Menurut sejarawan, pertama kali Islam masuk ke Nusantara melalui Samudera Pasai pada abad ke-12 Masehi. Sultan Malikul Saleh adalah raja pertama yang saat itu berkuasa. Ini dibuktikan dengan ditemukannya situs sejarah di Samudera Pasai.
Islam menjadi agama resmi Kerajaan Aceh Darussalam. Aceh dan Islam ibarat sekeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan atau seperti ikan yang tidak bisa hidup tanpa air karena segenap aspek kehidupan masyarakat Aceh telah diwarnai oleh Islam.
Adat dan budaya Aceh terbungkus indah dalam bingkai Islam. Napas orang Aceh adalah napas Islam. Di daerah-daerah lain, proses Islamisasi ada yang belum tuntas, tetapi di Aceh proses Islamisasi telah lama tuntas. Kita tidak melihat ada aspek kehidupan orang Aceh yang masih belum terwarnai oleh Islam.
Kerajaan Aceh dulu adalah kerajaan yang disegani di kawasan Asia Tenggara. Angkatan perangnya tangguh, bahkan pernah mengalahkan Portugis di Malaka. Sistem tata negara juga telah tertata dengan baik. Struktur pemerintah dari atas hingga ke lini paling rendah telah disusun dengan begitu teratur mengikuti tata kelola negara modern ketika itu. Perhatikan dalam hal sistem hukum. Alquran dan Assunnah menjadi rujukan hukum, baik pidana maupun perdata. Hukum syariat Islam menjadi pilar judikatif.
Ada kisah yang menarik dan mengejutkan ketika Sultan Iskandar Muda memutuskan untuk merajam Putra Mahkota (Meurah Pupok), sang pewaris kerajaan, karena telah berselingkuh dengan salah seorang istri perwira pasukan kawal kerajaan. Sang putra mahkota tak diberi grasi.
Dengan tegas Sultan Iskandar Muda berkata, “Mate aneuk mu pat jrat mate adat pat tamita (mati anak tahu di mana kuburan, tetapi mati adat di mana kita cari).†Ketegasan Iskandar Muda mencerminkan kedalaman pemahaman agama seorang raja. Dia mengetahui bahwa mempermainkan hukum adalah sebuah kejahatan bagi seorang raja.
Tak kalah menarik sejarah tentang seorang perempuan yang lembut penuh keibuan, Malahayati, yang memimpin pasukan inong bale. Beliau ikut terlibat pertempuran laut melawan petualang Belanda, Conelis de Houtman, hingga si penjajah itu meregang nyawa.
Bukan hanya Malahayati, tetapi banyak pahlawan perempuan yang tercatat dalam sejarah begitu gigih melawan penjajah Belanda. Bersama suami, mereka mengangkat senjata dan tetap melanjutkan perang ketika suami mereka telah syahid.
Tercatat Cut Nyak Dhin, Cut Meutia, Pocut Baren, dan Tengku Fakinah adalah perempuan hebat yang dilahirkan di zaman yang tepat untuk membela kehormatan negeri dan agama karena ruh Islam melekat di lubuk hati merka maka gender bukan penghalang untuk meraih kemuliaan di sisi Allah.
Belanda mengakui Perang Aceh adalah perang paling lama dan sulit dalam sejarah kolonial. Perang Aceh hampir membangkrutkan keuangan Kerajaan Belanda. Di kedua belah pihak banyak memakan korban. Bukti sejarah terpampang jelas di Perkuburan Kerchof. Terdapat ribuan jasad tentara Belanda dari jenderal sampai prajurit dimakamkan di sana.
Dari tahun 1873 sampai 1910 perang semesta dari sultan, ulama, dan hulubalang serta rakyat bersama melakukan Perang Sabil. Api perang berkobar dari Aceh Besar sampai ke seluruh penjuru Aceh. Tiap jengkal tanah Aceh dipertahankan mati-matian oleh pejuang Aceh. Semboyan udep sare mati syahid (hidup mulia atau mati syahid) bergelora dalam dada pejuang Aceh.
Hikayat Perang Sabil dalam kitab syair karangan Tengku Cik Pante Kulu sangat menginspirasi rakyat Aceh dan menjadi energi jihad yang menggetarkan Belanda. Belanda shock melihat betapa bahayanya pengaruh kitab tersebut terhadap orang Aceh maka Belanda melarang dan menghukum berat bila ada orang yang membaca kitab tersebut.
Kenapa kitab Hikayat Perang Sabil begitu menggetarkan di kalangan masyarakat Aceh ketika itu? Jawaban yang relevan adalah karena ruh Islam telah menyatu dalam perjuangan pahlawan-pahlawan Aceh. Panggilan perang dan menjemput kesyahidan menjadi cita dan harapan para pejuang Aceh.
