Jakarta (ANTARA) - Wajah Roy Tafre tampak serius saat berkeluh kesah soal kacaunya musim panen pala di Distrik Teluk Arguni Bawah, tiga tahun terakhir. Suara laki-laki menjelang paruh baya itu pun terdengar resah bercampur kesal.
Warga Kampung Manggera di Distrik Teluk Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, itu menceritakan soal buah-buah pala negeri di sana, yang menjadi terlihat lebih cepat matang sebelum waktunya.
Berpuluh-puluh tahun masyarakat Suku Irarutu yang hidup mendiami wilayah Teluk Arguni Bawah di Semenanjung Bomberai itu hanya mengenal dua kali masa musim panen tanaman yang bernama latin Myristica argentea warb itu dalam setahun.
Saat musim angin barat datang pada Oktober hingga Januari itu lah masa musim panen pala terbesar tiba. Sedangkan saat musim angin timur datang, mereka juga bersuka cita dengan masa panen berikutnya.
Namun belakangan mereka terkecoh. Buah-buah pala yang mereka kenal sebagai satu komoditas berharga lewat para pengepul dari etnis China sejak 1900-an itu, kini terlihat lebih cepat matang di pohon, dengan tanda kulitnya yang telah menguning meski belum masuk masa musim panen.
Sesaat Roy menghilang di antara pepohonan di sebuah kebun yang cukup luas di Kampung Warmeru. Namun tidak lama ia kembali menghampiri sambil menyodorkan dua buah pala dan satu biji lengkap dengan fuli kepada ANTARA dan tim Yayasan EcoNusa, yang pada pertengahan Maret lalu memang mendatangi sejumlah kampung di Distrik Teluk Arguni Bawah.
Buah pala yang ia bawa sama-sama terlihat berwarna kuning, namun yang berukuran lebih besar memang tampak lebih kuning dan berkulit kasar. Sedangkan buah yang lain berukuran lebih kecil dan kulitnya lebih mulus tanpa bercak.
Saat kedua buah pala dibelah tampaklah perbedaannya. Keduanya memiliki fuli atau bunga pala merah menyala, namun buah pala yang berukuran lebih kecil dengan kulit yang sudah menguning dan lebih mulus tadi bijinya yang berbentuk oval itu tampak masih putih, pertanda belum matang.
Maklum, pohon-pohon pala di Teluk Arguni Bawah rata-rata tumbuh tinggi menjulang lebih dari delapan meter dengan daunnya yang lebat, yang terkadang menyamarkan buah-buah pala muda dan "menyembunyikan" kondisi sebenarnya buah pala yang mulai menguning.
Warna kuning pada kulit buah pala itu yang cukup membuat silap mata jika masih sama-sama di atas pohon. Kalau biji pala muda kadung terambil dan tercampur dengan yang tua, harga jualnya jatuh, petani rugi.
Cuaca ekstrem
Roy menyalahkan kondisi cuaca yang tidak lagi berpihak atas semua kekacauan musim panen itu. Dirinya menduga perubahan iklim menjadi biang kerok perubahan curah hujan di sana, yang kemudian mempengaruhi kualitas buah pala yang ada di Teluk Arguni Bawah.
"Dong hitung jadi lebih dari dua musim. Karena habis Bulan Maret, nanti ada di Bulan Mei-Juni, Agustus lagi, nanti akhir Oktober sampai Desember ada lagi. Jadi ada empat musim," kata Roy menjelaskan perubahan musim panen buah-buah pala di sana dalam tiga tahun terakhir.
Perubahan itu, menurut dia, semakin terasa setelah curah dan intensitas hujan di sana meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Hujan di Teluk Arguni Bawah memang bukan "kaleng-kaleng". Selasa (15/3) malam, setibanya ANTARA bersama sejumlah wartawan dan tim Yayasan EcoNusa di Kampung Kufuriyai, masih di distrik yang sama, hujan sangat deras turun tanpa ampun hingga menjelang subuh, setelah empat hari berturut-turut tidak setetes air pun jatuh membasahi tanah di daerah itu.
