Padahal, kata Nasir, terkait pertambangan, negara telah mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara (Minerba) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, dan terjadi revisi kembali melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menurutnya, untuk perbaikan tata kelola pertambangan emas ilegal di Aceh, langkah utama yang harus dilakukan adalah Pemerintah Aceh mengusulkan penetapan WPR (wilayah pertambangan rakyat) kepada pemerintah pusat.
"Karena sepengetahuan kami, di Provinsi Aceh belum terdapat WPR sehingga sampai hari ini rakyat tidak bisa mengurus Izin Pertambangan Rakyat (IPR)," katanya menambahkan.
Nasir mengatakan, ada pun syarat utama mendapatkan IPR dengan mengusulkan permohonan izin pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai WPR.
Apabila WPR belum tersedia atau belum ditetapkan, maka Izin Pertambangan Rakyat atau IPR tidak dapat diberikan meskipun kondisi di lapangan telah ada aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat.
"Dan selama izin tidak tersedia, kegiatan pertambangan tersebut tetap dianggap ilegal dan bertentangan dengan aturan hukum," demikian Nasir Buloh.
Baca juga: Kapolres: Tidak ada oknum polisi bekingi tambang ilegal di Nagan Raya