Idi (Antaranews Aceh) - Rabu (25/4) dini hari, menjadi saat paling menakutkan bagi masyarakat Desa Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur.
Betapa tidak, ditengah malam buta itu, saat puluhan orang sedang menggamit (mengepul) semburan "harta karun" dari ceruk bumi, tiba-tiba ledakan keras terjadi, seketika api menyala membumi hanguskan segala yang ada. Sumur minyak meladak, petaka telah terjadi.
Korban berjatuhan. Sedikitnya 22 orang meninggal dunia hingga Jumat (27/4). Sementara, 38 korban luka bakar lain masih dirawat insentif di RS Graha Bunda, RS Zubir Mahmud dan RS Sultan Abdul Aziz Syah, Aceh Timur. Sementara, beberapa diantaranya terpaksa dirujuk ke RSUZA Banda Aceh maupun RSUP Adam Malik, Medan karena kondisi kritis.
Selain korban jiwa, lima unit rumah di sekitar lokasi ledakan hangus terbakar. Tiga diantaranya luluh lantak dilahap "si jago merah" dan dua lain rusak berat. Sejumlah sepeda motor tampak terpanggang. Alat pengeboran manual tradisional juga masih tersisa di bekas ledakan itu.
Tim gabungan dari pemadam kebakaran, BPBD, Tagana, TNI/Polri serta unsur tenaga ahli PT Pertamina EP Field Rantau dan PT Medco diterjunkan.
Evakuasi korban dramatis. Beberapa diantaranya, kaku terpanggang di dekat Reg pengeboran. Kobaran api menjulang tinggi seakan menjilat angkasa. Aroma gas begitu kentara menyerebak ditiup angin sepoi. Sementara, air dan minyak terus menyumbar seiring kobaran api yang kian ganas.
Kobaran api yang membumbung setinggi 75 meter itu baru mereda, Kamis (26/4) pagi. Kini, tinggal semburan minyak dan gas yang terus menjulang. Di sekitar lokasi, dibuat parit guna mengaliri
tumpahan minyak ke kanal penampungan.
Sementara, 55 kepala keluarga terpaksa mengungsi ke rumah famili dan saudara terdekatnya guna menghindari ancaman terjadinya ledakan susulan. Bantuan pemerintah daerah terus mengalir. Begitu juga bantuan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang disalurkan melalui Dinas Sosial Aceh.
Bupati Aceh Timur, Hasballah M Thaib mengatakan, pihaknya telah menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada keluarga korban yang meninggal dunia maupun menderita luka-luka.
"Pemerintah Kabupaten menyalurkan Rp5 juta perorang bagi korban ledakan sumur minyak itu," kata Hasballah.
Selain itu, Bupati yang baru menjabat periode keduanya itu meminta aparat penegak hukum untuk menertibkan sumur minyak di Ranto Peureulak dan sekitarnya. Hal itu, untuk mengantisipasi terjadinya peristiwa serupa dikemudian hari.
Sementara, Anggota DPR RI asal Aceh, Firmandez menyatakan pemerintah perlu mencari solusi pemberdayaan ekonomi masyarakat bila ingin menutup eksplorasi sumur minyak yang selama ini menjadi mata pencaharian warga setempat.
"Bila hendak ditutup, tentu perlu dicarikan solusi agar masyarakat memiliki mata pencaharian baru sehingga bisa memenuhi hajat hidup keluarganya," ujar Firmandez.
Banyak terlibat
Penelusuran wartawan, jumlah sumur minyak di Kecamatan Ranto Peureulak lebih seratusan. Selama ini, masyarakat memanfaatkan bekas sumur tambang bekas PT Asamera maupun peninggalan zaman Belanda.
"Lokasi pengeboran banyak titiknya. Ada yang menggali kembali dibekas sumur peninggalan Belanda atau eks Asamera. Ada pula yang melakukan pengeboran baru di sekitar lokasi tadi," sebut Musliadi seorang pekerja tambang minyak di seputaran Ranto Peureulak.
Dituturkan, sumur yang meledak tersebut di Dusun Bakti, Desa Pasir Putih merupakan pengeboran baru. Sementara sumur lain di sekitarnya belum berhasil menemukan titik minyak.
