Bagi banyak kaum difabel, mendapatkan pekerjaan yang layak lebih sulit dibandingkan orang biasa. Apalagi di masyarakat yang sering kali menganggap keterbatasan fisik sebagai penghalang.
Terkadang dunia kerja terasa begitu jauh bagi mereka, seakan ada dinding besar yang memisahkan mereka untuk dapat kesempatan yang sama dengan orang lain.
Banda Aceh, sebuah kota yang kerap dikenal dengan keberagaman budaya dan tradisi, kini menyuguhkan suasana baru di salah satu cafe terkenal, Hoco Coffee. Apa yang membedakan tempat ini dari cafe lainnya adalah hadirnya para pekerja Tuli yang memberikan pelayanan ramah dengan cara yang unik.
Baca juga: Disdukcapil susun standar pelayanan adminduk disabilitas
Dengan konsep inklusif yang mengutamakan keberagaman, Hoco Coffee menjadi contoh bagaimana dunia kerja bisa lebih terbuka dan menghargai setiap individu, tanpa memandang keterbatasan jasmani.
Yang menarik, pelanggan Hoco Coffee dapat memesan makanan dan minuman menggunakan bahasa isyarat. Setiap meja dilengkapi dengan bendera yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan para pelayan Tuli.
Setiap warna bendera memiliki arti. Bendera merah menandakan pelanggan butuh bantuan, warna hijau ingin melakukan pembayaran, sedangkan bendera putih artinya pelanggan ingin belajar bahasa isyarat di lokasi tersebut.
Metode ini bukan hanya mempermudah proses komunikasi, tetapi juga menjadi kesempatan bagi pengunjung untuk belajar bahasa isyarat langsung dari teman-teman Tuli yang bekerja di cafe tersebut.
Anas Jamal, manajer Hoco Coffee pada November 2024 menjelaskan, keputusan untuk menggandeng teman-teman tuli dalam tim mereka berawal dari niat untuk tidak membedakan kualitas sumber daya manusia di tempat kerja. Keberadaan mereka tidak lepas dari kolaborasi antara Hoco Coffee dan program AMANAH, yang diinisiasi oleh Badan Intelijen Negara (BIN) di Aceh.
Sektor tersebut merupakan inisiatif yang berfokus pada pemberdayaan penyandang disabilitas, khususnya teman-teman Tuli. Program AMANAH memberikan pelatihan intensif selama empat hari kepada para peserta untuk mempersiapkan mereka menjadi waiters (pelayan). Setelah pelatihan tersebut, para peserta langsung diterjunkan ke lapangan melalui kerja sama dengan Hoco Coffee, yang mendukung mereka untuk bekerja langsung melayani pelanggan
“Selain saya tidak ingin membedakan SDM di lapangan, sebelumnya kami juga melakukan kolaborasi dengan AMANAH untuk memberikan kesempatan bagi teman-teman difabel. Kebetulan, dua pemilik kami, Fadlan dan Syahran, sangat peduli dengan teman-teman Tuli ini. Mereka tidak keberatan sama sekali dan mendukung sepenuhnya. Kami berharap kolaborasi ini bisa lebih luas lagi,” ujarnya.
Anas juga mengatakan saat ini, dari 10 pekerja Tuli yang pertama kali bergabung, kini ada enam orang yang aktif bekerja dan dikontrak untuk melanjutkan pekerjaan mereka selama setahun.
Halaman selanjutnya: difabel kerap dibedakan
Kerap dibedakan“Gaji teman Tuli seringkali berbeda dengan gaji teman dengar. Kami bekerja dengan sama kerasnya, tapi gaji kami tidak setara,” tutur Fitri Akmalia
Fitri Akmalia, salah satu pelayan Tuli di Hoco Coffee, berbagi cerita tentang perjalanan hidupnya yang penuh tantangan dan harapan. Sebelum bergabung dengan Hoco Coffee, Fitri bekerja selama empat tahun sebagai petugas kebersihan di sebuah sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus Banda Aceh sebagai petugas kebersihan.
