Blangpidie (ANTARA Aceh) - Syahidan (50) seorang petani yang pagi buta sudah bergegas mempersiapkan bekal untuk kebutuhan perjalanan menyusuri hutan belantara demi mencari rezeki.
Sehari-hari dirinya berkutat dengan rutinitas mencari getah damar yang telah membatu dan memecahnya lalu membawa pulang kepedesaan untuk di jual pada agen atau pengusaha damar batu.
Ayah empat anak itu sudah bertahun-tahun mencari rezeki dari hasil hutan belantara yang terbentang luas di atas hamparan wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Provinsi Aceh.
Potensi bahan baku getah damar alami di daerah itu memang tergolong banyak, karena dari luas wilayah Abdya, terdapat sekitar 50 persen wilayah masuk dalam kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Kendatipun potensi berlimpah, usahan mencari damar itu tidaklah mudah, betapa tidak di usianya yang mulai menua, tersirat dari raut wajahnya mengeriput, namun semangat yang menjadi dorongan hidupnya membiayai kehidupan empat orang anaknya, sebagai modal utama.
Bermodalkan sebilah parang dan sebungkus nasi yang dibalut dengan daun pisang oleh sang istrinya, Syahidan berangtkat dari rumahnya menuju ke kawasan hutan dengan berjalan kaki sampai 7 hingga 8 jam lamanya.
Perjalanan yang memakan waktu lama tersebut terus dilalui menyusuri pegunungan dan melintasi sungai-sungai yang ada di hutan belantara. Kebiasaan mereka berkelana mencari damar di hutan secara berkelompok, namun ada juga perorangan.
Untuk mendapatkan damar dipegunungan mereka terkadang harus bermalaman di dalam hutan karena sibuk menyelusuri lereng bukit dan tepian sungai-sungai besar yang terkadang hujan dan kedinginan sudah menjadi selimut bagi mereka.
Syahidan dalam menjalani aktifitasnya ditemani rekan-rekan secara berkelompok, demi mengais rezeki di hutan belantara mereka tidak takut dengan resiko besar, karena tujuannya iklas mencari rezeki bukan untuk merusak hutan.
''Mencari damar ini pekerjaan utama saya, karena lapangan pekerjaan lain tidak ada, ya harus gimana lagi, saya hanya bergelut dengan pertanian dengan lahan seadanya peninggalan orang tua,'' kata warga Desa Ie Lhob, Kecamatan Tangan-Tangan baru-baru ini.
Hutan belantara yang belum dirambah oleh manusia menjadi tujuan utama mereka karena masih banyak memiliki pohon-pohon besar yang dibawahnya banyak getah damar yang telah membeku bagaikan batu tertimbun daun-daunan.
Pohon yang berusia tua memiliki banyak getah yang dikeluarkan dari dahan-dahannya yang kemudian jatuh kepermukaan bumi dan lama kelamaan getah kayu damar tersebut mengeras bagaikan batu hingga tertimbun tanah.
Hamparan tanah yang berpotensi ada bahan baku getah damar di dalamnya digali dengan mengunakan alat seadanya. Satu persatu getah damar yang ditemukan di masukkan kedalam Ambung (bakul) yang berada di belakang punggung mereka.
Ambung ataupu bakul adalah media pengangkutan di hutan yang terbuat dari bahan baku rotan berbentuk bulat memanjang dan memiliki tali bagaikan tas rensel bergantung dibelakang punggung.
Di samping mencari getah damar yang telah membatu, para pencari ini juga mencari hasil hutan lain, seperti rotan untuk dijual ke pasar demi untuk menutupi kebutuhan hidup keluarga.
Ia mengakui untuk menemukan getah damar dengan hasil yang banyak saat ini semakin sulit di dapatkan, karena keberadaan pohon-pohon besar sudah mulai jarang di hutan akibat ulah manusia yang membalak secara ilegal.
Akibat banyaknya tangan-tangan jail yang merambah hutan belantara secara ilegal saat ini bukan saja berdampak terhadap bencana banjir, tetapi juga berefek terhadap turunnya hasil pendapatan sipencari damar hutan.
''Kadang-kadang, kami pulang dengan tangan kosong, walaupun berhari-hari di hutan, hal ini karena pohon-pohon besar sudah berkurang akibat adanya penebangan liar yang seharusnya dijaga oleh pemerintah,'' keluh Syahidan sambil mengusapkan keringat yang membasah dahinya.
Selain dari itu dirinya juga mengeluhkan harga bahan baku getah damar yang di cari dalam hutan belantara berhari-hari terpaksa dijual kepada pengepul dengan harga yang sangat murah, yakni Rp. 3.500 per kilogram.
Murahnya harga beli damar hutan di daerah tersebut disebabkan minimnya pengusaha yang bergerak pada hasil hutan, sehingga tidak sedikit bahan baku damar hasil pencaharian petani tersebut bertumpuk tidak ada penampung.
''Saat ini bahan baku damar tersebut sangat banyak pada petani, berhubung modal usaha saya sangat minim, sehingga tidak bisa saya tampung semuanya,'' kata Samsul Bahri seorang pengepul di Desa Ladang Tuha, Kecamatan Lembah Sabil, Abdya
Samsul Bahri mengaku bahan baku damar batu yang dibeli pada petani dengan harga Rp. 3500/kg tersebut harus terlebih dahulu di olah dan dihancurkan menjadi tepung sebelum dijual.
''Pertama kali damar batu tersebut dipecahkan dengan martil menjadi sebesar kerikil baru dimasukan ke mesin penggiling untuk digiling menjadi halus bagaikan tepung, kemudian dikemas dalam paket plastik kecil ukuran satu kilogram untuk dijual kembali,'' katanya
Proses penjualan kembali bahan baku damar olahan tersebut tidak begitu mudah. Samsul Bahri mengaku harus mengencer dengan harga Rp. 8.000 per kilogram, itupun jika ada orderan dari para nelayan.
Para nelayan membutuhkan bahan baku tepung damar tersebut untuk menempel sela-sela kayu perahu yang baru terbuat agar tidak mengalami kebocoran saat berlayar mencari ikan dilaut.
''Saat ini ada sekitar 10 ton bahan baku damar yang saya dibeli dari petani. Berhubung saya tidak mengetahui tentang tatacara mengekspor ke luar daerah ataupun ke luar negeri, jadi terpaksa saya jual secara enceran pada nelayan,'' katanya
Ia berharap pemerintah mau memfasilitasi atau mencari penampung getah damar tersebut karena hasil hutan ini merupakan komoditas ekspor yang dibutuhkan dunia untuk bahan baku cat, tekstil, dan lain-lain, sehingga, harga pembelian ditingkat petani bisa dinaikkan.