Meulaboh (ANTARA Aceh) - Penggunaan alat penangkap ikan jenis pukat masih menjadi "senjata" paling praktis bagi sebagian kecil nelayan di wilayah perairan Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, padahal mulai 1 Januari 2017 pemakain pukat resmi dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 Tahun 2015.
Larangan tersebut menyangkut penggunaan Alat Penangkapan Ikan (API) Pukat Hela (trawl) dan Pukat tarik (seinen net).
Belasan nelayan tradisional Aceh Barat pada 23 Maret 2017 tertangkap oleh Satuan Polisi Air Polres Aceh Barat bersama dengan Pol Air Polda Aceh karena kedapatan melakukan penangkapan ikan dengan alat tangkap yang dilarang tersebut.
Enam nelayan yakni Bahtiar, Erfin, Yuli, Aliman, M.Mizar, dan M.Din menjadi tersangka, Kapal Motor (KM) beserta alat penangkapan, ikan-ikan dan biota laut tangkapan mereka disita untuk diamankan sebagai barang bukti penyidikan kepolisian.
Menghadapi hal tersebut sejumlah nelayan lain melakukan aksi protes dalam berbagai bentuk mulai dari aksi mogok melaut, menjual kapal hingga unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Aceh Barat dan Kantor Pengadilan Negeri Meulaboh saat proses persidangan terhadap para nelayan itu dilaksanakan.
Pro dan kontra mengenai penggunaan alat yang dianggap tidak ramah lingkungan itu memicu perlawan dari nelayan yang merujuk pada penerbitan Surat Edaran B.1/SJ/PL.610/I/2017 tentang Pendampingan Penggantian Alat Penangkapan Ikan yang dilarang di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).
Menurut nelayan, penegakan hukum belum waktunya dilakukan karena dalam SE itu disebutkan bahwa Gubernur/Bupati, maupun instansi teknis daerah wajib memberikan pembinaan terlebih dahulu selama enam bulan sejak surat itu diterbitkan.
"Penegakan hukum memang harus, tapi ada perintah yang diabaikan oleh penyelenggara di daerah, nelayan belum dibina, belum diganti alat tangkapnya, malah langsung ditindak dan dipidana,"kata Koordinator Komunitas Nelayan Tradisional Aceh Barat, Indra Jeumpa.
Sebagian nelayan di daerah tersebut mengakui masih menggunakan alat yang sama seperti jenis yang digunakan oleh rekan mereka yang telah berhadapan dengan hukum.
Penegakan hukum diharap secara menyeluruh, sebab masih banyak nelayan lain yang menggunakan alat tangkap seperti mereka.
Kepala Desa Padang Seurahet Idris Usman, menyampaikan, kasus demikian pernah dialami nelayan desa mereka pada tahun 2010 saat penggunaan alat penangkap yang ikan yang dilarang mula diberlakukan.
Oleh sebab itu dia menilai nelayan daerahnya seperti selalu menjadi objek penegakan hukum, padahal masih banyak nelayan-nelayan daerah lain yang juga menggunakan alat yang serupa dengan yang digunakan nelayan Kampung Padang Seurahet.
Selama ini sudah berulang kali terjadi penangkapan terhadap nelayan yang menggunakan alat tangkap yang dilarang, akan tetapi semua diselesaikan secara hukum adat, dan kini nelayan mereka harus menghadapi jalur hukum.
"Kenapa selalu nelayan di Aceh Barat yang menjadi 'sample' kasus penegakan hukum. Kasus 2010 juga seperti itu, selalu nelayan kami yang ditangkap, padahal hampir semua nelayan di Aceh menggunakan alat tangkap ikan yang sama jenis,"sebutnya.
Adat dan Hukum Melarang
Provinsi Aceh sebagai daerah otonom memiliki hukum adat laut yang juga melarang keras aktivitas yang dapat merusak biota laut dengan cara apapun, sehingga sudah sinergi dengan Undang-Undang Perikanan Republik Indonesia.
