Banda Aceh (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen, Provinsi Aceh, menghentikan penuntutan terhadap satu perkara penganiayaan berdasarkan restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif setelah para pelaku dan korban berdamai.
Kepala Kejari Bireuen Munawal Hadi di Banda Aceh, Jumat, mengatakan penghentian penuntutan perkara penganiayaan tersebut setelah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) menyetujuinya.
"Ada satu perkara penganiayaan yang penuntutannya dihentikan setelah Jampidum menyetujuinya. Perkara tersebut dengan tersangka berinisial R dan korban berinisial H. Penganiayaan tersebut terjadi di tempat pemungutan suara saat Pemilu 2024," katanya.
Ia menyebutkan penganiayaan diduga dilakukan R terhadap H di tempat pemungutan suara (TPS) Desa Meunasah Geudong, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, pada14 Februari 2024 sekira pukul 15.00 WIB.
H merupakan ketua tim pengawalan pemenangan sebuah partai politik. Sedangkan R merupakan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) setempat.
Pada saat itu, korban mencurigai ada kecurangan di TPS tersebut. Kemudian, korban memotret anggota KPPS. Beberapa anggota KPPS mendekati korban serta memintanya keluar dari TPS. Tiba-tiba, R mendekat dan memukul H dari belakang.
"Tersangka R disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan," kata Munawal menyebutkan.
Terhadap perkara penganiayaan tersebut, kata dia, jaksa fasilitator melakukan proses perdamaian. Tersangka dan korban akhirnya sepakat berdamai. Berdasarkan perdamaian tersebut, jaksa fasilitator melakukan ekspose penyelesaian perkara kepada Jampidum.
"Jampidum menyetujui penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif. Selanjutnya, jaksa penuntut umum mengeluarkan surat penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum," katanya.
Munawal Hadi mengatakan dengan disetujuinya penghentian penuntutan tiga perkara tersebut, maka Kejari Bireuen sepanjang 2022 sudah menyelesaikan 15 perkara berdasarkan keadilan restoratif.
"Dengan dihentikannya penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, kata dia, maka penyelesaian perkara tidak lagi dilakukan melalui proses persidangan di pengadilan, tetapi, diselesaikan melalui perdamaian para pihak," katanya.
Penghentian penuntutan perkara berdasarkan keadilan restoratif ini merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung, di mana penyelesaian sebuah perkara tidak harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan.
Munawal menyebutkan ada syarat penghentian penuntutan perkara yang harus dipenuhi, yakni pelaku dan korban sudah berdamai. Pelaku membuat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya dam korban tidak akan menuntut.
Pelaku baru pertama melakukan tindak pidana atau bukan residivis atau orang yang pernah dipidana. Serta perdamaian para pihak juga harus disaksikan para tokoh masyarakat dan keluarga korban.
"Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh. Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir," kata Munawal Hadi.
Baca juga: Jampidum hentikan perkara penganiayaan di Bireuen berdasarkan keadilan restoratif