Blangpidie (ANTARA Aceh) - Insentif anggota Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) masih dibawah upah minimun regional (UMR), yakni rata-rata sebesar Rp800 ribu per bulan.
Wakil Ketua MAA Abdya Masrizal kepada sejumlah wartawan di Blangpidie, Selasa mengatakan, selain insentif di bawah UMR, realisasinya pun juga sering tersendat-sendat, kadangkala sudah dua bulan upah jerih anggota belum direalisasikan.
Ia mengatakan, MAA adalah sebuah lembaga adat di Provinsi Aceh yang termasuk dalam Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkofimda), namun selama ini terkesan kurang diperhatikan oleh pemerintah daerah, baik mengenai insentif maupun fasilitas kantor.
"Kantor yang ada saat ini sudah tidak layak pakai lagi. Selain sumpek, kantor tersebut satu atap dengan Sekretariat Kopri dan tidak memiliki AC. Jadi, ketika menjelang pukul 10.00 WIB ke atas semua anggota dan seluruh staf mandi keringat karena panas," ujar dia.
Selain tidak memilikinya fasilitas AC, lanjut dia, bekas Kantor Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) yang saat ini ditempati MAA cukup minim fasilitas dan tidak memiliki sarana stransportasi dinas sebagaimana lembaga lainnya di Aceh.
Begitu juga dengan rumah adat, kata dia, Kabupaten Abdya hingga saat ini belum memiliki rumah adat sebagaimana daerah-daerah lain yang sejak dulu sudah memiliki rumah adat sebagai simbol daerah dan tempat menyimpannya benda-benda bersejarah (museum).
"Kami sangat kecewa, selain tidak diberikan kendaraan dinas, permohonan pembangunan rumah adat yang kami ajukan belum juga direspon, padahal, sudah berapa kali kami ajukan permohonan. Pemkab Abdya melihat MAA ini bagaikan sebelah mata," kata mantan anggota DPRK periode 2003-2008.
Padahal, kata dia, bila rumah adat tersebut sudah terbangun lengkap dengan museum, sudah barang tentu dapat menyimpan benda-benda purbakala, baik peninggalan Kerajaan Kuala Batee, maupun peninggalan kerajaan lainnya yang pernah berkuasa di Kabupaten Abdya.
"Jadi, jika rumah adat ini sudah terbangun, tentu pengurus MAA sudah dapat bekerja secara maksimal, apalagi ditambah insentif yang memadai dan didukung dengan adanya biaya operasional khusus untuk menggali dan melestarikan pusaka adat yang memiliki nilai sejarah budaya bangsa," katanya.
Ia berharap, pihak pemerintah kabupaten maupun Provinsi Aceh sekiranya dapat menyikapi persoalan ataupun kendala-kendala yang dihadapi MAA Abdya selama ini dalam melestarikan adat istiadat di Bumi Serambi Mekkah ini.
"Itupun kalau memang ada kesepakatan untuk melestarikan adat istiadat di Aceh ini sebagaimana yang diatur dalam Qanun Nomor 9 tahun 2008 tentang penegakkan hukum adat istiadat peninggalan indatu terdahulu," demikian Masrizal.