Takengon (ANTARA) - "Kalau berburu itu hasilnya instan, dapat, jual, terima duit. Dulu saya masih SMP sudah menangkap harimau, kulitnya saya jual," tutur Muslim.
Muslim (34) adalah warga Kampung Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh.
Terlahir sebagai penduduk desa terpencil, di kawasan pinggiran hutan Karang Ampar di Dataran Tinggi Gayo, lelaki ini mewarisi keterampilan beruburu dari para orang tua terdahulu di desanya.
Bahkan kakek, paman, dan ayahnya pun adalah seorang pemburu. Maka jadilah Muslim seorang anak lelaki tangguh di tengah rimba.
Dia siap berhadapan dengan kebuasan harimau atau badak, dan juga tak gentar menghadapi kekuatan gajah liar di habitatnya.
"Dulu semua orang di desa ini kehidupannya memang berburu, memang itu tradisi mereka. Kakek saya dulu pernah cerita, dia berburu badak. Dia ke hutan dapat badak, dia ambil sumbu badak, dia jual," tutur pria ini.
Cerita Muslim tentang tradisi berburu orang-orang di desanya, termasuk dirinya, mengalir begitu saja saat ia dikunjungi oleh tim WWF bersama awak media selama tiga hari, pada 3-5 November 2020.
Ayah tiga anak ini bahkan blak-blakan tentang kisah masa lalunya yang pernah dipenjara di tahun 1999, akibat menangkap harimau dan menjual kulitnya. Saat itu dia bahkan masih berusia 13 tahun.
"Saya waktu kecil memang sering ikut berburu. Tahun 1999, saya ikut paman saya, kami menangkap harimau," ujarnya.
"Kami pasang jerat dan kami dapat harimau besar. Jadi waktu itu saya yang jual (Kulit harimau). Tapi waktu saya antar ke pembeli, saya dibekuk, rupanya ada yang mengikuti saya, polisi, dari Polres Aceh Tengah," kisah Muslim.
Namun karena saat itu ia masih berusia 13 tahun dengan status pelajar SMP, hukuman yang dijatuhkan padanya masih terbilang ringan, yaitu penjara selama 21 hari.
"Karena saya masih anak di bawah umur. Waktu itu juga kan masih konflik di Aceh ini," kata dia.
Itulah sekilas kisah lelaki kelahiran tahun 1986 tersebut. Namun itu hanyalah cerita masa lalu. Muslim kini hanyalah seorang mantan pemburu.
Dia dan masyarakat desanya kini sudah memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian satwa di alamnya, khususnya terhadap satwa dilindungi.
Selain tidak lagi berburu, Muslim kini bahkan aktif berperan sebagai pelindung flora fauna di desanya. Jadi tak hanya melestarikan satwa, tapi juga menjaga ekosistem hutan agar selamat dari pembalakan liar.
Kegiatan itu dilakukannya bukan tanpa alasan, bermula dari kemunculan gajah-gajah liar yang mulai sering mendatangi wilayah desanya, hingga akhirnya menimbulkan konflik dengan warga di desa itu.
Kawanan gajah kerap menyebabkan kerusakan rumah-rumah warga dan lahan-lahan pertanian di sana. Sedangkan korban di kubu hewan dilindungi itu juga tak terhindarkan.
Muslim mengatakan, pada tahun 2016, ditemukan satu gajah mati akibat keracunan pupuk di areal perkebunan warga di desanya.
Sedangkan di tahun 2017, kata dia, satu gajah kembali ditemukan mati juga di areal perkebunan warga di desa itu, namun kali ini akibat ditembak oleh pelaku perburuan gading gajah.
*Bersahabat dengan gajah
Muslim menyadari bahwa hal itu tak boleh dibiarkan berlarut. Akhirnya dia pun bertekad untuk bisa mengatasi persoalan tersebut. Dan memilih satu cara, yaitu bersahabat dengan gajah.
Bersama para pemuda di desanya, Muslim membentuk tim khusus yang kelak dinamakan Tim Pengaman Flora Fauna atau disingkat TPFF.
