Langsa (ANTARA Aceh) - Legislator Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Langsa, Aceh, T Ratna Laila Sari, SH mengemukan bahwa di tengah maraknya tindak kekearasan dalam rumah tangga (KDRT) dan guna memberdayakan kaum hawa dibutuhkan adanya sebuah Rumah Aspirasi Perempuan.
''KDRT terus terjadi, selalu perempuan jadi korbannya. Padahal belum tentu wanita itu yang bersalah. Mereka tidak tahu harus mengadu meminta pertolongan pada siapa, karenanya perlu sosialisasi di tengah masyarakat tentang pemahaman tatacara pelaporan dan penyelesaian kasus KDRT kepada kaum gender,'' sebut Ratna di Langsa, Jum’at.
Di benaknya, Ratna, berkeinginan untuk mendirikan sebuah rumah aspirasi perempuan yang bisa menjadi mediator atas beragam persoalan dan kebutuhan kaum hawa di daerahnya. Akan tetapi sampai saat ini niat itu belum terwujud dan suatu saat nanti pasti akan terealisasi, begitu tekadnya.
Lain dari itu, alumnus Fakultas Hukum Universitas Samudra Langsa ini juga menaruh perhatian besar terhadap aksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kerap dialami perempuan. Rasa miris menyayat hati bila ia mendengar atau mengetahui terjadi kasus KDRT.
''Miris bila terjadi KDRT. Itulah mengapa di dalam pembahasan program kita meminta dinas terkait untuk melakukan sosialisasi KDRT pada masyarakat. Kita dorong pengalokasiannya dalam APBK,'' ujar politisi Partai Demokrat ini.
Jargon Kesetaraan Gender, lanjut dia, sering digemakan para aktivis sosial, kaum perempuan hingga para politikus di negeri ini. Kesadaran kaum perempuan akan emansipasi semakin meningkat seraya mereka terus menuntut hak yang sama dengan laki-laki. Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan merdeka dalam menentukan pilihan hidup, tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya.
Sayangnya, lanjut Ratna, sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, kasur dan mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting. Padahal, peran seorang ibu 'perempuan'begitu penting dalam kehidupan umat manusia.
''Saya di DPRK terus berusaha semaksimal mungkin untuk menampung dan memperjuangkan aspirasi perempuan khususnya dan segenap konstituen lainnya. Akan tetapi, hal itu tak semudah membalik telapak tangan. Terlebih keberadaan perempuan di DPRK hanya dua orang saja,'' papar Ratna miris.
Menurutnya, Kota Langsa masih membutuhkan pembelajaran politik lebih lanjut kepada perempuan sehingga mereka bisa memahami pentingnya kaum hawa di kancah parlemen daerah guna sebagai penyambung aspirasi mereka. Lain dari itu, Bu Cut berharap agar ke depan kouta 30 persen keterwakilan perempuan di DPRK Langsa bisa terpenuhi sebagai bukti bahwa kesetaraan gender telah merata di kota ini.
Namun, sambung Ratna, sejauh ini kaum perempuan belum bisa merata dalam mempercayakan hak politiknya kepada politisi wanita. Padahal, jika mencapai kouta 30 persen di parlemen, maka akan sangat mudah untuk berjuang bersama-sama demi pemberdayaan dan peningkatan peran serta kaum hawa dalam segala aspek dan kebijakan daerah.
Mahasiswi Program Pasca Sarjana Universitas Panca Budi Medan, Sumatera Utara ini, berharap ke depan setiap daerah pemilihan (Dapil) pada Pileg mendatang dapat diduduki minimal satu kursi DPRK per dapilnya.
Untuk itu, Ratna mengajak segenap kaum hawa agar menyalurkan pilihan politiknya ada calon wakil rakyat perempuan yang memiliki kapabelitas, loyalitas dan kemampuan mumpuni di bidang sosial politik sehingga bisa mewakili dan memperjuangkan hak-hak gender di masa mendatang.
''Maunya ke depan tiga dapil bisa di wakili perempuan di parlemen. Tidak seperti saat ini hanya dua orang saja dari dapil yang sama yakni Langsa Barat dan Baro semata,'' harap Bendahara Ikatan Alumni Fakultas Hukum (IKAFAHU) Univ. Samudra periode 2015-2020 itu.
