Menurut Taf Haikal, jika pembatasan waktu usaha warung kopi tersebut diberlakukan karena ada sejumlah cafe yang terindikasi melakukan pelanggaran, maka itu yang harus diberikan sanksi tegas.
"Jangan sampai ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan pengawasan, harus ditanggung resikonya oleh semua pelaku usaha cafe," katanya.
Dalam perspektif Kadin Aceh, kata Taf Haikal, sebenarnya yang harus digencarkan itu adalah pengawasan pemerintah selaku pemilik kewenangan kebijakan, aparatur, anggaran, tetapi sejauh ini belum dijalankan maksimal.
Padahal, pemerintah bisa langsung melakukan sosialisasi kepada para pemilik cafe untuk terlibat aktif melakukan pengawasan usaha milik mereka sendiri. Sehingga jika ada indikasi pelanggaran dapat ditindak.
Taf Haikal menyarankan, sebagai sebuah daerah yang sedang memacu pertumbuhan pembangunan dari semua sisi, maka harus sangat hati-hati dalam membuat kebijakan, jangan justru melemahkan kemajuan itu sendiri.
Baca juga: Ini pesan Pj Gubernur kepada bupati dan wali kota se Aceh
Selain itu, lanjut Taf Haikal, selama membuat kebijakan yang berhubungan dengan usaha tersebut Kadin juga tidak pernah dilibatkan atau diminta pandangannya.
Dirinya menambahkan, regulasi seperti itu justru bisa membuat kesan seolah-olah Aceh seperti daerah tidak aman atau tertutup.
"Ini bisa berdampak terhadap dunia usaha serta iklim investasi di Aceh yang sedang gencarnya dipromosikan Pemerintah Aceh sebagai daerah tujuan wisata dan investasi," demikian Taf Haikal.
Baca juga: Kadin Aceh bentuk "task force" untuk konsultasi investasi