Banda Aceh (ANTARA) - Rerumputan liar tumbuh subur di lokasi jalan masuk Nurul Arafah Islamic Center (NAIC), Kota Banda Aceh. Ada empat bangunan bercat putih dan biru yang telah berdiri di atas lahan yang digadang-gadang sebagai pusat zikir terbesar se-Asia Tenggara itu. Kondisinya terbengkalai setelah tersandung korupsi penyalahgunaan anggaran.
Beberapa bagian bangunan hasil buah pikiran proyek ambisius mantan Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman ini bahkan mulai mengalami kerusakan, padahal sama sekali belum pernah difungsikan. Cat putih pada dinding tampak mulai memudar hingga mengelupas menampilkan kembali warna asli bangunan.
Plafon yang terdapat pada langit-langit bangunan juga tampak bocor menyebabkan air merembes ke lantai dan mengubah keramik yang semula berwarna putih menjadi hijau akibat ditumbuhi lumut dari air yang tergenang. Kotoran hewan yang memenuhi lantai semakin memburuk kondisi bangunan ini.
Pada Kamis, 28 Maret 2024, tim investigasi KJI mengunjungi lokasi proyek yang terbengkalai ini. Menurut pengakuan salah seorang warga sekitar, lokasi lahan zikir NAIC sudah lama tidak ada aktivitas sejak selesai empat bangunan tersebut.
“Bangunannya sudah siap, tukangnya pulang,” katanya kepada tim KJI.
Baca juga: BREAKING NEWS - Kadis PUPR Banda Aceh ditangkap polisi terkait kasus korupsi lahan zikir Ulee Lheue
Warga gampong sudah diberi informasi tentang rencana pembangunan proyek NAIC sejak tahun 2018. Bangunan yang sudah berdiri itu direncanakan akan dimanfaatkan sebagai Banda Aceh Business Center atau gedung serbaguna, sedangkan untuk lahan zikir akan didirikan di sisi pantai.
Warga awalnya menyambut antusias rencana pembangunan lahan zikir NAIC. Apalagi, ada iming-iming lokasi tersebut akan meningkatkan perekonomian warga setempat. Namun, kini mereka hanya pasrah melihat empat bangunan kosong tanpa kejelasan fungsi, sementara rencana utama pembangunan zikir center di lautan tak pernah terealisasi.
Sebelum pembangunan dimulai, lahan milik warga setempat dibebaskan dengan proses yang menimbulkan pro dan kontra. Sebagian warga menolak pindah karena merasa terikat dengan tempat tinggal mereka.
“Sebagian warga tidak ingin pindah dari lokasi, sebagian yang sudah memiliki rumah di lokasi lain sukarela lahannya dibeli,” katanya.
Halaman selanjutnya: mega proyek
Tentang mega proyek NAIC
Berdasarkan penelusuran tim di laman tenderlandingpage.com, proyek ini dikerjakan CV Konsultan Teknik Jalan Raya Aksial (Rancang Bangun-Teknik). Proyek yang ditawarkan adalah Proyek Gemilang yang merupakan gabungan dari Nurul Arafah Islamic Center (NAIC) dan Banda Aceh Business Center (BSB).
Dari situs tersebut disebutkan bahwa Proyek Gemilang merupakan inisiasi Pemerintah Kota Banda Aceh untuk membangun Islamic Center berkelas dunia sebagai destinasi wisata islami, sementara Banda Aceh Business Center sebagai pusat gaya hidup di Banda Aceh. Total investasi dari Nurul Arafah Islamic Center mencapai 24.2 juta dolar AS, atau setara Rp331 miliar.
Sedangkan untuk Proyek Banda Aceh Business Center yang terletak di Jalan Cut Meutia Gampong Baru Kecamatan Baiturrahman, dengan luas tanah 11,727 M2 diperuntukkan khusus untuk perdagangan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dengan perkiraan total investasi mencapai 33.8 juta dolar AS, atau setara Rp461 miliar.