Sekjen Panglima Laot Kabupaten Aceh Barat, Nanda, menuturkan secara kelembagaan penggunaan alat penangkap ikan terlarang sudah beberapa kali ditegur dan nelayan yang melanggar aturan juga mendapat sanksi adat.
"Soal pelarangan itu sudah pernah kita buat penandatanganan bersama, perjanjian untuk tidak mengunakan pukat atau alat lain yang dapat merusak biota laut, tetapi ibaratnya penguna narkoba, makin dilarang, makin menjadi-jadi," katanya.
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat bersama penegak hukum yang menemukan pelanggaran sudah menanganinya dan beberapa di antaranya diselesaikan secara "hukum adat laot" hukum adat laut sebagai bentuk pembinaan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Barat, Muhammad Iqbal, menyampaikan, pemerintah tidak menghendaki nelayan ditangkap apalagi dihukum karena nelayan adalah bagian dari rakyat Indonesia yang wajib diberdayakan.
Akan tetapi penegakan hukum tetap harus dilakukan karena tidak semua nelayan melakukan pelanggaran, malah dikhawatirkan dapat terjadi aksi dari sebagian nelayan lain yang selama ini menentang penggunaan trawl.
"Pemerintah tidak menghendaki itu terjadi. Kalau hari ini penggunaan alat tangkap seperti pukat hela dan pukat tarik dibiarkan, akan ada gejolak dari komunitas nelayan tradisional lain," tegasnya.
Solusi yang dapat ditempuh hanyalah mengupayakan pengurangan hukuman, sementara penegakan hukum terhadap kebijakan pemerintah tetap dilakukan demi kedaulatan negara Indonesia.
Muhammad Igbal menyatakan masih banyak pihak lain yang terlibat dalam pelanggaran hukum tetapi belum terjangkau hukum terutama mereka yang masih menjual API tidak ramah lingkungan, maupun pemilik armada nelayan.
Kapolres Aceh Barat AKBP Teguh Priyambodo Nugroho, SIK, menuturkan, setelah nelayan tradisional itu ditangkap Pol Air Polres Aceh Barat, kasus itu diambil alih Polda Aceh karena kewenangan pengelolaan sektor kelautan sudah di provinsi.
Sebelum ini banyak pelanggaran yang hanya diberi sanksi hukum adat dan pembinaan, upaya penyadaran lewat sosialisasi pencegahan, namun tetap melaut dengan memakai pukat.
"Sosialisasi larangan sudah dilaksanakan Satpol Air, kemudian setelah itu pernah juga diselesaikan kasus seperti ini dengan panglima laot atau secara hukum adat, dan ini adalah upaya terakhir, harus dilakukan penegakan hukum,"tegasnya.
Ada beberapa jenis API yang sudah resmi dilarang penggunaannya, pertama Pukat Tarik (seinen net) yang termasuk di dalamnya jenis Cantrang, kedua Pukat Hela (trawl) meliputi jenis trawl mini atau seperti pukat payang (bahasa Aceh).
Mengadili Terdakwa
Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh menjatuhi vonis kepada enam terdakwa masing-masing hukuman pidana dua bulan penjara, denda Rp500 ribu atau subsider satu bulan setelah dipotong masa penahanan mereka terhitung sejak 26 Maret 2017.
Enam terdakwa nelayan Aceh Barat itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat penangkap ikan yang dapat mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya di WPP-NRI.
Barang bukti berupa enam unit kapal motor (KM) beserta dokumen terkait kapal dikembalikan kepada yang berhak melalui terdakwa, kemudian merampas dan memusnahkan alat tangkap jaring pukat trawl dan berbagai jenis ikan sebanyak 15-20 kilogram.