Syair yang tertulis dalam Hikayat Perang Sabil hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang telah menyatu aura Islamnya dalam derap langkah perjuangan. Mustahil syair ini berefek getar apabila ruh Islam tidak dijadikan sandaran perjuangan dan mati syahid sebagai amalan yang paling tinggi keutamaannya tidak menjadi cita-cita.
Melihat aksi berani rakyat Aceh, Belanda menjuluki para pejuang Aceh dengan julukan ‘Aceh pungo’ (Aceh gila). Julukan itu menandakan rasa frustasi Belanda menghadapi para pejuang Aceh yang melakukan serangan “bunuh diri†ke pihak Belanda yang jumlahnya sangat banyak, tetapi dilakukan oleh perorangan.
Belanda menganggap, hanya orang gila yang berani melakukan aksi tersebut. Belanda tidak memahami mengapa peristiwa nekad ini bisa terjadi. Aksi nekad para pejuang Aceh laksana bom syahid yang dilakukan oleh pejuang Palestina terhadap Israel atau kamikaje yang dilakukan tentara Jepang terhadap AS pada Perang Dunia II.
Sekalipun Sultan ditawan dan dibuang ke Batavia, perlawanan tidaklah surut. Belanda tidak bisa menghirup napas lega karena perlawanan sekarang lebih bersifat sporadis. Aksi dilakukan dalam skala perorangan atau per kelompok sampai Belanda hengkang dari Aceh, tetapi api perlawanan tak pernah padam.
Penerapan syariat Islam di Aceh juga melekat pada keseniannya. Kesenian Aceh memisahkan antara penari wanita dan pria. Tidak ada proses pencampuran di sana. Bait syair pun penuh kata pujian kepada Tuhan dan sarat dengan nasihat mengajak orang untuk berbuat baik, mengingat kebesaran Tuhan.
Di samping itu, orang Aceh sangat fanatik dengan Islam. Apabila Islam dihina, mereka murka dan bisa melakukan hal di luar batas rasional, bahkan mereka yang tidak tergolong orang yang taat beragama.
Kita juga bisa melihat budaya Islam yang telah menjadi kebiasaan orang Aceh, yaitu memuliakan tamu. Orang Aceh sangat memuliakan tamu. Apabila datang tamu, mereka menyajikan makanan-makanan spesial dengan perlakuan yang istimewa. Meski bukan orang berpunya, tidak menghalangi mereka untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi tamu. Masih ada kebiasaan yang terus terjaga, terutama di masyarakat kampung, yaitu menyimpan daging kering (si balu) dengan tujuan sebagai persiapan sewaktu datang tamu. Potret memuliakan tamu adalah akhlak Islam yang masih dijunjung tinggi di Aceh.
Saya teringat beberapa waktu silam saat saya tinggal di Kairo, Mesir. Seorang mahasiswa Aceh memberikan saya sebuah hadiah kitab tua tentang herbal Aceh yang berjudul Tajul Mulk dalam dua edisi. Yang satu berbahasa melayu dan yang satu adalah terjemahan ke dalam bahasa Arab. Buku itu berisi tentang obat tradisional Aceh yang dikarang oleh Teungku Sematang.
Saya kaget ketika mengetahui bahwa buku karangan ulama Aceh diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Tidak terbayang oleh saya, orang Mesir menghargai karya ulama Aceh dan ikut mengembangkan juga beberapa pengobatan yang berasal dari kitab tersebut untuk dijadikan terapi alternatif. Buku itu ditulis dalam huruf Arab melayu. Artinya, tingkat pendidikan orang Aceh sejak dulu memang sudah merata. Sekarang saya tidak mengetahui, apakah ada muatan lokal yang memperkenalkan bahasa melayu dengan huruf Arab.
Aceh dengan otonomi luas pascakonflik sudah sepantasnya mengembalikan ruh pembangunan dengan menjadikan Islam sebagai landasan berpijak. Dengan Islam, Aceh diperhitungkan.
Kegemilangan di masa lalu tidak lepas dari Islam. Alangkah menyedihkan apabila kita mengabaikan Islam. Hukum syariah yang bersumber dari Alquran dan hadis (qanun) diterapkan secara sempurna, tidak setengah-tengah. Bila Barat keberatan menerapkan hukum Islam, itu hal yang wajar karena mereka selalu menilai apa yang datang dari Islam adalah buruk dan kejam.
Namun, bila orang Aceh sendiri yang notabene muslim menentang hukum ini, sudah menjadi tugas bersama untuk meluruskan pemahaman ini dengan arif dan bijaksana. Tidak semua orang Aceh memahami dengan baik bagaimana hakikat Islam itu. Pendidikan, cara berpikir, dan pergaulan sangat mempengaruhi cita rasa orang terhadap Islam, termasuk orang-orang Aceh.