Proyek tersebut diproyeksikan dalam tahap perencanaan dan pengajuan anggaran serta rencana pembangunan infrastruktur jalan pada bulan Oktober 2021. Pembangunan konstruksinya sendiri rencananya akan dimulai pada bulan Juni 2022 dan diperkirakan proyek akan selesai pada bulan Maret 2024 dengan nilai anggaran Rp260 miliar.
Luas bangunan yang direncanakan 15.000 m2 dengan detail bangunan gedung utama 10.218 m2, fasilitas 1.103 m2, Asmaul Husna 548 m2, luas Manasik Haji 1.103 m2, Taman 1.042 m2 (bangunan utama dibangun terapung di atas permukaan laut) dengan jumlah bangunan dua blok, terdiri atas 2 lantai, dan tinggi menara 39 m. Dengan jumlah tersebut, bangunan ini diharapkan dapat menampung 30.000 jamaah.
Berdasarkan layout plan project, NAIC dibangun di atas sisi pantai Ulee Lheue (di atas laut). Pintu masuk ke lokasi yaitu dari Jalan Prof. Dr. Ibrahim Hasan. Selain itu, NAIC tidak hanya difungsikan sebagai lokasi untuk berzikir, tetapi juga ada plaza zikir, sekolah tahfidz dan asrama santri, guest house, klinik kesehatan, minimarket atau cafetaria, souvenir, rumoh gallery, pos security, parkir roda 4 dan 2, termasuk sentra Industri Kecil Menengah (IKM).
Bangunan-bangunan itu direncanakan dibangun di sekitar belakang Masjid Baiturrahim hingga ke pinggir laut Ulee Lheue, kecuali sentra IKM. Gedung induk NAIC (tempat berzikir) dalam perencanaannya dibuat terapung di atas laut Ulee Lheue.
Namun kenyataannya, hingga saat ini yang dibangun di lahan zikir NAIC hanyalah sentra IKM yaitu empat bangunan dengan kondisi terbengkalai dan dikelilingi semak belukar. Salah satu bangunan IKM tersebut bertuliskan Gedung Produksi.
Proses dan Dugaan Penyimpangan
Pemerintah Kota Banda Aceh dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2017-2022 merencanakan pembangunan Kawasan Zikir atau Nurul Arafah Islamic Center (NAIC) di Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh.
Rapat studi kelayakan pertama diadakan pada 29 November 2017 dipimpin oleh Kepala Dinas PUPR Banda Aceh, Gusmeri. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah menyepakati bahwa proyek ini memerlukan lahan minimal 4 hektare. Bangunan inti Islamic Center direncanakan seluas 20.000 m² dengan dimensi 100 meter x 200 meter, serta dilengkapi 170 kubah beton ringan.
Lokasi pembangunan ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Strategis Wisata Tsunami berdasarkan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang diperbarui menjadi Qanun Nomor 2 Tahun 2018. Anggaran pembebasan lahan senilai Rp3,27 miliar telah dialokasikan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Dinas PUPR Kota Banda Aceh Tahun 2018.
Kemudian, pada 30 Januari 2018, Gusmeri menetapkan Muhammad Yasir (MY) sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pada subprogram peningkatan sarana dan prasarana aparatur. Dengan penunjukkan tersebut, ia secara teknis juga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan lahan zikir NAIC.
Muhammad Yasir kemudian menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Banda Aceh saat kasus dugaan korupsi ini dikuak oleh penegak hukum.
Baca juga: Mantan Keuchik Ulee Lheue ditangkap polisi karena terlibat korupsi lahan zikir Nurul Arafah
Proses pembebasan lahan mulai bergerak pada 16 April 2018, tim pengadaan tanah yang telah ditunjuk melakukan rapat sosialisasi terkait pembebasan lahan. Dalam rapat ini, mereka memutuskan luas tanah yang dibutuhkan untuk NAIC mencapai ±3.000 m² dengan 10 persil tanah yang akan terkena dampak pembebasan lahan pada tahap pertama.
