Banda Aceh (Antaranews Aceh) - Hembusan angin laut pagi mengayun pepohonan, bahkan sepeda motor yang melintas sepertinya juga ikut tidak stabil mengikuti pergerakan angin.
Sepanjang jalan Desa Tibang hingga Alue Naga tepat di sekitar jembatan Krueng Cut, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, berjajar pondok-pondok pedagang. Sekilas sempat mengira mereka adalah penjual ikan biasa.
Tak jauh dari tempat pedagang itu, terlihat beberapa kelompok yang didominasi oleh wanita paruh baya tengah berendam di dalam air.
Terkadang mereka muncul ke permukaan, berjalan menyusuri bebatuan di pinggir tambak, atau bahkan di pinggir pantai, kemudian berendam lagi.
Berbalut sarung tangan yang sudah mulai terlihat lusuh sebab terlalu lama di air. Sambil menggenggam benda yang sekilas terlihat seperti parang, namun tidak begitu tajam.
Mereka memukul-mukul benda yang menempel di batu. Sekilas seperti sedang memukul batu, padahal lebih tepatnya mencongkel benda yang menempel di bebatuan.
Jika diperhatikan lebih teliti, tak jauh dari situ atau persis di sekitaran mereka berendam, terdapat banyak ban-ban bekas yang dibiarkan mengapung di air. Ketertarikan itu membuat penulis menghentikan kendaraan, dan mendekat.
Untuk mendekati mereka, harus turun ke bawah dan duduk di bebatuan yang di bawahnya ada banyak benda-benda yang saling menempel. Setelah sedikit berbincang dengan mereka, akhirnya tau bahwa "nyak-nyak" (ibu-ibu) ini adalah para pencari tiram (kerang).
Gampong (desa) Alue Naga dan Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, memang merupakan sentra budi daya tiram, karena di dua desa itu selama ini dikenal dengan penghasil tiram secara tradisional.
Selama ini, warga membudidayakan tiram dengan sistem konvensional atau kolektor. Sistem budi daya kolektor ini menggunakan ban bekas sebagai mediator utama yang dikembangkan aparatur gampong dan lembaga riset dan publikasi natural Aceh, yang biasanya dipanen dalam jangka waktu tiga hingga empat bulan.
Selain memanen tiram menggunakan ban bekas. Umumnya mereka juga mengambil tiram di bebatuan yang ada di pesisir tambak maupun pantai.
Tiram yang berada di bebatuan dapat diambil setiap hari dan tidak ada pemiliknya. Jika tiram yang dibudidayakan menggunakan ban bekas, hanya pemiliknya saja yang boleh mengambil.
"Kami ambil yang di batu-batu aja, kalau yang di ban, itu punya orang, mereka beli juga ban itu. Sebenarnya saya juga ada yang di ban. Cuma kalau di ban panennya lama. Nggak setiap hari," kata Mulyana, warga pencari tiram di Desa Alue Naga.
Para pencari tiram di daerah ini baru akan mengambil tiram ketika air surut. Biasanya mereka mencari tiram di pagi hari. Sejak pukul 07.00 WIB hingga 11.00 WIB.
Dalam sehari mereka bisa dua kali mencari tiram, yaitu pagi dan sore hari atau bahkan tidak sama sekali jika air laut sedang pasang.
"Ini kami udah selesai, udah siang. Air laut juga udah pasang," kata Safrida.
Mata pencaharian utama
Sebagian warga di sini mencari tiram memang karena sebagai mata pencaharian utama, atau hanya dijadikan sebagai sampingan saja.
Untuk mereka yang mencari tiram sebagai mata pencaharian utama, cuaca buruk atau air pasang sangat berpengaruh terhadap perekonomian mereka.
Tiram yang mereka peroleh selama ini hanya dijual kepada "Muge" atau dalam bahasa Indonesia adalah tengkulak. Hanya sebagian dari warga yang kemudian berinisiatif membuat produk berbahan dasar tiram, seperti dijadikan kerupuk dan lain sebagainya.
Mereka menjual tiram dengan harga Rp8.000 hingga Rp12.500 per mugnya (keleng kemasan susu cair ukurang kecil).
Karena masih sangat penasaran, sehari setelah itu penulis juga menjumpai warga di Desa Alue Naga yang berada di seberang lokasi pencarian tiram.
Pertemuan tersebut dihubungkan oleh seorang mahasiswa yang saat ini sedang membuat program bertajuk Community Empowerment atau pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa penerima beasiswa Djarum yang ada di Aceh.
Para mahasiswa menyatakan, sudah banyak program yang diupayakan untuk membudidayakan tiram dari lembaga lain, sebelum mereka.
