Jakarta (ANTARA Aceh) - Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian mengungkapkan ekspor komoditas pala asal Indonesia mengalami penolakan dari Uni Eropa karena dinilai mengandung aflatoksin melebihi batas yang ditentukan.
Kepala Badan Karantina Pertanian Banun Harpini di Karawang, Jawa Barat, Jumat mengatakan, persyaratan kandungan aflatoksin yang ditentukan Uni Eropa sebesar 15 ppb.
Namun, tambahnya di sela pemusnahan 36,3 ton apel berbakteri asal Amerika Serikat, kandungan aflatoksin pada buah pala asal Indonesia mencapai 200 ppb.
"Beberapa kali terjadi penolakan terutama oleh Brusel," katanya.
Oleh karena itu, menurut Banun, pihaknya meminta kepada OKPD (Otoritas Keamanan Pangan Daerah) untuk meningkatkan sistem jaminan mutu terhadap komoditas pala yang akan diekspor tersebut sehingga tidak mengalami penolakan.
Selama ini, tambahnya, petani belum terbiasa mengolah pala agar kadar airnya menjadi rendah akibatnya mudah ditumbuhi jamur aflatoxin, terlebih lagi jika penyimpanan dan pengangkutan di kapal juga kurang bagus.
Ketika ditanyakan nilai ekonomi komoditas ekspor Indonesia yang mengalami penolakan di luar negeri, Banun mengatakan, sangat rendah dibandingkan keseluruhan ekspor produk pertanian nasional.
"Nilainya sekitar 0,0004 persen dari seluruh ekspor pertanian kita, jadi sangat rendah," katanya.
Indonesia merupakan produsen dan eksportir pala terbesar dengan penguasaan sekitar 75 persen dari pangsa pasar dunia. Eksportir pala Indonesia juga menjadi pemasok terbesar yang mengisi 80 persen dari total impor pasar Uni Eropa, atau setara dengan nilai tahunan sekitar 30 juta euro.
Sentra pananam pala di Indonesia terdapat di Siau, Sulawesi Utara dan Maluku.
Kepala Badan Karantina Pertanian Banun Harpini di Karawang, Jawa Barat, Jumat mengatakan, persyaratan kandungan aflatoksin yang ditentukan Uni Eropa sebesar 15 ppb.
Namun, tambahnya di sela pemusnahan 36,3 ton apel berbakteri asal Amerika Serikat, kandungan aflatoksin pada buah pala asal Indonesia mencapai 200 ppb.
"Beberapa kali terjadi penolakan terutama oleh Brusel," katanya.
Oleh karena itu, menurut Banun, pihaknya meminta kepada OKPD (Otoritas Keamanan Pangan Daerah) untuk meningkatkan sistem jaminan mutu terhadap komoditas pala yang akan diekspor tersebut sehingga tidak mengalami penolakan.
Selama ini, tambahnya, petani belum terbiasa mengolah pala agar kadar airnya menjadi rendah akibatnya mudah ditumbuhi jamur aflatoxin, terlebih lagi jika penyimpanan dan pengangkutan di kapal juga kurang bagus.
Ketika ditanyakan nilai ekonomi komoditas ekspor Indonesia yang mengalami penolakan di luar negeri, Banun mengatakan, sangat rendah dibandingkan keseluruhan ekspor produk pertanian nasional.
"Nilainya sekitar 0,0004 persen dari seluruh ekspor pertanian kita, jadi sangat rendah," katanya.
Indonesia merupakan produsen dan eksportir pala terbesar dengan penguasaan sekitar 75 persen dari pangsa pasar dunia. Eksportir pala Indonesia juga menjadi pemasok terbesar yang mengisi 80 persen dari total impor pasar Uni Eropa, atau setara dengan nilai tahunan sekitar 30 juta euro.
Sentra pananam pala di Indonesia terdapat di Siau, Sulawesi Utara dan Maluku.