Jakarta (ANTARA Aceh) - Barangkali banyak warga yang tidak menyadari bahwa setiap 6 April diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional, dan regulasi mengenai hal itu telah ditetapkan pemerintah sejak 1960.
Wajar bila banyak orang tidak mengetahuinya karena derasnya informasi yang lebih bombastis dan menarik yang disajikan media setiap waktu membuat setiap jam dapat ditemukan topik yang lebih menarik dari sekadar perayaan "Hari Nelayan Nasional".
Namun, Hari Nelayan Nasional juga membawa sejumput harapan dari berbagai pihak seperti elayan yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia.
Organisasi yang disingkat menjadi KNTI itu mengingatkan program pemerintah dalam membangun infrastruktur di berbagai daerah pesisir tidak sampai meminggirkan nelayan tradisional tetapi perlu melibatkan peran mereka.
"Poros maritim masih meminggirkan nelayan," kata Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata dalam pernyataan menyambut Hari Nelayan Nasional di Jakarta, Kamis (6/4).
Menurut Marthin Hadiwinata, berbagai persoalan nelayan dapat diselesaikan apabila pemerintah bersungguh-sungguh menerapkan kebijakan yang ada dengan partisipasi penuh nelayan.
Hal itu, ujar dia, dapat dimulai antara lain dari pengaturan penataan ruang laut yang harus memastikan wilayah zonasi perikanan skala kecil berkelanjutan, serta program peralihan alat tangkap yang ramah lingkungan tidak boleh menyisihkan satupun nelayan sebagai konsekuensi perlindungan hak asasi nelayan.
Pemerintah, lanjutnya, perlu membangun dan meningkatkan kapasitas pengelolaan usaha perikanan nelayan termasuk memastikan keadilan akses pasar dalam informasi harga. "Jika ini dijalankan, tugas perlindungan nelayan akan memastikan menjaga Indonesia," katanya.
Sementara itu, Ketua KNTI Kabupaten Lombok Timur NTB Amin Abdullah mengatakan pemerintah perlu merealisasikan janji Nawacita khususnya membangun dari pinggiran, dan nelayan sebagai garda terdepan pinggiran negeri ini perlu mendapatkan prioritas khusus.
Ketua KNTI Tanjung Balai Sumatera Utara Muslim Panjaitan mengutarakan harapannya agar pemerintah benar-benar hadir dalam melakukan perlindungan hak-hak nelayan tradisional dan penegakan hukum yang jelas terhadap oknum aparat yang melanggar aturan.
Ketua KNTI Kabupaten Kendal Jawa Tengah Sugeng berharap pemerintah memastikan terbukanya akses permodalan dengan skema pinjaman lunak guna membebaskan para nelayan dari jerat tengkulak dan meningkatkan kapasitas pengelolaan usaha perikanan.
Berdayakan pesisir
Lembaga swadaya masyarakat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendorong pemerintah memberdayakan masyarakat pesisir secara optimal dalam rangka memperingati Hari Nelayan Nasional.
"Hari Nelayan merupakan momentum penting untuk mendorong negara agar melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam telah disahkan oleh DPR RI serta Pemerintah pada 15 Maret 2016," kata Pelaksana Sekretaris Jenderal Kiara Armand Manila.
Menurut dia, setelah UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan disahkan justru terjadi sejumlah kasus perampasan ruang hidup nelayan dan pemiskinan tersetruktur di berbagai kawasan pesisir Indonesia.
Ia mengingatkan bahwa hingga hari ini nelayan harus berhadapan dengan proyek pengurukan laut atau reklamasi yang terjadi di 16 wilayah pesisir dan dinilai merampas ruang kehidupan bagi 107.361 lebih kepala keluarga.
"Proyek pengurukan laut ini berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir. Di antara dampak buruk yang dirasakan langsung adalah kriminalisasi dan hancurnya kehidupan sosial ekonomi," paparnya.
Pada 2016, Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat 30 kasus penangkapan nelayan yang terpaksa melaut di atas 12 mil.
Dia berpendapat bahwa ketidakpastian serta ketidaktegasan larangan penggunaan cantrang menjadi dilema bagi nelayan pengguna alat itu.
"Solusi yang diberikan oleh pemerintah tak kunjung mendapatkan respon positif dari nelayan. Dalam konteks ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan harus bersikap tegas dalam mengimplementasikan kebijakan," ujarnya.
Armand Manila juga menyoroti sulitnya perempuan mengakses kartu nelayan akibat minimnya pengetahuan pemerintah tentang definisi perempuan nelayan, apalagi selama ini pekerjaan nelayan hanya identik dengan laki-laki.
Padahal, lanjutnya, perempuan terlibat mulai dari pra hingga pascaproduksi sehingga kartu nelayan juga bisa menjadi pengesahan identitas bagi perempuan nelayan untuk dapat mengakses berbagai program pemerintah.
Kiara menegaskan upaya perlindungan dan pemberdayaan masyarakat pesisir seharusnya tidak hanya dibatasi pada asuransi nelayan.
"Hadirnya negara dalam melindungi dan memberdayakan perlu diwujudkan secara nyata dan berkelanjutan dalam bentuk kebijakan pembangunan yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama, bukan merampas ruang hidup mereka melalui proyek reklamasi, privatisasi, konservasi serta penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," tegasnya.