Sebagai tindak lanjut, Gusmeri mengirimkan surat kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh pada 17 Mei 2018 untuk meminta bantuan pengukuran tanah milik masyarakat yang terkena pembebasan lahan di Gampong (Desa) Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa.
Pengukuran tanah tersebut dilakukan pada 21 Mei 2018 oleh petugas ukur Kantor Pertanahan (BPN) Kota Banda Aceh, Fajar Abdul Rochim, didampingi MY, perwakilan Tata Pemerintahan (Tapem) Kota Banda Aceh, keuchik (kepala desa) dan perangkat desa setempat, serta warga yang lahannya terdampak. Pengukuran dilakukan terhadap 14 bidang tanah.
Setelah peta pengukuran selesai, Gusmeri selaku pengguna anggaran menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Nanang Rahayu & Rekan untuk melakukan penilaian harga tanah. Penunjukan dilakukan berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) Nomor 602.1/137/SPK/PBJK-DPUPR/2018 tanggal 8 Agustus 2018 dengan nilai kontrak sebesar Rp49,6 juta.
Laporan penilaian properti kemudian dikeluarkan oleh KJPP pada 15 Agustus 2018. Hasilnya terhadap 14 bidang tanah dengan total luas 6.891 m2 beserta bangunan yang terletak di Jalan Ibrahim Hasan, Lorong Keuchik Usman, dan Gampong Ulee di Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh membutuhkan dana pengganti sebesar Rp4,06 miliar.
Setelah menerima Laporan Hasil Penilaian Harga Tanah dari KJPP Nanang Rahayu & Rekan, Dinas PUPR mengadakan sosialisasi harga tanah yang terkena pembebasan lahan pada bulan Desember 2018. Para pemilik tanah yang lahannya terdampak diminta untuk menyiapkan dokumen administrasi yang kemudian diserahkan kepada Keuchik Gampong dan diteruskan kepada Tapem Kota Banda Aceh.
Dokumen administrasi yang telah dikumpulkan oleh keuchik kemudian diserahkan kepada MY untuk diverifikasi. Setelah verifikasi, MY menyerahkan kembali dokumen tersebut kepada Tapem. Dia juga memerintahkan Tapem melengkapi administrasi pembebasan untuk lima bidang tanah milik Zuhriansyah, Tunzir, M. Duchan, Deddy Armansyah (Tanah Gampong), dan Deddy Armansyah (Tanah Pasar Batu Cincin).
Namun, saat itu muncul keberatan dari Rusli Raden. Dia mengklaim tanah Pasar Batu Cincin adalah milik Mukim Lamjabat dan Mukim Meuraxa. Rusli meminta agar dana pembebasan untuk bidang tersebut ditransfer ke rekening M. Ansari Yahya QQ Rusli Raden.
Meskipun tanah gampong biasanya harus ditransfer ke rekening gampong, rapat Tapem menyetujui pencairan dana ke rekening M. Ansari Yahya QQ Rusli Raden dengan syarat adanya Berita Acara Kesepakatan dan Surat Kuasa sesuai aturan perundang-undangan.
Atas dasar keputusan tersebut, Deddy Armansyah (DA) memerintahkan Sekretaris Gampong Ulee Lheue, Hafidz Ahmad Makam, untuk membuat Berita Acara Kesepakatan antara Rusli Raden dan M. Ansari Yahya mengetahui DA selaku Keuchik Ulee Lheue dan Ardiansyah Camat Ulee Lheue. Setelah kesepakatan ditandatangani, Tapem meminta M. Ansari Yahya QQ Rusli Raden membuat rekening bersama yang selesai dibuat pada 12 Desember 2018.