Program ini dibuat sebagai bentuk meningkatkan perekonomian Aceh terutama warga di Desa Alue Naga yang merupakan daerah penghasil tiram, sehingga warga di sana tidak hanya menjual tiram dalam bentuk aslinya saja, melainkan juga yang sudah diolah.
"Tujuan kami buat program seperti ini, juga agar dapat membantu perekonomian Aceh, sehingga warga di daerah Alue Naga yang merupakan daerah penghasil tiram tidak hanya menjual tiram yang fresh nya saja, melainkan juga yang sudah diolah," kata Cut Nada Nabila salah satu mahasiswa penerima beasiswa Djarum, yang sedang melakukan program pemberdayaan manusia.
Nada merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Ia bersama teman lainnya membuat program ini tidak dengan memberikan modal kepada warga, melainkan dengan memberikan pembinaan baik itu cara memproduksi secara teori, maupun juga cara pemasaran nantinya.
"Program kami itu sifatnya tidak memberikan modal, tetapi kami lebih ke memberikan pembinaan kepada warga baik itu secara teori, tentang bagaimana memproduksi yang benar, dan juga cara pemasaran yang lebih efisien, sehingga tidak hanya seperti saat ini," ujar dia.
Dikatakan, mereka sudah mulai membuat kerupuk namun hanya jika ada pemesanan saja.
"Jika kita bisa memiliki kemampuan dalam pemasaran tentunya bisa kita jual dengan jangkauan yang lebih jauh, dan juga memiliki stok," tambah dia.
"Kami juga memberikan fasilitas kepada mereka untuk mengolah produk berbahan dasar tiram dengan cara yang modern. Kemudian kami juga akan membantu pemasaran dengan cara modern, seperti melalui media sosial dan lain sebagainya," katanya.
Untuk saat ini program yang dilakukan oleh mahasiswa penerima beasiswa Djarum hanya membina satu kelompok dengan anggota lima orang. Nantinya mereka akan memfasilitasi warga yang dibina dengan alat-alat untuk memproduksi kerupuk tiram.
Modernisasi tiram
Salah satu anggota dari kelompok yang dibina oleh Nada dan teman lainnya adalah Cut Raiyani. Ia mengatakan dirinya mencari tiram hanya sebagai sampingan dan apabila ada pesanan kerupuk saja, tidak untuk mata pencaharian pokok keluarganya.
Ia juga mengatakan bahwa mencari tiram di daerah Alue Naga sudah lama dilakukan bahkan sejak dirinya masih sangat muda.
"Kalau saya cari tiram hanya untuk sampingan saja. Warga di Alue Naga ini udah lama sekali mencari tiram dari saya masih muda, cuma baru viral baru-baru ini aja," katanya.
Wanita kelahiran tahun 1988 ini pun mengatakan, akan sangat baik jika metode memanen tiram semakin baik mengikuti perkembangan zaman, sekaligus juga pemasaran tiram ini tidak hanya sebatas dijual mentahnya saja.
"Dari saya muda sampai sekarang belum ada perubahan. Akan sangat baik jika metode memanen dan mengolah tiram ini menggunakan cara yang lebih modern, sehingga harapan kita nantinya hasil dari pengolahan tiram menjadi oleh-oleh khas Alue Naga," katanya.
Selain itu, Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh mengaku mendukung modernisasi budi daya tiram di Gampong Alue Naga, yang selama ini dilakukan masyarakat dengan cara tradisional.
Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman mengatakan, modernisasi dengan penggunaan teknologi akan dapat meningkatkan produktivitas. Dengan cara yang modern pula para pencari tiram yang mayoritas dari kalangan ibu-ibu tidak perlu lagi berjam-jam berendam dalam air saat memanen tiram.
"Sudah saatnya petani tiram di Alue Naga meninggalkan cara budi daya tradisional dan beralih kepada teknologi yang modern," katanya.
Budi daya tiram dengan cara modern dilakukan menggunakan wadah apung dan juga rak untuk pemeliharaan tiram. Dengan cara ini petani tiram tidak perlu berendam lagi.
Hal seperti ini juga dilakukan oleh para petani tiram di Jepang, sehingga cara membudidaya tiram yang dilakukan di Kota Higashimatsushima, Jepang dapat dikembangkan di Kota Banda Aceh.
"Kita berharap dengan modernisasi, tiram yang selama ini hanya sekedar dikosumsi untuk masakan sehari-hari, bisa dikembangkan lagi menjadi makanan ringan, sehingga bisa menjadi oleh-oleh khas Alue Naga," katanya.
Modernisasi budidaya tiram di Kota Banda Aceh
Kamis, 3 Januari 2019 10:42 WIB