Jakarta (ANTARA) - Ketika Kroasia ditantang Maroko dalam perebutan tempat ketiga Piala Dunia 2022 maka itu adalah kedua kalinya Kroasia adu tangguh dan adu klinis dalam partai yang sudah pernah mereka alami pada Piala Dunia 1998.
Saat itu mereka menang 2-1 atas Belanda. Mereka finis di tempat ketiga turnamen olahraga terbesar kedua sejagat setelah Olimpiade itu.
20 tahun kemudian Kroasia nyaris membuat kejutan dengan masuk final sebelum dihentikan Prancis yang tahun ini mengakhiri dongeng Maroko dalam babak semifinal lalu.
Maroko sendiri sudah jauh memenuhi ekspektasi mereka. Finis tempat ketiga adalah bonus bagi mereka, walaupun tak bisa dipungkiri sukses mencapai semifinal sempat membuat mereka berambisi menjadi negara kesepuluh yang menjuarai Piala Dunia.
Tetapi dengan status negara Afrika dan Arab pertama yang mencapai semifinal Piala Dunia sudah membuat mereka pahlawan dan juara untuk ratusan juta orang yang berada di dua kawasan itu.
Maroko juga menjadi inspirasi bagi kekuatan-kekuatan di luar Amerika Selatan dan Eropa bahwa dalam era ini siap pun bisa mencapai babak puncak Piala Dunia.
Baik Kroasia maupun Maroko akan seserius dan sekuat sebagaimana biasa dan seperti keduanya pernah berlaga dalam pertandingan Grup F lalu, saat keduanya berlaga di Stadion Internasional Khalifa malam Minggu nanti itu, apalagi dari kacamata pribadi pemain seperti Luka Modric laga ini akan menjadi pertandingan terakhir bersama timnasnya karena dia akan mundur membela Kroasia.
Ini membuat pertandingan perebutan ketiga Piala Dunia 2022 akan seseru sebagaimana biasanya walaupun banyak orang tak terlalu menaruh perhatian seperti mereka curahkan kepada partai final yang dalam edisi mempertemukan Prancis dan Argentina yang sama-sama sudah dua kali menjadi juara dunia.
Ironisnya laga perebutan tempat ketiga Piala Dunia biasanya menjadi ajang terciptanya gol dalam jumlah banyak yang dari partai ini pula Sepatu Emas pernah didapatkan.
Selain kebanggaan internasional dan individu, banyak alasan bagus lainnya bagi penggemar untuk menyaksikan partai.
Salah satu alasannya adalah bahwa hampir dalam setiap perebutan tempat ketiga atau medali perunggu Piala Dunia adalah banjir gol.
Kedua tim akan bertanding tanpa beban dan tanpa tekanan sehingga merek bebas pula mengerahkan level terbaik dari semua pemain yang berada di lapangan.
Sepatu Emas
Mengutip catatan ESPN, sejak pertandingan perebutan tempat ketiga pertama kali dikenalkan pada Piala Dunia 1930, tidak ada satu pun laga dalam partai ini yang berakhir tanpa gol sehingga tak pernah diselesaikan dengan adu penalti.
Bahkan sejak Polandia mengalahkan Brazil 1-0 dalam laga perebutan tempat ketiga Piala Dunia 1974, tak pernah ada laga yang berakhir dengan cuma satu gol.
Dari 19 kali pertandingan perebutan tempat ketiga, hanya tiga laga yang menghasilkan hanya satu gol, yakni ketika Chile menang 1-0 atas Yugoslavia pada 1962, Jerman Barat menaklukkan Uruguay 1-0 pada 1970, dan Brazil menyerah 0-1 kepada Polandia pada 1974.
Bahkan empat dari laga perebutan tempat ketiga yang terakhir sejak Piala Dunia 1994 di AS, menghasilkan minimal empat gol, sehingga total memproduksi 26 gol yang semuanya terjadi dalam waktu normal.
Sebaliknya, dalam periode yang sama itu, hanya satu laga final Piala Dunia yang menghasilkan lebih dari empat gol ketika Prancis menghentikan Kroasia 4-2 dalam final Piala Dunia Rusia 2018. Partai-partai final dalam periode itu hanya menghasilkan total 15 gol dalam waktu normal.
Total, sepanjang sejarah Piala Dunia, 73 gol tercetak dalam 19 pertandingan perebutan tempat ketiga (pada edisi 1930 dan 1950 partai ini tak dimainkan), sebaliknya 77 gol tercetak dalam 21 pertandingan final Piala Dunia.
