Di tengah hiruk-pikuk Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, kita dapat melihat semakin banyak remaja Banda Aceh yang memperlihatkan kesukaan yang besar terhadap K-Pop. Mereka begitu antusias dan bersemangat terhadap fenomena musik dan budaya Korea Selatan tersebut.
Perkembangan cepat K-Pop membawa banyak hal baru dalam masyarakat. Ini membuat penggemar K-Pop jadi sangat antusias dan terobsesi dengan segala hal yang berkaitan dengan budaya Korea. Mereka tidak hanya suka lagu-lagunya, tapi juga meniru gaya berpakaian, gaya rambut, dan tren dari idola-idola K-Pop mereka.
Beberapa bahkan membentuk komunitas online dan offline untuk berbagi obsesi mereka.
Baca juga: Reaksi selebriti dan artis nikmati konser BLACKPINK di GBK
Baca juga: Reaksi selebriti dan artis nikmati konser BLACKPINK di GBK
Cut Cahya seorang remaja di Banda Aceh, mengatakan dirinya menyukai musik K-pop bukan hanya karena makna lagunya saja yang bagus, melainkan juga paras penyanyinya yang disebut idol.
"Karena makna lagu nya bagus bagus, musiknya masuk ke selera aku, terus karena ganteng juga si ga bohong" pungkas Cut cahaya.
Kehadiran budaya K-Pop di Kota Banda Aceh, yang menerapkan syariat Islam, telah menimbulkan dinamika yang menarik. Meskipun ada perbedaan yang jelas antara nilai-nilai budaya K-Pop yang seringkali bertentangan dengan adat dan budaya yang berlaku di Banda Aceh, remaja Banda Aceh tetap menunjukkan minat yang kuat terhadap K-Pop.
Fanatisme yang muncul dari remaja penggemar K-Pop dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Misalnya, dalam upaya mereka meniru gaya hidup dan penampilan idola K-Pop, ada potensi bagi mereka untuk terpengaruh oleh norma-norma yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan syariat Islam atau terlalu mengutamakan aspek-aspek dunia yang bersifat duniawi.
Lebih jauh lagi, fanatisme yang berlebihan terhadap idola-idola K-Pop bisa mengarah pada pengalihan perhatian dari nilai-nilai spiritual dan agama yang seharusnya dijunjung tinggi dalam masyarakat yang menjalankan syariat Islam. Hal ini dapat menciptakan ketegangan antara pengaruh budaya populer global seperti K-Pop dan nilai-nilai agama yang menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari di Banda Aceh.
Baca juga: Penampilan J-Hope BTS jadi pentutup festival Lollapalooza
Terkadang, beberapa remaja mendapati diri mereka menerima teguran dari orang tua atau guru mereka karena mereka cenderung menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menonton video musik atau konser daring di internet. Mereka mungkin menjadi begitu terpikat dengan pengalaman visual dan audio yang disajikan dalam konten tersebut sehingga melupakan tanggung jawab lainnya, seperti tugas sekolah atau kewajiban keluarga.
Baca juga: Penampilan J-Hope BTS jadi pentutup festival Lollapalooza
Terkadang, beberapa remaja mendapati diri mereka menerima teguran dari orang tua atau guru mereka karena mereka cenderung menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menonton video musik atau konser daring di internet. Mereka mungkin menjadi begitu terpikat dengan pengalaman visual dan audio yang disajikan dalam konten tersebut sehingga melupakan tanggung jawab lainnya, seperti tugas sekolah atau kewajiban keluarga.
Orang yang terlalu tergila-gila dengan hobi atau aktivitas tertentu seringkali kehilangan keseimbangan dalam hidup mereka.
Mereka mungkin kurang memperhatikan atau bahkan mengabaikan tanda-tanda kelelahan atau stres, dan bahkan mungkin tidak menyadari dampak negatif yang dapat timbul dari perilaku mereka yang berlebihan ini.
Mereka mungkin kurang memperhatikan atau bahkan mengabaikan tanda-tanda kelelahan atau stres, dan bahkan mungkin tidak menyadari dampak negatif yang dapat timbul dari perilaku mereka yang berlebihan ini.
Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kontrol diri dan keputusan impulsif yang dapat berdampak buruk pada kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena itu, penting untuk menemukan keseimbangan antara aktivitas yang dinikmati dan tanggung jawab lainnya, serta memperhatikan kesejahteraan diri secara keseluruhan.
Alya Caesna yang juga remaja di Banda Aceh, mengatakan mengidolakan K-pop merupakan suatu kebutuhan. Selagi wajar dan tidak merugikan orang lain, lanjutnya, maka tentu saja tidak ada masalahnya.
"Selagi masih mengidolakannya dengan wajar ga papa, kita juga butuh healing yaa tapi kebahagiaan orang masing masing asal ga merugikan orang lain dan diri sendiri," tambah Alya caesna.
Namun, tak dapat disangkal bahwa fanatisme terhadap K-Pop juga membawa dampak positif. Para penggemar saling mendukung satu sama lain dan membentuk komunitas yang kuat.
Mereka juga menunjukkan kreativitas dalam mengekspresikan cinta mereka terhadap idola mereka melalui seni, tarian, dan berbagai acara budaya yang diadakan oleh komunitas penggemar.
Baca juga: Samsung dan BTS kembali berkolaborasi
Baca juga: Samsung dan BTS kembali berkolaborasi
Meski demikian, penting bagi remaja penggemar K-Pop di Banda Aceh untuk menemukan keseimbangan antara kecintaan mereka terhadap budaya Korea dan penghormatan terhadap tradisi serta nilai-nilai lokal. Memperkaya diri dengan budaya asing adalah hal yang positif, namun sama pentingnya adalah untuk tetap menghargai dan memelihara identitas budaya Aceh yang kaya.
Dengan memahami dan menghargai perbedaan, fanatisme remaja penggemar K-Pop di Banda Aceh bisa menjadi sumber kegembiraan dan inspirasi tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya lokal yang penting dalam budaya Aceh. Mereka adalah bagian dari generasi yang penuh semangat dan kreativitas.
Dengan bimbingan yang tepat, mereka memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan positif dalam komunitas mereka.
Ini berarti bahwa mereka dapat menggunakan ketertarikan mereka pada K-Pop sebagai alat untuk menyebarkan pesan positif dan memajukan nilai-nilai yang dihargai dalam budaya Aceh, sambil tetap menghormati serta memperkuat warisan budaya mereka sendiri.
Ini berarti bahwa mereka dapat menggunakan ketertarikan mereka pada K-Pop sebagai alat untuk menyebarkan pesan positif dan memajukan nilai-nilai yang dihargai dalam budaya Aceh, sambil tetap menghormati serta memperkuat warisan budaya mereka sendiri.
Penulis: Aksa Ashura, Rika Tamara, dan Laila Dwi Rahmah Waode (Mahasiswa Universitas Syiah Kuala/USK)