Jakarta (ANTARA Aceh) - Ikatan Dokter Indonesia menilai Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyebabkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam mengawal kompetensi tenaga medis.
"Standar kompetensi dokter umum, spesialis, subspesialis, gigi maupun gigi spesialis, selama ini disahkan oleh KKI, namun sekarang dengan UU itu diambil alih pengesahannya oleh pemerintah. Tentu hal ini bertentangan dengan kaidah profesi kedokteran secara universal," kata Ketua Umum IDI Zainal Abidin di Jakarta, Selasa.
Zainal juga menjelaskan KKI memiliki peran ganda untuk menjaga 'profesional trust' dan melindungi warga masyarakat dari praktik kedokteran yang melanggar norma.
KKI yang berdiri sejak 29 April 2005 dan dibentuk UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, harus dibubarkan dan menjadi bagian di bawah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) dengan UU Nakes.
Perubahan tersebut berdasarkan Pasal 34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), ayat (2), dan ayat (2), Pasal 94 UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
Sesungguhnya, kata Zainal, penggabungan tersebut tidak harus terjadi jika substansi dari UU Nomor 36/2014 ini mengikuti mandat dari UU 36/2009 tentang Kesehatan sesuai yang tertuang dalam Pasal 21 ayat (3).
"Mandat tersebut adalah pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis," katanya.
Regulasi yang saling bertentangan ini, lanjut dia, terbukti sekarang ini dengan kenyataan tidak dilibatkannya organisasi profesi kedokteran serta KKI dalam pembahasan RUU Tenaga Kesehatan itu. "Terutama di akhir proses legislasi," katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, sebagai tanggung jawab moral (sumpah dokter) dan hukum, IDI dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) sebagai organisasi profesi kedokteran serta KKI sebagai lembaga negara yang merupakan representasinya telah mengajukan 'judicial review' terhadap beberapa pasal dalam UU Nakes tersebut.
"Kami semua termasuk masyarakat di dalamnya telah mengajukan
uji materi (judicial review) terhadap beberapa pasal dalam UU Nomor 36 Tahun 2014 tersebut," tuturnya.
Dia juga mengharapkan proses ini dapat melahirkan harmonisasi regulasi di bidang kesehatan yang lebih baik dan kuat. "Sehingga hak-hak seluruh warga negara di bidang kesehatan dapat ditunaikan," ucapnya.
Pasal-pasal yang diajukan untuk dilakukan pengujian materil (judicial review) oleh Pengurus Besar IDI, PB PDGI, KKI, Dr. M. Adib Khumeidi dan Salamuddin SE tersebut, yaitu: Pasal 1 angka 1; Pasal 1 angka 6; Pasal 11 ayat (1) huruf a; Pasal 11 ayat (1) huruf m; Pasal 11 ayat (2); Pasal 11 ayat (14); Pasal 12; Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6); Pasal 21 ayat (6); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (5), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43; Pasal 34 ayat (3); Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40 ayat (2); Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3); dan Pasal 94.
"Standar kompetensi dokter umum, spesialis, subspesialis, gigi maupun gigi spesialis, selama ini disahkan oleh KKI, namun sekarang dengan UU itu diambil alih pengesahannya oleh pemerintah. Tentu hal ini bertentangan dengan kaidah profesi kedokteran secara universal," kata Ketua Umum IDI Zainal Abidin di Jakarta, Selasa.
Zainal juga menjelaskan KKI memiliki peran ganda untuk menjaga 'profesional trust' dan melindungi warga masyarakat dari praktik kedokteran yang melanggar norma.
KKI yang berdiri sejak 29 April 2005 dan dibentuk UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, harus dibubarkan dan menjadi bagian di bawah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) dengan UU Nakes.
Perubahan tersebut berdasarkan Pasal 34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), ayat (2), dan ayat (2), Pasal 94 UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
Sesungguhnya, kata Zainal, penggabungan tersebut tidak harus terjadi jika substansi dari UU Nomor 36/2014 ini mengikuti mandat dari UU 36/2009 tentang Kesehatan sesuai yang tertuang dalam Pasal 21 ayat (3).
"Mandat tersebut adalah pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis," katanya.
Regulasi yang saling bertentangan ini, lanjut dia, terbukti sekarang ini dengan kenyataan tidak dilibatkannya organisasi profesi kedokteran serta KKI dalam pembahasan RUU Tenaga Kesehatan itu. "Terutama di akhir proses legislasi," katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, sebagai tanggung jawab moral (sumpah dokter) dan hukum, IDI dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) sebagai organisasi profesi kedokteran serta KKI sebagai lembaga negara yang merupakan representasinya telah mengajukan 'judicial review' terhadap beberapa pasal dalam UU Nakes tersebut.
"Kami semua termasuk masyarakat di dalamnya telah mengajukan
uji materi (judicial review) terhadap beberapa pasal dalam UU Nomor 36 Tahun 2014 tersebut," tuturnya.
Dia juga mengharapkan proses ini dapat melahirkan harmonisasi regulasi di bidang kesehatan yang lebih baik dan kuat. "Sehingga hak-hak seluruh warga negara di bidang kesehatan dapat ditunaikan," ucapnya.
Pasal-pasal yang diajukan untuk dilakukan pengujian materil (judicial review) oleh Pengurus Besar IDI, PB PDGI, KKI, Dr. M. Adib Khumeidi dan Salamuddin SE tersebut, yaitu: Pasal 1 angka 1; Pasal 1 angka 6; Pasal 11 ayat (1) huruf a; Pasal 11 ayat (1) huruf m; Pasal 11 ayat (2); Pasal 11 ayat (14); Pasal 12; Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6); Pasal 21 ayat (6); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (5), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43; Pasal 34 ayat (3); Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40 ayat (2); Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3); dan Pasal 94.