Siapa yang Bermain?
Pada pertengahan tahun 2023, Polresta Banda Aceh menetapkan Kasi Pemerintahan Gampong Ulee Lheue, Sofian Hadi (SH), Mantan Keuchik Gampong Ulee Lheue, Deddy Armansyah (DA), dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Banda Aceh, Muhammad Yasir (MY), sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan tanah untuk proyek NAIC yang bersumber dari APBK 2018 dan 2019.
DA dan SH ditangkap Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Banda Aceh pada 3 Juli 2023 pukul 14.00 WIB, sedangkan Muhammad Yasir (MY) ditangkap pada 7 Agustus 2023 pukul 13.50 WIB.
DA diduga menyalahgunakan wewenangnya dalam proses ganti rugi tanah yang bersumber dari APBK Dinas PUPR Kota Banda Aceh 2018 dan 2019. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), DA membuat Surat Keterangan Tanah (SKT) untuk dua persil tanah nomor 1 dan 12 yang sebenarnya tidak diketahui pemiliknya dan mengklaimnya sebagai tanah gampong.
SKT yang dikeluarkan DA pada 30 Juli 2018 menyatakan bahwa tanah nomor 1 seluas 1.088 m² merupakan bekas Pasar Ikan Gampong Ulee Lheue, sementara tanah nomor 12 seluas 833 m² dinyatakan sebagai bekas Lorong Gampong Ulee Lheue.
Ia kemudian mencantumkan rekening pribadinya untuk menerima uang ganti rugi tanah persil nomor 12 senilai Rp229 juta. Selain itu, dia membuat dokumen sporadik atas nama SH untuk mengklaim tanah persil nomor 13 seluas 116 m² yang tidak diketahui pemiliknya, dan uang ganti rugi sebesar Rp142 juta masuk ke rekening pribadi SH.
DA juga menyiapkan dokumen amprahan untuk menerima pembayaran ganti rugi tanah persil nomor 1 atas nama tanah Gampong Ulee Lheue ke rekening pribadi Anshari Yahya QQ Rusli Raden. Rekening tersebut menerima Rp1,5 miliar pada 19 Desember 2018 dan sisa Rp229 juta pada 18 Desember 2019.
Akibat tindakan ini, MY ditetapkan sebagai tersangka karena diduga membiarkan ganti rugi pengadaan tanah untuk pembangunan NAIC yang seharusnya ditransfer ke rekening kas Gampong Ulee Lheue justru masuk ke rekening pribadi DA, SH, serta Anshari Yahya QQ Rusli Raden.
Baca juga: Polresta: Kasus korupsi lahan zikir Nurul Arafah Banda Aceh berlanjut
Sementara itu, Kuasa Hukum MY, Tanzil, menyatakan bahwa kliennya tidak mengira akan ditetapkan sebagai tersangka dan dianggap menyebabkan kerugian negara. Menurutnya, proses pengadaan tanah yang melibatkan MY dilakukan secara transparan dan melibatkan banyak pihak.
Proses tersebut diawasi oleh Ketua Tim Anggaran Pemerintah Kota (TAPK), yang merupakan Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh serta panitia yang dibentuk oleh Wali Kota Banda Aceh saat itu, Aminullah Usman.
Tanzil juga mengungkap terkait dengan dana ganti rugi tanah gampong yang masuk ke dalam rekening pribadi, fakta dalam persidangan menunjukkan bahwa semua pihak, termasuk inspektorat dan masyarakat, terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut. Tidak ada rapat tertutup, dan proses dilakukan secara terbuka.
“Yasir disebutkan melakukan kelalaian dalam mentransfer uang ke rekening pribadi, tetapi hal ini sebenarnya sudah disepakati sejak awal melalui rapat-rapat resmi, dengan adanya kuasa dari pemilik tanah. Yasir hanya menyiapkan dokumen pencairan, dan proses selanjutnya berada di tangan bendahara,” ujar Tanzil.
Dia juga menjelaskan bahwa tuduhan pembiaran MY terhadap transfer dana ganti rugi tanah persil nomor 1 senilai Rp1,5 miliar yang masuk ke rekening pribadi Anshari Yahya QQ Rusli Raden didasarkan pada kesepakatan dari pihak gampong disertai adanya surat kuasa dari Gusmeri selaku Pengguna Anggaran.
“Yang ditransfer itu adalah uang ganti rugi tanah gampong. Dulu, mulanya tanah itu yang belum ada nama kepemilikan, diklaim sama gampong adalah milik gampong. Masyarakat minta Pak Deddy urus, dikuasakanlah ke Pak Deddy. Mukim kadang ada merasa miliknya. Yasir pun tidak tahu menahu, karena itu juga dirapatkan,” katanya.
Tanzil menyoroti tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada MY tidak berdasar karena kliennya tidak menerima uang sepeserpun dari hasil ganti rugi pembebasan lahan NAIC. Selain itu, transfer dana ganti rugi ke rekening pribadi juga dilakukan setelah adanya kesepakatan bersama dengan pihak Gampong Ulee Lheue.
Tanzil menduga tuduhan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap MY oleh pihak-pihak tertentu yang keinginannya mungkin tidak terakomodasi selama MY menjabat sebagai Kepala Dinas PUPR Kota Banda Aceh.
Ia berpendapat bahwa jika memang ada perbuatan melawan hukum, tanggung jawab seharusnya dimintakan kepada pejabat yang berwenang, dalam hal ini TAPK dan pengguna anggaran, bukan kepada MY yang pada saat itu hanya bertindak sebagai PPTK.
