Melihat kemakmuran petani sawit di Riau
Oleh Bayu Agustari Adha Minggu, 26 November 2023 12:47 WIB
Segala pencapaian itu takkan tercapai kalau dia dulu tidak nekat datang dari Banyuwangi, Jawa Timur, pada tahun 1991. Padahal waktu itu ia hanya menengok kakak iparnya yang masuk penjara gara-gara berbuat melanggar hukum di perusahaan tempatnya bekerja.
Takdir berkata lain. Kakaknya yang merupakan peserta program transmigrasi itu meminta Babe menetap di Bumi Lancang Kuning Riau ini. Babe yang tidak mengikuti program transmigrasi disuruh membeli tanah kaveling menggantikan kakak iparnya yang mengelola lahan. Hingga waktu berjalan, dengan berbagai jatuh bangun yang dilalui, dia akhirnya menjadi Ketua Koperasi Unit Desa Amanah SP4 Kerumutan dan menorehkan kisah sukses tersendiri bagi diri dan rekan-rekannya.
Beranjak sejahtera
Petani sawit di Kabupaten Pelalawan mulai berkembang pada 1998 hingga 2000. Bahkan ada yang punya kebun sawit seluas 60 hektare. Dia pun menjadi salah satunya bersama-sama dengan petani lain yang berhasil meraih pencapaian itu.
"Yang pandai, kavelingnya 'disekolahkan', pinjam bank Rp30 juta untuk beli kebun, beli kebun lagi. Tanam sendiri, jangan diburuhkan. Setelah lunas dan sertifikat keluar dari bank, pinjam lagi dan beli (lahan) lagi sampai lunasi semua pinjaman. Kayak gitu saya ajarin. Saya usaha gak merasa menyaingi atau tersaingi, saya bina semua yang mau jadi. Kadang saya memodali karena saya ini ingat waktu dulu masih susah," ceritanya.
Setelah berkembang, Babe mulai membeli mobil, tahun 1993 sudah punya tiga truk, satu mobil segmen menengah dan satu lagi mobil kelas atas. Hingga akhirnya mempunyai sembilan truk untuk keperluan mengangkut sawit.
"Yang punya sembilan truk di desa ini cuma saya, dan orang transmigrasi pertama yang punya juga saya," katanya.
Usai bertani dan bergabung di KUD, Babe kemudian mengembangkan usaha dengan menjadi penyedia buah atau pemasok tandan buah segar (TBS) ke PT SLS. Dia pun turut mencarikan TBS dari petani untuk dijual ke pabrik. Dengan begitu, dia pun mendirikan tempat penampungan TBS atau biasa disebut peron di Sorek, masih di Kabupaten Pelalawan.
Babe pun fokus dengan aktivitas itu sehingga tidak lagi berupaya memperluas kebun. Saat ini tinggal 10 kaveling atau 20 hektare. Akan tetapi dengan menjual TBS ke pabrik, ia bisa punya 30 truk tronton. Dia pun juga sudah menyewa pabrik di Jambi untuk mengolah sawit.
Atas usahanya tersebut, Babe terpilih menjadi mitra terbaik Astra Agro se-Indonesia pada tahun 2022 lalu. Dia pun mendapatkan satu unit mobil. Azis mengatakan hal ini merupakan pencapaian terbesar yang pernah dia dapatkan. "Menjadi mitra perusahaan nomor satu se-Indonesia adalah kebanggaan tersendiri," ucap dia.
Dengan usaha itu, pundi-pundi keuangan Babe semakin menjulang. Untuk rumah saja Babe punya empat di Pekanbaru, satu di Malang, di Banyuwangi dan di Jember. Sebuah mobil mewah yang hanya dimiliki kalangan terbatas pun ia miliki sebagai bukti kerja kerasnya.
Sungguh level kesejahteraan yang memukau bagi profesi petani.
Akan tetapi kemakmuran itu tak hanya untuk diri sendiri, Babe juga aktif dalam kegiatan sosial dengan mendirikan masjid sekaligus menggaji marbot sampai khatib.
Pembangunan masjid paling bagus dan pertama kali di Desa Sari Lembah Subur. Waktu itu hampir menghabiskan Rp2 miliar di dekat area pondok pesantren. "Sekarang dari TK sampai madrasah sudah ada," ujarnya.
Warga lokal juga sukses
Berbeda dengan Babe yang datang dari Banyuwangi. Rezeki kelapa sawit juga dinikmati warga lokal di Kabupaten Pelalawan. Salah satunya adalah Jasman yang berasal dari Desa Gedung, Kecamatan Pangkalan Lesung.
Jasman lahir tahun 1976 dan cuma tamat sekolah dasar. Kehidupan kala itu, kisahnya, sangat minim, jauh dari sekolah, ekonomi juga sulit, transportasi dengan jalan kaki sampai setengah hari. Maklum namanya perkampungan, adanya cuma pondok tiga biji. Ada lagi tempat lainnya namun jarak yang jauh.
Jasman mengaku pernah mengenyam sekolah menengah pertama tapi hanyab3 bulan. Saat ayah kandungnya meninggal, ia ikut ayah tiri namun tak mau menyekolahkannya. Akhirnya, dia ikut kakak ipar, namun baru masuk tiga bulan SMP iparnya meninggal. Dia pun mencoba menderes karet dan mulai bekerja menanam sawit.