Setelah semua dokumen administrasi lengkap, termasuk dokumen pencairan dan pernyataan pelepasan hak atas tanah, bendahara Dinas PUPR Banda Aceh memproses pembayaran. Surat Perintah Membayar (SPM) ditandatangani oleh Gusmeri, sementara SPP-LS (Surat Perintah Pembayaran Langsung) ditandatangani oleh bendahara dan disetujui oleh MY serta disahkan oleh Hafirullah.
Pembayaran untuk lima bidang tanah tersebut dilakukan melalui Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dari Bendahara Umum Daerah, dengan rincian Zuhriansyah Rp321 juta, Tunzir Rp722 juta, M. Duchan Rp430 juta, DA (Tanah Gampong) Rp229 juta, dan M. Ansari Yahya QQ Rusli Raden (Tanah Pasar Batu Cincin) Rp1,5 miliar.
Walaupun pembayaran tanah Pasar Batu Cincin ditransfer ke rekening M. Ansari Yahya QQ Rusli Raden, kelengkapan administrasi seperti Berita Acara Pembayaran Ganti Kerugian, surat pernyataan pelepasan hak atas tanah, dan dokumen lainnya tetap ditandatangani oleh DA.
Pengadaan tanah untuk pembangunan Lahan Zikir NAIC kembali berlanjut pada tahun 2019. Saat itu, Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) harus menganggarkan ulang dana pembebasan lahan karena anggaran tahun 2018 tidak mencukupi untuk membayar ganti rugi pemilik tanah yang terdampak.
Berdasarkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) Dinas PUPR Kota Banda Aceh Tahun Anggaran 2019 yang dikeluarkan pada 21 Januari 2019, terdapat anggaran sebesar Rp1,83 miliar untuk pengadaan tanah terkait pembangunan infrastruktur jalan dalam Kota Banda Aceh. Anggaran ini mencakup dana untuk menyelesaikan proses pembayaran ganti rugi NAIC.
Baca juga: Kronologi kasus dugaan korupsi Kadis PUPR Banda Aceh di proyek lahan zikir
Menindaklanjuti anggaran tersebut, Wali Kota Banda Aceh mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Banda Aceh Nomor 143 Tahun 2019 pada 12 Maret 2019. Surat keputusan ini membentuk kembali Tim Pengadaan Tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan dalam kota pada tahun 2019, termasuk melanjutkan proses pembebasan lahan untuk NAIC.
Namun, MY tidak lagi menjabat sebagai PPTK sejak 15 Januari 2019. Saat itu, Gusmeri, menetapkan Salmah Maimunah sebagai PPTK. Sehubungan proses pengukuran dan penilaian harga tanah telah dilakukan pada tahun 2018, Salmah Maimunah hanya bertugas melanjutkan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan.
Pada tahun 2021, Pemerintah Kota Banda Aceh kembali mengalokasikan anggaran sebesar Rp8 miliar yang bersumber dari APBK Tahun 2021 untuk pembebasan lahan NAIC tahap kedua dan pengembangan Masjid Baiturrahim Ulee Lheue. Akan tetapi, anggaran itu dipangkas hingga tersisa Rp1 miliar dengan alasan terkendala pembebasan lahan milik warga setempat.
Sementara sisa anggaran pembebasan lahan sekitar Rp7 miliar dialihkan untuk membayar ganti rugi tanah milik AMS seluas 1.392 m2 di Jalan Glee Seumpa, Gampong Geuceu Kayee Jato, Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh dengan harga Rp6,9 miliar. Pembebasan lahan tersebut dimaksudkan guna mendukung proyek penataan kawasan Kota Tanpa Kumuh (Kotaku).
Pengalihan dana inilah yang menimbulkan masalah. Kebijakan pembelian tanah tersebut menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI karena direalisasikan tidak sesuai ketentuan.