Malam itu, kabar keluarnya minyak dari ceruk bumi di sumur yang kemudian meledak, tersebar dengan cepat. Sudah menjadi kebiasaan, bila ada sumur yang nembak--enyembur minyak--maka warga berdatangan hanya sekedar melihat atau turut membantu mengumpulkan minyak yang berserakan di tanah.
Nah, secara tiba-tiba terjadi ledakan sehingga kobaran api begitu cepat meluluh-lantakkan semuanya. Termasuk merenggut nyawa 22 orang yang berada di lokasi, baik pekerja maupun warga yang sekedar menonton atau mengepul minyak, papar Musliadi.
Ia mengatakan, pengeboran sebuah sumur atau titik membutuhkan modal yang besar. Lazimnya, pemboran didukung cukong sebagai pemilik modal kerja.
Dalam usaha itu, pemodal mendapat jatah bagian sebanyak dua bagian, pemilik Reg (alat pembor) satu bagian, penyuplai pipa satu bagian.
Kemudian, pemilik lahan satu bagian, satu bagian untuk sumbangan pada desa, sedangkan pekerja terdiri empat orang yang masing-masing mendapat satu bagian seorang, sehingga seluruh
pembagian menjadi 10 bagian (100 persen).
"Pembagiannya dilakukan setelah berhasil mendapatkan minyak dan setelah ditarik modal awal oleh cukong atau donatur, barulah pembagian sebagaimana tersebut didistribusikan sesuai hak masing-masing," urai Musliadi.
Diakuinya, untuk awal sekali dalam satu titik pemboran bisa menghabiskan modal kerja senilai Rp50 juta sampai Rp60 juta. Dengan rincian; pembelian alat Reg Rp15 juta sampai Rp20 juta, pengadaan pipa Rp20 juta sampai Rp25 juta. Selanjutnya logistik pengeboran Rp5 juta sampai Rp10 juta, selama sebulan atau bisa lebih.
Lamanya pengeboran tergantung cepat atau lambat mendapatkan minyak. Ada sumur yang lebih sebulan dilakukan pengeboran baru bisa menghasilkan minyak atau malah sebaliknya tidak mendapat apapun, selain menderita kerugian.
Diameter sumur bor seluas 4 centimenter. Kedalamannya mencapai 200-450 meter di dalam permukaan tanah. Semakin dalam pengeboran, maka nilai modal bertambah banyak. Disamping, kebutuhan logisitik. Pengadaan pipa juga bertambah jumlahnya.
Jika berhasil mendapatkan minyak, sehari mencapai 5-10 drum ukuran 22 liter. Dengan harga jual minyak mentah senilai Rp850 ribu per drum atau Rp3.863 rupiah per liternya. Minyak ini dibawa ke Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara oleh agen yang biasa dihubungi saat minyak sudah didapat.
Sesampai di Tanjung Pura, minyak mentah dilakukan penyulingan guna menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium, solar maupun minyak tanah.
"Ada pula yang dijual ke penyuling lokal di sekitar Aceh Timur. Tapi jumlahnya tidak banyak. Lebih banyak di bawa ke Tanjung Pura," aku Musliadi.
Menyangkut donatur adalah hal menarik untuk ditelusuri. Betapa tidak, mereka ini yang paling banyak mendapat keuntungan atas usaha eksplorasi tradisional tersebut.
Disebut-sebut sejumlah nama pengusaha di Aceh Timur, Kota Langsa bahkan Lhokseumawe terlibat dalam kegiatan mengeruk "harta karun" di ceruk bumi tersebut.
Selain itu, pejabat Pemerintahan Aceh Timur juga punya andil. Disinyalir unsur Muspika setempat juga menikmati gelimangan harta karun berjenis minyak mentah tersebut. Namun, untuk membuktikan kepemilikan mereka atas sumur-sumur yang ada, sangat diperlukan keseriusan semua pihak.
Secara kasat mata, mereka tak langsung terlibat. Karena seluruh kegiatan di pengeboran merupakan tanggung jawab pekerja yang dikoordinir seorang yang diangap mewakili pemilik modalnya.
Lantas, bagaimana kelanjutan eksplorasi harta karun di Ranto Peureulak yang telah berlangsung lama itu. Mari kita tunggu kebiajakan pemerintah dan nyali besar aparat penegak hukum memberanggus mafia minyak di daerah itu.
Petaka "harta karun" ceruk bumi Aceh Timur
Jumat, 27 April 2018 20:53 WIB