Namun keesokan paginya terik matahari begitu menyengat, dalam sekejap mampu menghapus jejak hujan pada tanah-tanah yang basah. Saking panasnya mentari, kulitpun terbakar, berubah warna bak kepiting rebus.
Orang-orang di Kufuriyai pun berkelakar, tidak perlu repot pakai tabir surya, karena matahari di sana mengejar hingga ke dalam kamar.
Saat berbincang dengan kakek Alaudin Tefroam dari Dusun Tanusan, yang hari itu mendapat undangan mengikuti Sasi Pala di Kufuriyai, sebenarnya kadar panas sinar matahari hari itu belum seberapa jika dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Level panas di Teluk Arguni Bawah tampaknya juga bukan "kaleng-kaleng". Terlebih saat kemarau, menurut kakek Alaudin, dengan cepat mampu menyurutkan debit air sungai, bahkan terkadang bisa memicu kebakaran pada hutan yang mengering di kawasan teluk.
Dengan matahari bersinar sangat terik di siang hari, menjelang subuh keesokan harinya hujan kembali turun di Kufuriyai. Tandon-tandon air, jeriken dan ember-ember yang sengaja dibiarkan terbuka di sekitar rumah-rumah di kampung tersebut kembali terisi.
Kampung-kampung di Distrik Teluk Arguni, termasuk di Kufuriyai, memang kebanyakan mengandalkan air tadah hujan dan dari sungai untuk keseharian. Belum terdengar suara pompa-pompa air menyala di sana, karena kebetulan listrik belum mengalir, meski jaringannya sudah terpasang dua tahun terakhir.
Hidup dari pala
Perkenalan Suku Irarutu di Teluk Arguni Bawah dengan pala terjadi saat pengepul China yang datang dan menunjukkan biji pala pada mereka. Mereka tahu tumbuhan pala yang tumbuh subur di hutan-hutan di sana, tapi tidak pernah tahu bahwa buah, bunga dan biji pala bernilai tinggi.
Kehidupan mereka yang awalnya bergantung pada berburu dan meramu, mulai berubah setelah mengenal pala sebagai komoditas.
James Furima, warga Kampung Warmeru, menceritakan bagaimana Suku Irarutu mulai mengenal sistem barter, menukar pala yang mereka kumpulkan dari hutan dengan kain hingga gerabah.
Meski tradisi berburu dan meramu tidak sepenuhnya hilang, karena, menurut kakek Alaudin, mereka masih kerap berburu babi hutan maupun rusa di hutan untuk memenuhi kebutuhan protein saat uang hasil panen pala sudah menipis. Namun sumber pendapatan utama dari generasi ke generasi tetap dari hasil menjual biji dan bunga pala.
Bagi mereka yang berada jauh dari teluk, menangkap ikan bukan pilihan alternatif penghasilan, kata kakek Alaudin, karenanya harapan terbesar hanya pada pala. Dengan harga jual biji pala yang rendah hanya mencapai Rp40.000 per kilogram (kg), yang sebelumnya bisa berada di atas Rp50.000 per kg.
Dalam laporan kajian Strategi Pengembangan Agribisnis Tanaman Pala Arguni Bawah yang EcoNusa lakukan di empat kampung, yakni Kufuriyai, Egarwara, Warmeru dan Manggera pada 2021, rata-rata tanaman pala di Teluk Arguni Bawah berumur 35 tahun, yang artinya saat ini sedang dalam masa produktif.
Jika Roy menyalahkan iklim yang mengacaukan musim panen, maka dari kajian diketahui faktor lain yang mempengaruhi produktivitas tumbuhan pala di Teluk Arguni Bawah. Tanaman pala yang kebanyakan tumbuh secara alami dan atas bantuan burung untuk pembenihannya, memiliki tingkat kerapatan tinggi di daerah itu, sehingga pencahayaan matahari tidak maksimal.