Ketua Majelis Hakim Said Hasan, SH saat membacakan amar putusan Jumat (19/5) menyampaikan, putusan itu dijatuhkan dengan mempertimbangkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan nota pembelaan kuasa hukum ke enam terdakwa nelayan.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan JPU, masing-masing dituntut tiga bulan penjara, denda masing-masing Rp1 juta atau subsider satu bulan sesuai dakwaan Pasal 85 UU RI Nomor 45/2009 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31/2004 tentang Perikanan.
Majelis hakim juga mempertimbangkan nota pembelaan yang diajukan kuasa hukum terdakwa yang menyampaikan bahwa terdakwa tidak bersalah.
Kuasa hukum terdakwa Herman, SH dari Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh Pos Meulaboh menyatakan, putusan Majelis Hakim PN Meulaboh itu masih belum menampakan adanya satu pertimbangan logis dan fakta-fakta dalam persidangan.
Komunitas Nelayan Tradisional mengaku kecewa kecewa atas keputusan Majelis Hakim itu karena menurut mereka tidak mempertimbangkan pembelaan saksi ahli dan kuasa hukum selama proses sidang berlangsung.
Masyarakat nelayan Aceh Barat meminta pemerintah lebih arif dan bijaksana dalam menerapkan sebuah aturan untuk mereka yang selama ini dikonotasikan rakyat miskin, butuh solusi agar ada pemerataan keadilan di masa mendatang.
Akademisi Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, Hafinuddin, SPi, MSc menuturkan, persoalan yang membuat nelayan masih menggunakan API tidak ramah lingkungan, salah satunya dipicu oleh persoalan wilayah penangkapan ikan (fishing ground).
Kesulitan mendapatkan lokasi bernilai ekonomis dengan keterbatasan armada kapal tangkap masih disebut bestandar "keluarga", sehingga nelayan lebih memilih cara-cara yang praktis melakukan penangkapan ikan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK-UTU) menawarkan "rumpon portable" yang merupakan salah satu inovasi teknologi untuk penangkapan ikan berkelanjutan bagi nelayan di provinsi paling ujung barat Indonesia itu.
"Nelayan Aceh kebanyakan adalah nelayan kecil yang masih menggunakan kapal dengan ukuran 5 GT, kondisi ini membutuhkan kepastian daerah penangkapan ikan,"kata Magister spesialis teknologi perikanan tangkap ini.
Rumpon yang dapat dipindah-pindahkan itu merupakan rumpon yang memanfaatkan teknologi instrumentasi dan akustik kelautan, khususnya dengan memanfaatkan frekuensi suara ikan, pengembangan perangkat lunak tersebut dengan mengetahui cara berkomunikasi ikan.
Perangkat lunak ini dilengkapi dengan pengeras suara atau speaker, MP3, cara penggunaan di letakkan di permukaan air pada kedalaman 5-6 meter di kawasan yang dikehendaki oleh nelayan.
Alat ini mudah dibawa kemana pun tujuan penangkapan ikan dan tidak harus diletakkan secara tetap pada satu kawasan, bahkan bisa dipindahkan dan dibawa pulang ketika tidak diperlukan.
Bahannya berbeda dengan rumpon tradisional di Aceh yang memakai daun kelapa, daun nipah atau daun pinang yang akan terurai dalam kurun waktu beberapa hari sehingga mengundang biota-biota laut seperti fitoplankton dan zooplankton.
"Inovasi teknologi penangkapan ikan penting untuk terus dikembangkan agar nelayan semakin mudah dalam menangkap ikan dan berdampak terhadap peningkatan produktivitas hasil tangkapan,"sebutnya
Nelayan memerlukan alat tangkap yang ekonomis, hemat biaya bahan bakar minyak (BBM), karena itu butuh inovasi teknologi penangkapan ikan salah satunya adalah rumpon tersebut.
Rumpon di Aceh dikenal dengan nama "unjam", yaitu alat bantu untuk menarik kawanan ikan agar berkumpul sehingga ikan mudah ditangkap.