Pengalihan itu tidak memuat maksud dan tujuan rencana pembangunan dalam dokumen perencanaan yang dibutuhkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Selain itu, BPK juga menemukan sertifikat asli tanah milik AMS berstatus jaminan utang pada Bank Bukopin. BPK mengungkap bahwa hak tanggungan diberikan kepada PT Bank Bukopin Tbk. untuk menjamin pelunasan piutang sejumlah Rp1,87 miliar dengan objek tanggungan berupa tanah milik AMS.
Atas dasar temuan tersebut, Polresta Kota Banda Aceh melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi pembebasan lahan NAIC pada Oktober 2022. Sebulan berikutnya, penyidik menyita uang senilai Rp120 juta dari salah seorang saksi yang diperiksa.
Kasus ini semakin menyita perhatian setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh menemukan adanya kerugian negara mencapai Rp1 miliar.
Halaman selanjutnya: para tersangka
Siapa yang Bermain?
Pada pertengahan tahun 2023, Polresta Banda Aceh menetapkan Kasi Pemerintahan Gampong Ulee Lheue, Sofian Hadi (SH), Mantan Keuchik Gampong Ulee Lheue, Deddy Armansyah (DA), dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Banda Aceh, Muhammad Yasir (MY), sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan tanah untuk proyek NAIC yang bersumber dari APBK 2018 dan 2019.
DA dan SH ditangkap Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Banda Aceh pada 3 Juli 2023 pukul 14.00 WIB, sedangkan Muhammad Yasir (MY) ditangkap pada 7 Agustus 2023 pukul 13.50 WIB.
DA diduga menyalahgunakan wewenangnya dalam proses ganti rugi tanah yang bersumber dari APBK Dinas PUPR Kota Banda Aceh 2018 dan 2019. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), DA membuat Surat Keterangan Tanah (SKT) untuk dua persil tanah nomor 1 dan 12 yang sebenarnya tidak diketahui pemiliknya dan mengklaimnya sebagai tanah gampong.
SKT yang dikeluarkan DA pada 30 Juli 2018 menyatakan bahwa tanah nomor 1 seluas 1.088 m² merupakan bekas Pasar Ikan Gampong Ulee Lheue, sementara tanah nomor 12 seluas 833 m² dinyatakan sebagai bekas Lorong Gampong Ulee Lheue.
Ia kemudian mencantumkan rekening pribadinya untuk menerima uang ganti rugi tanah persil nomor 12 senilai Rp229 juta. Selain itu, dia membuat dokumen sporadik atas nama SH untuk mengklaim tanah persil nomor 13 seluas 116 m² yang tidak diketahui pemiliknya, dan uang ganti rugi sebesar Rp142 juta masuk ke rekening pribadi SH.
DA juga menyiapkan dokumen amprahan untuk menerima pembayaran ganti rugi tanah persil nomor 1 atas nama tanah Gampong Ulee Lheue ke rekening pribadi Anshari Yahya QQ Rusli Raden. Rekening tersebut menerima Rp1,5 miliar pada 19 Desember 2018 dan sisa Rp229 juta pada 18 Desember 2019.
Akibat tindakan ini, MY ditetapkan sebagai tersangka karena diduga membiarkan ganti rugi pengadaan tanah untuk pembangunan NAIC yang seharusnya ditransfer ke rekening kas Gampong Ulee Lheue justru masuk ke rekening pribadi DA, SH, serta Anshari Yahya QQ Rusli Raden.
Baca juga: Polresta: Kasus korupsi lahan zikir Nurul Arafah Banda Aceh berlanjut
Sementara itu, Kuasa Hukum MY, Tanzil, menyatakan bahwa kliennya tidak mengira akan ditetapkan sebagai tersangka dan dianggap menyebabkan kerugian negara. Menurutnya, proses pengadaan tanah yang melibatkan MY dilakukan secara transparan dan melibatkan banyak pihak.
Proses tersebut diawasi oleh Ketua Tim Anggaran Pemerintah Kota (TAPK), yang merupakan Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh serta panitia yang dibentuk oleh Wali Kota Banda Aceh saat itu, Aminullah Usman.
