegak hukum dalam hal apapun, termasuk mengalokasikan anggaran dan program edukasi.
Pemerintah harus membangun sistem pencegahan narkoba dari tingkat gampong atau desa. Saat ini, dia menilai banyak gampong menjadi pintu masuk peredaran narkoba di Tanah Rencong.
“Pemerintah harus mampu mambangun sistem pencegahan narkoba itu dari tingkat gampong. Tingkat sosialisasi dan edukasi juga masih rendah di Aceh,” katanya.
Selama ini Pemerintah Aceh belum terlibat dalam pemberantasan narkoba di Aceh, artinya belum ada kita lihat pemerintah menganggarkan untuk pemberantasan narkoba membantu BNN dalam mengedukasi siswa, mahasiswa dan lainnya, katanya lagi.
Sebelumnya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengungkap kasus peredaran narkotika jenis sabu-sabu seberat 2,5 ton dari jaringan internasional.
"Barang bukti narkotika jenis sabu dengan total sekitar 2,5 ton," kata Kapolri Jenderal polisi Listyo Sigit Prabowo saat jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (28/4).
Kapolri menjelaskan penangkapan dilakukan di tiga lokasi berbeda yakni Kabupaten Aceh Besar, Kota Banda Aceh dan pengembangan di Jakarta Barat, DKI Jakarta. Peredaran narkotika itu merupakan jaringan Timur Tengah-Malaysia yang masuk ke Indonesia dengan 18 orang tersangka.
Pengamat: Pemberantasan narkoba di Aceh harus secara extraordinary
Jumat, 30 April 2021 15:18 WIB