Banda Aceh (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Provinsi Aceh pada Oktober 2019 melakukan impor gula pasir dengan nilai 1,9 juta dolar Amerika Serikat (AS), dan komoditas tersebut menjadi nilai impor tertinggi bulan itu.
"Nilai impor paling tinggi komoditas gula senilai 422,100 dolar AS atau sebesar 85,98 persen dari total impor non migas," kata Kepala BPS Aceh Wahyuddin di Banda Aceh, Senin.
Dia menyebutkan impor gula tersebut dianggap untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Kemudian komoditas gula yang masuk di Kota Sabang dari dari Malaysia tersebut juga memiliki harga murah, ketimbang gula nasional.
“Gula yang diimpor ini resmi artinya tercatat di Bea Cukai, dan bebas untuk diedarkan tapi tidak terlalu banyak juga (gula) yang keluar dari Sabang," katanya.
Menurut dia penyebab impor gula tersebut dikarenakan persaingan harga antara gula dalam negeri dengan gula luar negeri. Para importir menilai harga gula luar negeri lebih murah jika dibandingkan impor gula dari Pulau Jawa.
"Iya persaingan harga, gula dari Malaysia harga rendah maka banyak yang impor dari sana, sedangkan gula dalam negeri kalah bersaing harga," katanya.
Ia mengatakan Aceh memang kerap impor gula dari dari daerah-daerah lain di Indonesia, sebab produksi gula di provinsi setempat tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat.
Menurut Wahyuddin padahal provinsi berjulukan "Serambi Mekkah" tersebut memiliki potensi yang begitu besar untuk menanam tebuk sebagai bahan baku gula, seperti di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
"Di NTB kemarin bukan lahan baru untuk menanam tebu, Aceh juga memiliki potensi, memiliki lahan yang luas untu digarap, tinggal kita mengundang investor untuk membangun pabrik gula di sini," katanya.
Disamping itu BPS Aceh juga mencatat aktivitas ekspor provinsi tersebut pada Oktober menurun dibandingkan September 2019. Nilai ekspor pada Oktober senilai 23,7 juta dolar AS atau menurun sebesar 8,23 persen.