Tanzil juga mengungkap terkait dengan dana ganti rugi tanah gampong yang masuk ke dalam rekening pribadi, fakta dalam persidangan menunjukkan bahwa semua pihak, termasuk inspektorat dan masyarakat, terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut. Tidak ada rapat tertutup, dan proses dilakukan secara terbuka.
“Yasir disebutkan melakukan kelalaian dalam mentransfer uang ke rekening pribadi, tetapi hal ini sebenarnya sudah disepakati sejak awal melalui rapat-rapat resmi, dengan adanya kuasa dari pemilik tanah. Yasir hanya menyiapkan dokumen pencairan, dan proses selanjutnya berada di tangan bendahara,” ujar Tanzil.
Dia juga menjelaskan bahwa tuduhan pembiaran MY terhadap transfer dana ganti rugi tanah persil nomor 1 senilai Rp1,5 miliar yang masuk ke rekening pribadi Anshari Yahya QQ Rusli Raden didasarkan pada kesepakatan dari pihak gampong disertai adanya surat kuasa dari Gusmeri selaku Pengguna Anggaran.
“Yang ditransfer itu adalah uang ganti rugi tanah gampong. Dulu, mulanya tanah itu yang belum ada nama kepemilikan, diklaim sama gampong adalah milik gampong. Masyarakat minta Pak Deddy urus, dikuasakanlah ke Pak Deddy. Mukim kadang ada merasa miliknya. Yasir pun tidak tahu menahu, karena itu juga dirapatkan,” katanya.
Tanzil menyoroti tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada MY tidak berdasar karena kliennya tidak menerima uang sepeserpun dari hasil ganti rugi pembebasan lahan NAIC. Selain itu, transfer dana ganti rugi ke rekening pribadi juga dilakukan setelah adanya kesepakatan bersama dengan pihak Gampong Ulee Lheue.
Tanzil menduga tuduhan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap MY oleh pihak-pihak tertentu yang keinginannya mungkin tidak terakomodasi selama MY menjabat sebagai Kepala Dinas PUPR Kota Banda Aceh.
Ia berpendapat bahwa jika memang ada perbuatan melawan hukum, tanggung jawab seharusnya dimintakan kepada pejabat yang berwenang, dalam hal ini TAPK dan pengguna anggaran, bukan kepada MY yang pada saat itu hanya bertindak sebagai PPTK.
“Setiap anggaran yang keluar dari kas negara kan atas dasar persetujuan TAPK, sedangkan kalau MY yang kapasitas sebagai PPATK itu hanya menyiapkan dokumen-dokumen yang diterima dari pihak lain," jelasnya.
Dia pun telah mengajukan eksepsi terhadap tuduhan ini, apalagi jaksa dianggap mencampuradukkan anggaran pembebasan lahan tahun 2018 dan 2019. Tanzil berpendapat hal ini tidak tepat karena MY menjabat sebagai PPTK pada tahun 2018, sementara pada tahun 2019 jabatan tersebut dipegang oleh Salmah Maimuna. Namun, eksepsi ini ditolak oleh Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh.
Selain itu, ia menambahkan bahwa ada masalah lain yang seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum dan masyarakat yakni anggaran untuk pembangunan lahan zikir terapung di atas lautan. Sebab, pembebasan lahan yang sudah dilakukan dan diduga korupsi baru hanya untuk jalan masuk dan parkiran.
“Untuk lahan zikirnya katanya uang dari Arab Saudi, itu pun dikasih ke siapa? Kita hari ini periksa orang, menduga korupsi. Uang lahan zikir yang sebenarnya yang puluhan miliar itu belum tahu datang dari Arab Saudi atau enggak,” katanya.
Mantan Wali Kota Banda Aceh yang mencetuskan proyek ini, Aminullah Usman, membenarkan bahwa anggaran untuk pembangunan NAIC salah satunya bersumber dari donatur Arab Saudi. Namun, rencana kerja sama dengan donatur dari negara pengeskpor minyak terbesar di dunia tersebut terhenti akibat pandemi Covid-19.