Pada edisi 1930 dan 1950 tak ada pertandingan perebutan tempat ketiga sehingga posisi ini ditentukan oleh kinerja dalam partai-partai sebelumnya.
Dalam kata lain secara rata-rata, laga perebutan tempat ketiga lebih produktif ketimbang pertandingan final, yakni 3,84 gol per pertandingan melawan 3,66 gol per pertandingan.
Bahkan dalam partai ini tercipta rekor gol tercepat dalam Piala Dunia yang sampai kini tak tergoyahkan ketika Hakan Sukur mencetak gol pada detik kesebelas kala Turki mengalahkan Korea Selatan dalam perebutan tempa ketiga Piala Dunia 2002.
Produksi gol yang tinggi ini terjadi karena tim-tim yang bertanding dalam perebutan tempat ketiga cenderung sama-sama memasang formasi menyerang yang lebih berani ketimbang laga-laga fase lainnya, termasuk final.
Dalam partai ini pula tiga pemain dianugerahi Sepatu Emas setelah mencetak gol dalam pertandingan perebutan tempat ketiga.
Ketiganya adalah Salvatore "Toto" Schillaci yang mencetak gol penentu kemenangan dari titik penalti yang membuat Italia menyudahi perlawanan Inggris 2-1 pada Piala Dunia 1990.
Kemudian Davor Suker yang memenangkan Kroasia pada 1998 dan Thomas Muller yang membuat Jerman merebut tempat ketiga pada Piala Dunia 2010.
Dominasi Amerika Selatan-Eropa
Hanya Amerika Serikat yang menembus dominasi Amerika Selatan dan Eropa ketika finis urutan ketiga dalam Piala Dunia 1930 yang hanya diikuti 13 tim yang tak sebanyak periode-periode setelahnya dan apalagi setelah Piala Dunia 1998 di mana sejak itu Piala Dunia diikuti 32 tim.
AS pun mencapainya tanpa melalui pertandingan perebutan tempat ketiga karena tempat ini ditentukan oleh selisih kinerja AS dari laga-laga sebelumnya.
Korea Selatan pada 2002 adalah satu-satunya tim luar Eropa dan Amerika Selatan yang pernah merasakan atmosfer laga perebutan tempat ketiga.
Di luar mereka, partai ini, sebagaimana partai final, selalu didominasi oleh tim-tim Eropa dan Amerika Selatan.
Oleh karena itu ketika Maroko menantang Kroasia nanti malam itu maka Maroko tidak saja menjadi tim ketiga dari luar Amerika Selatan dan Eropa yang merasakan atmosfer ini, namun juga berkesempatan menjadi tim non Amerika Selatan dan Eropa pertama dalam 92 tahun terakhir yang finis urutan ketiga Piala Dunia.
Tim yang paling sering finis urutan ketiga ternyata masih dipegang Jerman. Jerman sudah empat kali menempati peringkat ketiga. Ini sama dengan jumlah trofi Piala Dunia yang sudah mereka koleksi.
Polandia, Prancis, Swedia, dan Brazil masing-masing sudah dua kali finis urutan ketiga.
Sebaliknya Uruguay sudah tiga kali tampil dalam perebutan tempat ketiga pada 1954, 1970 dan 2000 tapi tak pernah sukses memenangkan.
Spanyol dan Argentina menjadi dua negara yang pernah menjuarai Piala Dunia tapi tak pernah tampil dalam pertandingan perebutan tempat ketiga.
Ironisnya finis tempat ketiga Piala Dunia menjadi pembawa sial untuk Polandia (1982), Prancis (1986), Italia (1990), Swedia (1994), Kroasia (1998), Turki (2002) dan Belanda (2014), karena dua tahun setelah mencapai posisi itu mereka gagal masuk putaran final Piala Eropa.
Kroasia tak terkena tulah itu dan bahkan menyeruak menjadi kekuatan baru dalam sepak bola dunia sampai menjadi finalis edisi 2018 yang hampir diulanginya tahun ini.
Sementara bagi Maroko ini adalah yang pertama dan sekaligus kesempatan mempertebal catatan bersejarah mereka setelah sekali menjuarai Piala Afrika dan sekali Piala Arab.
Sebelum edisi 2022, Maroko sudah menorehkan sejarah sebagai tim Afrika pertama yang memuncaki grup putaran final Piala Dunia pada 1986. Mereka juga salah satu dari tim Afrika dan Arab yang sudah sering tampil dalam putaran final Piala Dunia dengan total enam kali.
Kini mereka berpeluang menjadi tim Afrika, Arab dan non Amerika Selatan-Eropa pertama yang finis urutan ketiga Piala Dunia.