''KDRT terus terjadi, selalu perempuan jadi korbannya. Padahal belum tentu wanita itu yang bersalah. Mereka tidak tahu harus mengadu meminta pertolongan pada siapa, karenanya perlu sosialisasi di tengah masyarakat tentang pemahaman tatacara pelaporan dan penyelesaian kasus KDRT kepada kaum gender,'' sebut Ratna di Langsa, Jum’at.
Di benaknya, Ratna, berkeinginan untuk mendirikan sebuah rumah aspirasi perempuan yang bisa menjadi mediator atas beragam persoalan dan kebutuhan kaum hawa di daerahnya. Akan tetapi sampai saat ini niat itu belum terwujud dan suatu saat nanti pasti akan terealisasi, begitu tekadnya.
Lain dari itu, alumnus Fakultas Hukum Universitas Samudra Langsa ini juga menaruh perhatian besar terhadap aksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kerap dialami perempuan. Rasa miris menyayat hati bila ia mendengar atau mengetahui terjadi kasus KDRT.
''Miris bila terjadi KDRT. Itulah mengapa di dalam pembahasan program kita meminta dinas terkait untuk melakukan sosialisasi KDRT pada masyarakat. Kita dorong pengalokasiannya dalam APBK,'' ujar politisi Partai Demokrat ini.
Jargon Kesetaraan Gender, lanjut dia, sering digemakan para aktivis sosial, kaum perempuan hingga para politikus di negeri ini. Kesadaran kaum perempuan akan emansipasi semakin meningkat seraya mereka terus menuntut hak yang sama dengan laki-laki. Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan merdeka dalam menentukan pilihan hidup, tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya.
Sayangnya, lanjut Ratna, sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, kasur dan mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting. Padahal, peran seorang ibu 'perempuan'begitu penting dalam kehidupan umat manusia.
''Saya di DPRK terus berusaha semaksimal mungkin untuk menampung dan memperjuangkan aspirasi perempuan khususnya dan segenap konstituen lainnya. Akan tetapi, hal itu tak semudah membalik telapak tangan. Terlebih keberadaan perempuan di DPRK hanya dua orang saja,'' papar Ratna miris.
Menurutnya, Kota Langsa masih membutuhkan pembelajaran politik lebih lanjut kepada perempuan sehingga mereka bisa memahami pentingnya kaum hawa di kancah parlemen daerah guna sebagai penyambung aspirasi mereka. Lain dari itu, Bu Cut berharap agar ke depan kouta 30 persen keterwakilan perempuan di DPRK Langsa bisa terpenuhi sebagai bukti bahwa kesetaraan gender telah merata di kota ini.
Namun, sambung Ratna, sejauh ini kaum perempuan belum bisa merata dalam mempercayakan hak politiknya kepada politisi wanita. Padahal, jika mencapai kouta 30 persen di parlemen, maka akan sangat mudah untuk berjuang bersama-sama demi pemberdayaan dan peningkatan peran serta kaum hawa dalam segala aspek dan kebijakan daerah.
Mahasiswi Program Pasca Sarjana Universitas Panca Budi Medan, Sumatera Utara ini, berharap ke depan setiap daerah pemilihan (Dapil) pada Pileg mendatang dapat diduduki minimal satu kursi DPRK per dapilnya.
Untuk itu, Ratna mengajak segenap kaum hawa agar menyalurkan pilihan politiknya ada calon wakil rakyat perempuan yang memiliki kapabelitas, loyalitas dan kemampuan mumpuni di bidang sosial politik sehingga bisa mewakili dan memperjuangkan hak-hak gender di masa mendatang.
''Maunya ke depan tiga dapil bisa di wakili perempuan di parlemen. Tidak seperti saat ini hanya dua orang saja dari dapil yang sama yakni Langsa Barat dan Baro semata,'' harap Bendahara Ikatan Alumni Fakultas Hukum (IKAFAHU) Univ. Samudra periode 2015-2020 itu.