Tapi awalnya tim yang beranggotakan para relawan desa ini, hanya memiliki tujuan untuk selalu siap siaga menjaga wilayah desa mereka dari kehadiran kawanan gajah liar, sebelum akhirnya juga menambah peran untuk melindungi kelestarian kawasan hutan desa mereka dari ancaman perambahan.
"Awalnya tim kami ini tidak punya nama. Sejak gajah liar mulai sering memasuki wilayah desa kami, di tahun 2016 kami membentuk tim ini. Tujuannya untuk menjaga kampung, menghalau atau menggiring gajah keluar dari kampung," tutur Muslim.
Menurutnya kehadiran tak diharapkan kawanan gajah liar itu bukan hanya menjadi masalah bagi warga di desanya, tapi juga desa tentangganya, yaitu Kampung Bergang.
Karena itu ia turut mengajak warga Kampung Bergang untuk ikut bergabung bersama tim yang ia bentuk, menjalankan pratoli demi menjaga wilayah kedua desa agar aman dari potensi kerusakan, baik itu kerusakan rumah-rumah warga atau lahan-lahan pertanian, oleh kehadiran kawanan gajah.
Tapi yang menarik di sini adalah seluruh relawan dalam tim tersebut merupakan mantan para pemburu di kedua desa itu.
"Kami sengaja mengajak mantan-mantan pemburu ke dalam tim ini, agar punya kegiatan yang lebih positif. Kalau dia orang tua, kami jadikan penasehat," kata Muslim.
"Jadi ada 12 orang dari Kampung Bergang dan 12 orang dari Karang Ampar. Totalnya 24 orang anggota tim ini," sebutnya.
Namun keberadaan tim tersebut kata Muslim sempat tak bertahan lama. Hal itu dipicu oleh kembali terjadinya pembunuhan gajah liar di tahun 2017.
Satu gajah betina dewasa ditemukan mati dengan luka tembak dan kehilangan kedua gading.
Gajah tersebut ditemukan sudah membusuk di areal perkebunan warga di desa Karang Ampar pada 17 Juli 2017.
"Jadinya tim sempat bubar, karena kami semua diperiksa polisi waktu itu. Tapi saya tidak menyerah, saya coba kumpulkan lagi seluruh anggota," tutur Muslim.
Barulah di tahun 2018, kata Muslim, tim ini kembali bersatu dan menyamakan tekad, untuk berkomitmen menjadi relawan desa, menjadi penyelamat satwa, dan melindungi kawasan hutan di desa mereka.
Dan di tahun itu pula, tim ini resmi memiliki nama, yaitu disepakati dengan nama Tim Pengaman Flora Fauna (TPFF) Karang Ampar-Bergang.
Selain lahir kembali, saat itu tim bersama para tokoh masyakat dan pemuda di kedua desa, juga membuat kesepakatan bersama untuk menghentikan dan melarang perburuan satwa secara menyeluruh yang bisa berdampak pada kelestraian dan kerusakan lingkungan, seperti diantaranya melarang perburuan burung dan penangkapan ikan menggunakan racun di sungai-sungai.
"Tapi kami tidak bisa melarang perburuan tradisional, karena sudah menjadi tradisi warga di sini. Seperti pada saat ada cara tertentu di desa, maka warga pergi untuk berburu rusa, hasilnya untuk dimakan bersama," kata Muslim.
Tapi Muslim mengaku, saat ini kesadaran warga di desanya untuk bisa lebih menjaga ekosistem kawasan hutan dan satwa di sana sudah sangat menggembirakan.
Terbukti, hasil kerja kerasnya itu banyak dilirik dan mendapat apresiasi dari banyak pihak. Beberapa kali Muslim menerima undangan untuk menjadi pembicara pada forum-forum konservasi yang konsen pada isu-isu penyelamatan lingkungan.
Bahkan di tahun 2019, pria desa ini ikut diundang ke sebuah forum perdamaian internasional di Paris, Prancis.
Di sana dia berbicara dihadapan banyak pegiat lingkungan dan tokoh perdamaian dunia tentang bagaimana kondisi di desanya kini yang kian bersahabat dengan alam. Dari dulunya sebagai desa pemburu, kini menjadi desa konservasi.
"Saya tidak pernah menyangka akan diundang ke Prancis untuk menjadi pembicara," ucap Muslim.
