Lhokseumawe (ANTARA Aceh) - Produksi garam milik petani tradisional di Kabupaten Aceh Utara, selama musim kemarau mengalami peningkatan 66 persen.
Hafni, salah seorang petani di Pantai Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kamis mengatakan, pada musim kemarau dirinya bisa memproduksi garam 50 bambu, sedangkan sebelumnya hanya 30 bambu per hari.
Garam yang diproduksi secara tradisional tersebut dijual kepada pedagang pengumpul yang khusus datang ke lokasi dengan harga Rp4.000/bambu (1,5 Kg) yang dipasarkan ke berbagai daerah di wilayah Aceh Utara.
"Kalau musim kering seperti saat ini, sangat membantu dan mudah untuk diproses menjadi garam, namun jika pada musim hujan produksinya pun sedikit berkurang hanya mecapai 30 bambu/hari," ujarnya.
Ia menyatakan, mengenai fasilitas produksi garam di daerah tersebut sebagian ada yang dibantu oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara melalui dinas terkait, baik peralatan maupun pembinaan kepada petani garam.
"Biasanya dalam setahun sekali mereka juga mengecek langsung ke lapangan untuk melihat sejauhmana perkembangan produksi garam serta hal lainnya. Artinya ada perhatian dari pemerintah setempat," ungkap petani garam.
Garam yang diproduksi secara tradisional di Lancok Bayu tersebut, dalam proses pembuatannya, selain menggunakan air laut juga menggunakan tanah asin. Dimana, hal yang dilakukan adalah menyiapkan hamparan tanah dan air laut sebagai bahan utama, kemudian tanah dan air laut diratakan menggunakan alat perata di kolam tambak yang sudah disediakan.
Selanjutnya, setelah mengering dalam batas waktu beberapa hari, lapisan permukaan atas anah dikeruk dan diisi ke wadah khusus, lalu air yang menetes dari dalam wadah tersebut dijemur kembali di dalam wadah khusus pula yang selanjutnya berubah menjadi butiran garam.
Hafni, salah seorang petani di Pantai Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kamis mengatakan, pada musim kemarau dirinya bisa memproduksi garam 50 bambu, sedangkan sebelumnya hanya 30 bambu per hari.
Garam yang diproduksi secara tradisional tersebut dijual kepada pedagang pengumpul yang khusus datang ke lokasi dengan harga Rp4.000/bambu (1,5 Kg) yang dipasarkan ke berbagai daerah di wilayah Aceh Utara.
"Kalau musim kering seperti saat ini, sangat membantu dan mudah untuk diproses menjadi garam, namun jika pada musim hujan produksinya pun sedikit berkurang hanya mecapai 30 bambu/hari," ujarnya.
Ia menyatakan, mengenai fasilitas produksi garam di daerah tersebut sebagian ada yang dibantu oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara melalui dinas terkait, baik peralatan maupun pembinaan kepada petani garam.
"Biasanya dalam setahun sekali mereka juga mengecek langsung ke lapangan untuk melihat sejauhmana perkembangan produksi garam serta hal lainnya. Artinya ada perhatian dari pemerintah setempat," ungkap petani garam.
Garam yang diproduksi secara tradisional di Lancok Bayu tersebut, dalam proses pembuatannya, selain menggunakan air laut juga menggunakan tanah asin. Dimana, hal yang dilakukan adalah menyiapkan hamparan tanah dan air laut sebagai bahan utama, kemudian tanah dan air laut diratakan menggunakan alat perata di kolam tambak yang sudah disediakan.
Selanjutnya, setelah mengering dalam batas waktu beberapa hari, lapisan permukaan atas anah dikeruk dan diisi ke wadah khusus, lalu air yang menetes dari dalam wadah tersebut dijemur kembali di dalam wadah khusus pula yang selanjutnya berubah menjadi butiran garam.