Kutacane (ANTARA Aceh) - Aktivis lingkungan setempat mengklaim, bencana longsor dan banjir bandang yang memakan korban jiwa terancam terulang kembali di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh.
"Bisa kita lihat, setelah banjir bandang terjang dua kecamatan di Aceh Tenggara. Hampir tak ada yang dilakukan pemerintah terhadap hutan lindung," tegas aktivis lingkungan PAKA Leuser, Saiful Karo-Karo di Kutacane, Selasa.
Padahal, lanjutnya, kerusakan lingkungan hutan lindung yang merupakan bagian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sehingga dinilai sangat rentan terjadi bencana alam jika hujan turun secara terus menerus.
Seperti diketahui dalam 15 tahun terakhir peristiwa bencana longsor dan banjir bandang terjadi di Aceh Tenggara merupakan peristiwa ulangan lima tahun sekali.
Yakni tahun 2007 terjadi di Kecamatan Semadam, lalu 2012 di Kecamatan Bukit Tusam, dan pada 2017 di dua kecamatan yakni Semadam dan Lawe Sigala-Gala dengan memakan dua orang korban jiwa.
"Belum ada upaya yang dilakukan pemerintah baik di daerah ini, maupun provinsi, dan pusat terhadap kerusakan hutan lindung terutama di Semadam dan Lawe Sigala-Gala," ujarnya.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Aceh Tenggara menyebut, bencana banjir bandang terjadi Selasa, (11/4), telah mengakibatkan 183 rumah hanyut, 47 rumah rusak sedang, dan 208 rumah rusak ringan.
Terdapat 460 keluarga atau 1.765 jiwa yang megungsi karena kehilangan tempat tinggal, dan tercatat dua orang korban jiwa karena meninggal dunia.
Saiful mengatakan, bencana alam itu terjadi disebabkan akar pohon dari praktek illegal logging atau pembalakan liar yang mulai membusuk, sehingga catchment area atau wilayah tangkapan air di hutan lindung menjadi hilang.
"Kekuatan akar pohon itu, cuma selama lima tahun. Setelah itu, tidak ada lagi. Itu hasil survei kita di hutan lindung tahun 2012 lalu," terangnya.
"Solusinya adalah batasi pembukaan lahan di hutan lindung. Dan lereng pengunungan yang terbuka, segera ditanami pohon," ucap Saiful.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah menilai, praktek illegal logging atau penebangan liar telah berdampak buruk terhadap lingkungan, dan masyarakat yang tinggal di daerah kawasan hutan, dan aliran sungai.
"Saya minta pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk menghentikan praktik-praktik penebangan liar di seluruh Aceh, karena dampaknya sangat buruk bagi masyarakat," katanya.
Zaini mengatakan, wilayah Aceh Tenggara sangat sensitif terhadap banjir, atau sama halnya seperti di Kabupaten Aceh Singkil dan beberapa daerah lain di Aceh.
"Saya nilai banjir bandang di Aceh Tenggara akibat praktik penebangan liar, karena terlihat dari banyaknya bekas-bekas kayu hasil penebangan liar yang dibawa banjir," ucapnya.
Wilayah Aceh Tenggara miliki 16 kecamatan dan 385 desa, dan 282 desa diantaranya berada di lembah, serta 103 desa terletak di lereng pengunungan.