Tapi perjuangan Muslim dan warga di desanya belumlah berakhir. Cita-cita untuk menjadikan Karang Ampar dan Bergang sebagai kawasan tujuan ekowisata gajah liar belumlah sepenuhnya terwujud.
Saat ini mereka sedang berupaya mengajukan pengelolaan lahan seluas 800 hektare untuk dapat dijadikan kawasan konservasi atau habitat bagi gajah-gajah liar tersebut dengan pemenuhan pakan di dalamnya.
Nantinya kawasan itu akan ditanami dengan aneka tumbuh-tumbuhan yang disukai oleh gajah.
"Agar nanti gajah-gajah ini tidak lagi mendatangi kebun warga. Dan kalau sudah terpusat di sana, itu akan menjadi kawasan ekowisata. Pengunjung bisa datang kapan saja melihat gajah di sana," tutur Muslim.
Ya, semoga saja harapan itu segera terwujud. Kini seluruh warga desa bahkan semua pihak yang peduli terhadap kelestarian lingkungan, menaruh harapan besar pada Muslim dan timnya.
Warga desa tak akan sanggup jika harus sendiri-sendiri menghadapi kawanan hewan bertubuh besar itu yang setiap saat bisa berada di areal perkebunan dan rumah-rumah warga.
Setidaknya itulah alasan Feri (30), mau bergabung dengan tim yang dibentuk oleh Muslim.
"Memang kami awalnya sendiri-sendiri mengusuir gajah ini. Itu yang kami rasakan tidak sanggup. Dengan adanya tim ini sekarang kami sudah kerja gotong royong, jadi lebih efektif," kata Feri.
"Dan sekarang sudah banyak sekali perubahan di desa kami, banyak sekali, gak sama seperti dulu. Masyarakat sudah sadar bahwa lingkungan dan hutan harus dijaga. Siapa yang jaga, ya kami sendiri, gak mungkin orang lain," ujarnya.
Selain Feri, anggota relawan TPFF lainnya adalah Masmiko (42). Dia menuturkan bahwa sekarang warga di desanya termasuk dirinya sendiri sudah bisa bersahabat dan berdampingan dengan gajah.
Ayah empat anak ini mengaku banyak belajar dari pengalaman, bahwa semakin dimusuhi, kawanan hewan berbelalai itu akan semakin membuat ulah.
"Ya sebisa mungkin kami menghalau gajah-gajah ini agar tidak masuk ke kebun kami. Tapi kalau pun mereka datang, kami sudah ikhlas, harus berbagi dengan mereka," ujarnya.
Kawasan desa Karang Ampar dan Bergang merupakan kawasan subur nan permai.
Warga di kedua desa ini menanam kopi, durian, pinang, dan langsat. Semuanya tumbuh dengan baik, memberi keberkahan rezeki pada seluruh warga desa.
Walau di tengah pandemi COVID-19 saat ini, warga tetap semangat menjalani kehidupan mereka dengan bertani dan menciptakan ketahanan pangan sendiri di desanya.
Anak-anak di kedua desa juga tetap bersekolah dengan menerapkan protokol kesehatan pada SDN 17 Ketol di desa Karang Ampar. Semua terlihat damai, khas suasana pedesaan.
Sementara, gajah-gajah liar di kawasan ini juga kian bersahabat dengan warga desa. Awalnya memang dianggap hama, tapi kini sudah dipandang sebagai teman, untuk bisa hidup saling berdampingan.
Satwa lainnya yang menjadikan kawasan hutan Karang Ampar dan Bergang sebagai habitat juga bisa hidup lebih tentram di dalamnya.
Species harimau sumatera misalnya, tak lagi harus bertemu pemburu yang sewaktu-waktu mengancam kelangsungan hidupnya.
Kini semua damai di dalamnya. Kekayaan flora fauna di hutan hujan tropis itu pun kian terjaga.
Jaya terus tim relawan desa. Jaga hutan, gajah, dan harimau sumatera. Untuk kelak masih bisa dilihat oleh anak cucu kita.
Dulu pemburu harimau, kini bersahabat dengan gajah
Minggu, 8 November 2020 16:24 WIB