“Waktu itu, saya kesulitan mencari pekerjaan di tempat lain. Di banyak tempat kerja, jarang ada yang mau menerima teman-teman Tuli," katanya.
Meskipun sudah bekerja, pengalaman Fitri tidak selalu menyenangkan. Ia merasa kadang apa yang didapatkan kurang sebanding dengan beban kerja yang makin bertambah. Salah satu pengalaman yang paling sulit dihadapi adalah ketidakadilan dalam sistem penggajian.
“Gaji teman Tuli seringkali berbeda dengan gaji teman dengar. Kami bekerja dengan sama kerasnya, tapi gaji kami tidak setara,” tuturnya.
Di sisi lain, ia merasa ada tantangan dari dalam diri untuk bisa berkembang lebih jauh di tengah keterbatasan panca indranya. Meskipun merasa diperlakukan tidak adil, Fitri tetap bertahan di sekolah itu selama empat tahun karena kesulitan mencari pekerjaan lain yang mau menerima teman Tuli.
“Saya bertahan selama empat tahun, karena tidak ada pekerjaan lain yang mau menerima teman tuli bekerja. Saya merasa terjebak, tapi tidak punya pilihan lain,” ujarnya.
Perubahan dalam hidupnya dimulai setelah Fitri bergabung dengan program pelatihan di AMANAH, yang memiliki program pemberdayaan untuk penyandang disabilitas. Di sana Fitri mendapatkan pelatihan, serta bantuan untuk kalangan difabel untuk mencari pekerjaan. Dari sana semangat Fitri untuk maju makin tinggi.
“AMANAH membantu kami cari kerja di kafe. Kami ditemani tim AMANAH untuk tes di beberapa kafe, seperti Hoco Coffee dan Teras Banda. Tapi yang menerima kami hanya Hoco Coffee,” ujar Fitri dengan rasa syukur.
Bekerja di Hoco Coffee memberikan pengalaman yang sangat berbeda bagi Fitri. Di kafe ini, ia tidak hanya diterima dengan baik, tetapi juga merasa dihargai sebagai bagian dari tim.
“Saya sangat berterima kasih diberi kesempatan bekerja di Hoco. Di sini, teman-teman Tuli bisa bekerja dengan kesempatan yang setara,” tutur Fitri dengan penuh rasa terima kasih. Istilah Teman Tuli
Fitri juga mengungkapkan pandangannya mengenai penggunaan istilah yang seringkali digunakan untuk menyebut komunitas Tuli. Meskipun istilah tuna rungu tidak dianggap kasar, penggunaannya sering kali dirasakan kurang sensitif oleh sebagian anggota komunitas Tuli karena konotasi kekurangan yang terkandung di dalamnya.
"Komunitas Tuli lebih memilih istilah tuli atau teman Tuli karena dianggap lebih menghormati identitas kami dan tidak memandang ketulian sebagai kekurangan yang perlu diperbaiki,” kata Fitri seraya menambahkan istilah tersebut mencerminkan penghargaan terhadap keberagaman dan identitas individu dalam komunitas itu.
Perubahan besar yang dirasakan Fitri adalah semakin terbukanya dunia kerja terhadap teman-teman Tuli. Ia berharap semakin banyak kafe dan tempat usaha di Aceh yang terbuka dan percaya untuk menerima teman-teman Tuli yang lain.
"Kami itu sama seperti yang lain, kami juga bisa bekerja. Memang, kami memiliki perbedaan dalam cara berkomunikasi, tapi bukan berarti kita tidak bisa berkomunikasi,” ujar Fitri dengan penuh harapan.
Dengan memberi ruang bagi teman-teman Tuli untuk berkembang dan berkontribusi, mereka membuktikan bahwa setiap individu, tanpa memandang keterbatasan, memiliki potensi yang luar biasa.
Penulis: Cut Ulfah Gebrina, mahasiswa Sosiologi USK Banda Aceh
Baca juga: Pemerintah Aceh bantuan kaki palsu bagi 56 penyandang disabilitas
Baca juga: Disabilitas keluhkan akses edukasi bencana di Indonesia minim