“Setiap anggaran yang keluar dari kas negara kan atas dasar persetujuan TAPK, sedangkan kalau MY yang kapasitas sebagai PPATK itu hanya menyiapkan dokumen-dokumen yang diterima dari pihak lain," jelasnya.
Dia pun telah mengajukan eksepsi terhadap tuduhan ini, apalagi jaksa dianggap mencampuradukkan anggaran pembebasan lahan tahun 2018 dan 2019. Tanzil berpendapat hal ini tidak tepat karena MY menjabat sebagai PPTK pada tahun 2018, sementara pada tahun 2019 jabatan tersebut dipegang oleh Salmah Maimuna. Namun, eksepsi ini ditolak oleh Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh.
Selain itu, ia menambahkan bahwa ada masalah lain yang seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum dan masyarakat yakni anggaran untuk pembangunan lahan zikir terapung di atas lautan. Sebab, pembebasan lahan yang sudah dilakukan dan diduga korupsi baru hanya untuk jalan masuk dan parkiran.
“Untuk lahan zikirnya katanya uang dari Arab Saudi, itu pun dikasih ke siapa? Kita hari ini periksa orang, menduga korupsi. Uang lahan zikir yang sebenarnya yang puluhan miliar itu belum tahu datang dari Arab Saudi atau enggak,” katanya.
Mantan Wali Kota Banda Aceh yang mencetuskan proyek ini, Aminullah Usman, membenarkan bahwa anggaran untuk pembangunan NAIC salah satunya bersumber dari donatur Arab Saudi. Namun, rencana kerja sama dengan donatur dari negara pengeskpor minyak terbesar di dunia tersebut terhenti akibat pandemi Covid-19.
“Mulanya dananya bisa saja dari APBK dan dari donatur. Kita juga sudah menghubungi beberapa donatur dari Arab Saudi waktu itu. Itu tidak dijanjikan, belum tuntas baru kita silaturahmi. Tetapi, karena bertemu Covid-19, berhenti semua,” katanya saat dikonfirmasi pada Rabu, (11/9/2024).
Baca juga: Mantan Kadis PUPR Banda Aceh didakwa korupsi pengadaan lahan zikir Rp1 M
Dia juga menyampaikan rencana pembangunan NAIC juga terpaksa dihentikan karena sulit mendapatkan sumber pendanaan saat wabah pandemi Covid-19. Ia berjanji akan kembali melanjutkan pembangunan apabila dirinya terpilih kembali menjadi Wali Kota Banda Aceh pada pilkada mendatang.
“Itu kan karena terjadi Covid-19 maka anggaran kita tidak ada. Insyaallah kita lanjutkan nanti kalau anggarannya tersedia,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, meyakini bahwa meski ada tiga orang yang menjadi tersangka, mereka bukanlah aktor utama dalam kasus ini, melainkan ada pihak lain yang diduga menikmati aliran dana besar dari kasus ini.
Alfian juga meyakini bahwa pihak kepolisian sebenarnya sudah mengetahui siapa saja yang terlibat dalam aliran dana korupsi tersebut, tetapi hukum terkesan tidak menyentuh aktor-aktor besar di balik kasus ini.
“Kami berharap polisi tidak hanya berhenti pada tiga tersangka ini saja. Karena kami yakin, para pelaku dan penikmat uang hasil korupsi ini tidak hanya tiga orang. Mereka hanya operator yang menjalankan proses administrasi, baik di tingkat birokrasi pemerintah maupun dalam proses pembayaran kepada pemilik lahan," jelasnya.
Dia juga meminta hakim untuk tidak hanya memproses tersangka, tetapi juga memberikan rekomendasi kepada penyidik untuk melanjutkan pemeriksaan terhadap pihak lain.
“Hakim memiliki peluang untuk mengembangkan kasus ini. Hakim bisa memberi rekomendasi kepada penyidik agar melakukan penyelidikan lebih lanjut, apalagi jika ada pengakuan dari terdakwa bahwa mereka tidak menerima hasil tindak pidana korupsi tersebut,” tambah Alfian.
Jika penyidikan tidak dilakukan secara tuntas, menurut Alfian, publik bisa berasumsi bahwa ada pihak-pihak yang dilindungi dalam kasus ini. Ia juga memperingatkan bahwa hal ini dapat membuka peluang bagi pejabat lain untuk melakukan tindak pidana korupsi di masa mendatang.
Hingga kini, kasus penyalahgunaan anggaran di lahan Zikir Nurul Arafah masih bergulir di pengadilan. Sementara kasus ini belum selesai, muncul janji politis dari pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf-Fadhlullah yang juga memiliki rencana membangun pusat manasik haji dan zikir terbesar se-Asia Tenggara dengan nama Syiah Kuala Islamic Centre jika terpilih pada pilkada mendatang.
Baca juga: Majelis hakim tolak eksepsi terdakwa korupsi pengadaan lahan zikir
Tulisan ini merupakan hasil liputan kolaboratif yang dilakukan oleh Nurul Hasanah (Antaranews Aceh), Ulfah (KBA.One), Indra Wijaya (Serambinews.com), dan Haris Al Qausar (Digdata.id) yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Aceh.
Isi di luar tanggung jawab redaksi ANTARA Biro Aceh
Balada korupsi di tanah zikir Nurul Arafah Banda Aceh
Oleh Nurul Hasanah Rabu, 2 Oktober 2024 21:26 WIB