Banda Aceh (ANTARA) - Provinsi paling barat Sumatera dikelilingi Samudera Hindia dari wilayah barat hingga selatan dan Selat Malaka serta perairan Andaman disisi utara sampai timur memiliki potensi perikanan yang besar.
Potensi tersebut jika dikelola dengan baik dan didukung ketersediaan sarana prasarana yang memadai akan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat nelayan di wilayah ini.
Daerah yang menyandang gelar Bumi Serambi Mekkah itu memilki panjang garis pantai 2.666,27 kilometer dan luas perairannya mencapai 295.370 kilometer persegi.
Kemudian, perairan teritorial dan kepulauan 56.563 kilometer persegi, zona ekonomi eksklusif (ZEE) 238.807 kilometer persegi.
Masyarakat nelayan tradisional di provinsi paling ujung barat Indonesia dengan boat thet-thet 5-10 grose tonnage (GT) melaut hingga ke Samudera Hindai dan Selat Malaka.
"75 persen lebih nelayan kita menggunakan perahu lima gross tonnage (GT) kebawah. Pemerintah mestinya hadir melakukan pemberdayaan nelayan kecil ini," Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Prof Mukhlisin di Banda Aceh, baru-baru ini.
"Peluangnya sangat besar, tapi sayang pemerintah terlihat belum serius dan kita berharap pemerintah serius mengembangkan sektor perikanan dengan cara menaikkan alokasi anggaran hingga 10 persen pada sektor perikanan pada tahun mendatang," usul Prof Muchlisin
Pemerintah Aceh mestinya menambahkan porsi anggaran untuk sektor perimanan dalam APBA minimal 10 persen untuk program atau kegiatan non belanja pengawai.
"Ya, pemerintah bisa menawarkan insentif yang menarik bagi investor misalnya kemudahan izin, jangka waktu operasi, penyediaan atau pembenahan infrastuktur, termasuk insentif bagi Perguruan Tinggi," ucap Guru Besar Perguruan Tinggi "Jantong Hate Rakyat Aceh" itu.
Untuk diketahui, dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) Tahun Anggaran 2019, eksekutif bersama legislatif menyepakati pagu APBA sebesar Rp17,104 triliun.
Ada pun rincian belanja APBA Tahun 2019 tersebut meliputi belanja langsung Rp10.490 triliun, dan belanja tidak langsung Rp6.613 triliun.
Sesuai Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) Tahun Anggaran 2019 tersebut, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh hanya memperoleh Rp417 miliar atau 2,4 persen dari total APBA Tahun 2019, sebesar Rp17,104 triliun.
Panglima Laot Aceh
Panglima Loat Aceh (Lembaga Adat Laut) berharap Pemerintah Aceh serius mengembangkan industri perikanan di provinsi setempat guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan.
"Kita minta pemerintah fokus dan serius mengembangkan industri perikanan di Aceh agar nelayan sejahtera," kata Wakil Sekretaris Panglima Laot Aceh, Miftachuddin Cut Adek.
Menurut dia, provinsi paling barat Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah khususnya di sektor perikanan.
"Kapal dan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan kita masih sangat terbatas. Ya, kita berharap pemerintah hadir memberikan solusi nyata untuk peningkatan ekonomi masyarakat nelayan," ucap Sekretaris Palingma Loat Aceh.
Hasil tangkapan nelayan Aceh yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kutaraja, Banda Aceh selama ini diangkut dan dijual ke provinsi tetangga (Sumatera Utama) karena belum adanya industri perikanan di provinsi setempat.
"Kita belum punya industri perikanan dan ikan hasil tangkapan nelayan Aceh dijual ke Sumatera Utara dan sekitarnya," ungkap Miftachuddin.
Mayoritas masyarakat nelayan provinsi paling ujung barat Sumatera melaut atau mencari ikan tangkap hingga ke Samudera Hindia dan Selat Malaka.
"Rata-rata mereka di sini, melaut 10 hari. Dan kapal nelayan itu melaut ke Samudera Hindia," kata Syahbandar PPS Kutaraja, Banda Aceh, Kamil Sayuti.
Syahbandar setempat mencatat, sebanyak 359 unit kapal perikanan dengan alat tangkap 261 kapal diantaranya menggunakan pukat cincin dan 98 pancing ulur.
"Kalau syarat untuk SPB (surat perintah berlayar), sesuai peraturan berlaku itu wajib ada surat layak operasi (SLO) dari perikanan. Tapi ini, berlaku bagi kapal perikanan di atas 10 gross ton," kata Kamil.
PPS Kutaraja
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kutaraja Banda Aceh saban hari menerima puluhan ton ikan hasil tangkapan nelayan provinsi paling barat di Pulau Sumatera itu.
"Setiap hari itu rata-rata ada 50 ton ikan yang didaratkan di PPS Kutaraja," kata Kepala UPTD PPS Kutaraja, T Nurmahdi di lokasi PPS Kutaraja, Banda Aceh, Kamis.
Ia menjelaskan, ikan yang didaratkan di PPS Kutaraja hasil tangkapan nelayan Aceh itu bahkan dipasarkan hingga ke sejumlah provinsi tetangga.
"Kapal tangkapan nelayan 30 hingga 100 gross tonnage (GT) mendaratkan ikan di PPS Kutaraja dan ikannya dipasarkan hingga ke Sumatera Utara, Sumatera Barat dan sekitarnya," sebut dia.
Ada pun ikan yang sering didaratkan di PPS Kutaraja Banda Aceh yakni, cakalang, kerapu, ikan pisang, bandeng, bawal, tenggiri, layang deles hingga ikan tuna.
Pemerintah Aceh melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh pada tahun 2019 akan segera melakukan revitalisasi (PPS) Kutaraja, Banda Aceh guna mengembalikan fungsi pelabuhan tersebut sebagai tempat pelelangan ikan.
"Tahun ini kita akan merevitalisasi PPS Kutaraja agar lebih tertata lagi tertib," kata Kepala UPTD Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kutaraja, T Nurmahdi.
Fungsi PPS Kutaraja adalah tempat pelelangan ikan dan untuk memudahkan aktivitas tersebut perlu adanya revitalisasi sejumlah fasilitas pendukung.
"Selama ini nelayan kita mendaratkan atau membongkar ikan di area PPS Kutaraja di terik matahari. Untuk itu, kita akan segera memasangkan sejumlah atap atau kanopi untuk kenyamanan nelayan," katanya.
Selain itu, Pemerintah Aceh katanya juga akan melakukan pengerukan kolam utama PPS Kutaraja agar dapat memudahkan keluar masuk kapal nelayan di atas 60 grose tonnage (GT).
"Tahun ini juga, ada pengerukan kolam ini di sisi kanan supaya kapal nelayan di atas 60 GT bisa lebih mudah melakukan olah gerak," katanya sembari menunjukkan areal kolam yang akan dikeruk endapan lumpur.
Menanti hadirnya industri perikanan di ujung negeri
Senin, 5 Agustus 2019 22:01 WIB