Namun ada satu persoalan yang belum terungkap dalam kajian tersebut, bahwa keterdesakan ekonomi membuat banyak keluarga di sana terpaksa mengambil pala di luar musim panen. Akhirnya biji pala matang dengan yang masih mentah tercampur, sehingga harga jual menjadi rendah.
Persoalan rendahnya harga jual biji pala di Teluk Arguni Bawah sehingga kalah bersaing dari Kabupaten Fak-Fak sebenarnya juga diketahui Bupati Kaimana Freddy Thie. Saat dijumpai di kantornya pertengahan Maret lalu, ia berharap ada cara untuk menaikkan daya saing pala negeri di sana, termasuk memerhatikan soal pascapanen yang semua masih menggunakan cara tradisional.
Kaimana merupakan salah satu penghasil pala terbesar di Papua Barat, luasan areal tanaman pala meningkat dari 1.649 hektare (ha) di 2013 menjadi 9.068,17 ha di 2020 berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Kabupaten tersebut memproduksi 485,47 ton biji pala per tahun, dan 47 persen berasal dari Teluk Arguni Bawah.
Namun jika dibandingkan dengan produktivitas kebun pala di Kabupaten Tanggamus, Lampung, yang bisa menghasilkan 4.098 kg per tahun, jelas produktivitas di Teluk Arguni Bawah yang mencapai sekitar 804 kg per ha per tahun kalah jauh.
Sasi pala
Sampai akhirnya, Rabu (16/3) pagi, Tarian Tifa Panjang untuk menyambut tamu penting dimainkan oleh mama-mama serta para pemuda di Kufuriyai. Pagi itu, warga dari dua kampung, yakni Kufuriyai dan Manggera bersiap mengadakan prosesi adat Sasi Pala.
Mereka melakukannya sebagai bentuk larangan mengambil buah pala dari atas pohon dalam kurun waktu tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi pala di sana. Dari sana, harapannya biji pala yang dipanen benar-benar matang dan berkualitas baik, sehingga harga jual tinggi.
Kepala Suku Kufuriyai Yosef Surune bersama Ketua Adat Kufuriyai Isak Bretnei dan Ketua Adat Manggera Abraham Kroa memulai Sasi Pala di sebuah kebun pala di kampung tersebut. Ratusan orang dari berbagai dusun dan kampung tetangga diundang untuk menyaksikan prosesi adat yang sudah lebih dari 20 tahun tidak dilaksanakan.
Rapalan mantra dalam bahasa Irarutu atau Kasira segera terucap oleh ketua adat. Sambil menengadah ke pohon pala, ia seperti berkomunikasi dengan tanaman itu.
Palang berbentuk silang dari pelepah daun dan dahan kelapa yang dipasang di depan salah satu pohon pala di kampung itu menjadi penanda Sasi Pala mulai berlaku. Sejak siang itu hingga nanti saat para ketua adat membuka sasi, tidak boleh ada lagi warga di dua kampung tersebut yang mengambil buah pala yang masih ada di pohon.
Jika ada yang berani melanggar sasi itu, menurut Yosef Surune, biasanya mereka akan sakit. Sanksi dari ketua adat juga diberikan, berupa potong kaki atau dilukai, sehingga itu menjadi bentuk musibah bagi mereka yang melanggar sasi.
Begitulah jawaban Suku Irarutu atas kekacauan musim panen pala di Teluk Arguni Bawah. Kembali pada kearifan lokal, yang oleh leluhur mereka biasa lakukan untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian pemanfaatan tanaman pala di masa lampau.
Supaya harga biji-biji pala yang kualitasnya sudah bagus nanti semakin maksimal dan menguntungkan petani, pemerintah empat kampung dengan pendampingan Yayasan EcoNusa juga mempersiapkan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) bernama Nembeve yang nantinya menjadi perantara petani dengan pasar.
Seperti kata Ibu Kampung Kufuriyai Beatris Tefruam, lewat Sasi Pala, mereka ingin mewariskan mata air pada anak cucunya. Bukan sebaliknya, memberikan air mata untuk mereka.