Bantu pesisir
Pengamat kebijakan sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menyatakan Hari Nelayan Nasional yang diperingati setiap 6 April perlu menjadi momentum dari berbagai pihak untuk bergotong-royong membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
"Hari Nelayan Nasional 2017 harus dijadikan sebagai momentum pemerintah dan organisasi nelayan, pembudi daya ikan, dan perempuan nelayan untuk saling membuka diri dan bergotong-royong guna mengembalikan kebangkitan perikanan nasional," kata Abdul Halim.
Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu mendesak pemerintah untuk bersikap lebih terbuka dan bergotong-royong dengan organisasi nelayan, perempuan nelayan dan pembudi daya ikan guna memastikan kesejahteraan pelaku usaha perikanan skala kecil.
Menurut dia, dengan jalan gotong royong itulah, satu per satu masalah di sektor kelautan dan perikanan nasional dapat terpecahkan.
Dia juga mendesak KKP untuk menyegerakan pelaksanaan program-program solutif guna mengatasi dampak yang timbul pascaterbitnya aturan dan karut-marutnya pengelolaan program kelautan dan perikanan.
Menurut dia, karut-marutnya pembangunan kelautan dan perikanan nasional dipicu oleh terbitnya sejumlah aturan tanpa solusi yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sejumlah peraturan KKP tersebut, lanjutnya, antara lain Peraturan Menteri No 1/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan, serta Peraturan Menteri No 2 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
"Nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil, dan perempuan nelayan menerima dampak berat pemberlakuan aturan yang positif, namun nihil solusi," ucapnya.
Dalam situasi itulah, menurut dia, angka PHK dan pengangguran di sentra-sentra produksi perikanan juga dilaporkan meningkat drastis.
Di samping itu, Abdul Halim juga menyorot kekurangakuratan perencanaan kinerja kelautan dan perikanan yang menggunakan dana dari APBN juga berimplikasi pada timbulnya kerugian negara dan minimnya manfaat dalam upaya menghadirkan kesejahteraan nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil, dan perempuan nelayan.
"Berubah-ubahnya target program dan indikator kinerja kelautan dan perikanan menunjukkan minusnya kajian pendahuluan yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini berakibat pada timbulnya kesan bahwa tingginya target hanya sebatas untuk menaikkan citra dengan menomorduakan efektivitas dan efisiensi penggunaan APBN guna mencapai kesejahteraan nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil, dan perempuan nelayan," papar Halim.
Sejahterakan pesisir
Anggota Komisi IV DPR Andi Akmal Pasluddin menyoroti tingkat kesejahteraan nelayan tradisional yang masih memprihatinkan dalam rangka memperingati Hari Nelayan Nasional yang diperingati setiap 6 April.
"Meskipun pada akhir 2015, KKP mengklaim kesejahteraan nelayan membaik dengan alasan nilai tukar nelayan meningkat dari 104 pada 2014 menjadi 106 pada 2015, namun 2016 banyak pihak mengatakan bahwa kesejahteraan nelayan pada tataran yang terpuruk," kata Andi Akmal Pasluddin.
Politisi PKS ini menguraikan bahwa DPR dengan segenap upaya memberikan porsi APBN tiap tahun untuk program kesejahteraan nelayan, serta penerapannya, persetujuan penambahan anggaran bantuan kapal, alat tangkap ikan di laut dan program pelepasan benih ikan, dinilai juga menjadi perhatian serius di DPR.
Namun pada kenyataannya, lanjutnya, realisasi bantuan kapal baik prosedur dan jumlah tiap daerah pusat nelayan masih perlu banyak evaluasi.
"Bahkan program asuransi yang sulit dan banyaknya keluhan para nelayan pada sulitnya persyaratan pengajuan bantuan kapal turut menghambat terealisasinya program KKP yang berbasis kesejahteraan masyarakat nelayan," jelas anggota Badan Anggaran DPR ini.
Untuk itu, ujar dia, diharapkan Hari Nelayan Nasional dapat dijadikan sebagai momentum bagi nelayan tradisional Republik Indonesia untuk berdaulat memanfaatkan hasil laut dari kawasan perairan nasional.
Nelayan kecil, lanjut Andi, tidak dapat berdiri sendiri karena keterbatasan sumber daya sehingga hanya dengan campur tangan pmerintah segala upaya kesejahteraan nelayan kecil dapat terwujud.
Dia juga menyatakan bahwa program kredit usaha rakyat (KUR) seharusnya perlu dipermudah bagi nelayan terutama mereka yang termasuk nelayan tradisional atau pelaku usaha perikanan skala kecil di berbagai daerah.
Menurut Andi Akmal, penyaluran KUR yang dipermudah bagi nelayan, khususnya nelayan skala kecil atau tradisional akan membuat mereka mampu melawan jasa keuangan "hitam" seperti rentenir.
Namun yang terjadi adalah, menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, KUR oleh masyarakat nelayan dianggap rumit pada proses pengajuaanya sehingga mereka enggan mengikuti program tersebut.
Untuk itu, berbagai pihak terkait memang perlu kerja keras dalam rangka menyejahterakan nelayan dan berbagai kalangan anggota masyarakat pesisir.