“Mulanya dananya bisa saja dari APBK dan dari donatur. Kita juga sudah menghubungi beberapa donatur dari Arab Saudi waktu itu. Itu tidak dijanjikan, belum tuntas baru kita silaturahmi. Tetapi, karena bertemu Covid-19, berhenti semua,” katanya saat dikonfirmasi pada Rabu, (11/9/2024).
Baca juga: Mantan Kadis PUPR Banda Aceh didakwa korupsi pengadaan lahan zikir Rp1 M
Dia juga menyampaikan rencana pembangunan NAIC juga terpaksa dihentikan karena sulit mendapatkan sumber pendanaan saat wabah pandemi Covid-19. Ia berjanji akan kembali melanjutkan pembangunan apabila dirinya terpilih kembali menjadi Wali Kota Banda Aceh pada pilkada mendatang.
“Itu kan karena terjadi Covid-19 maka anggaran kita tidak ada. Insyaallah kita lanjutkan nanti kalau anggarannya tersedia,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, meyakini bahwa meski ada tiga orang yang menjadi tersangka, mereka bukanlah aktor utama dalam kasus ini, melainkan ada pihak lain yang diduga menikmati aliran dana besar dari kasus ini.
Alfian juga meyakini bahwa pihak kepolisian sebenarnya sudah mengetahui siapa saja yang terlibat dalam aliran dana korupsi tersebut, tetapi hukum terkesan tidak menyentuh aktor-aktor besar di balik kasus ini.
“Kami berharap polisi tidak hanya berhenti pada tiga tersangka ini saja. Karena kami yakin, para pelaku dan penikmat uang hasil korupsi ini tidak hanya tiga orang. Mereka hanya operator yang menjalankan proses administrasi, baik di tingkat birokrasi pemerintah maupun dalam proses pembayaran kepada pemilik lahan," jelasnya.
Dia juga meminta hakim untuk tidak hanya memproses tersangka, tetapi juga memberikan rekomendasi kepada penyidik untuk melanjutkan pemeriksaan terhadap pihak lain.
“Hakim memiliki peluang untuk mengembangkan kasus ini. Hakim bisa memberi rekomendasi kepada penyidik agar melakukan penyelidikan lebih lanjut, apalagi jika ada pengakuan dari terdakwa bahwa mereka tidak menerima hasil tindak pidana korupsi tersebut,” tambah Alfian.
Jika penyidikan tidak dilakukan secara tuntas, menurut Alfian, publik bisa berasumsi bahwa ada pihak-pihak yang dilindungi dalam kasus ini. Ia juga memperingatkan bahwa hal ini dapat membuka peluang bagi pejabat lain untuk melakukan tindak pidana korupsi di masa mendatang.
Hingga kini, kasus penyalahgunaan anggaran di lahan Zikir Nurul Arafah masih bergulir di pengadilan. Sementara kasus ini belum selesai, muncul janji politis dari pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf-Fadhlullah yang juga memiliki rencana membangun pusat manasik haji dan zikir terbesar se-Asia Tenggara dengan nama Syiah Kuala Islamic Centre jika terpilih pada pilkada mendatang.
Baca juga: Majelis hakim tolak eksepsi terdakwa korupsi pengadaan lahan zikir
Tulisan ini merupakan hasil liputan kolaboratif yang dilakukan oleh Nurul Hasanah (Antaranews Aceh), Ulfah (KBA.One), Indra Wijaya (Serambinews.com), dan Haris Al Qausar (Digdata.id) yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Aceh.
Isi di luar tanggung jawab redaksi ANTARA Biro Aceh
Balada korupsi di tanah zikir Nurul Arafah Banda Aceh
Oleh Nurul Hasanah Rabu, 2 Oktober 2024 21:26 WIB