Langsa (ANTARA Aceh) - Berkas tersangka perdagangan satwa dilindungi, Ra, sudah dilimpahkan ke Kejaksaan negeri Langsa, Kota Langsa, dan dinyatakan lengkap atau P-21.
Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo di Langsa, Rabu menyatakan, pihak Kejaksaan Negeri Langsa sudah menyatakan berkasa tersangka perdagangan satwa dilindungi itu sudah lengkap (P21), sehingga segera disidangkan.
Tersangka Ra tertangkap tangan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama Subdit Tipiter Polda Aceh melakukan perdagangan satwa dilindungi di Jalan PDAM Tirta Pondok Kemuning, Desa Pondok Kemuning, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, pada tanggal 1 Agustus 2015.
Dalam operasi tersebut, tim BKSDA menyita tiga Orangutan, dua elang Bondol, satu burung Kuau Raja dan satu awetan macan dahan. Kesemua satwa tersebut merupakan satwa dilindungi.
Ia menyatakan, penangkapan ini merupakan yang terbesar pertama di Aceh dimana pedagang berhasil ditangkap bersama dengan tiga bayi Orangutan sekaligus.
"OIC akan terus memantau kasus ini dan mengerahkan segenap potensinya agar tersangka bisa mendapatkan hukuman maksimal," katanya.
Menurut dia, penegakan hukum merupakan salah satu kata kunci untuk mendukung keberhasilan program upaya konservasi Orangutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia.
"Proses hukum yang sudah dijalankan pihak BKSDA Aceh harus didukung dan kami meminta pihak Kejaksaan Negeri Langsa dapat menjalankan tugas dan fungisnya secara adil dan transparan sehingga proses peradilan nantinya dapat menjadi acuan penting bagi upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. Hukuman maksimal harus diberikan kepada tersangka agar ada efek jera di masyarakat," katanya.
Manager Anti Kejahatan Satwa Liar dari Centre for Orangutan Protection (COP), Daniek Hendarto menyatakan, ini adalah kasus terbesar yang pernah ada di Aceh dan berpotensi terulang kembali karena hukuman yang dijatuhkan selama ini pada kasus-kasus kejahatan terhadap satwa liar sangatlah ringan.
COP memantau jaringan si pelaku dijejaring sosial dan kami berkesimpulan bahwa mereka tidak takut menghadap jerat hukum karena keuntungan sangat besar jika dibandingkan resikonya," ujarnya.
Tapi, lanjut dia, kuncinya ada di Kejaksaan Negeri Langsa. Jika mereka berani membuat terobosan dengan sebuah tuntutan maksimal, maka hakim akan menjatuhkan hukuman yang tidak terpaut jauh.
Sementara itu, Kepala BKSDA Aceh Genman Hasibuan menyatakan, pihaknya akan terus mengawal dan berkomitmen untuk memastikan tersangka mendapatkan hukuman sesuai dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yakni penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp100 juta.
Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo di Langsa, Rabu menyatakan, pihak Kejaksaan Negeri Langsa sudah menyatakan berkasa tersangka perdagangan satwa dilindungi itu sudah lengkap (P21), sehingga segera disidangkan.
Tersangka Ra tertangkap tangan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama Subdit Tipiter Polda Aceh melakukan perdagangan satwa dilindungi di Jalan PDAM Tirta Pondok Kemuning, Desa Pondok Kemuning, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, pada tanggal 1 Agustus 2015.
Dalam operasi tersebut, tim BKSDA menyita tiga Orangutan, dua elang Bondol, satu burung Kuau Raja dan satu awetan macan dahan. Kesemua satwa tersebut merupakan satwa dilindungi.
Ia menyatakan, penangkapan ini merupakan yang terbesar pertama di Aceh dimana pedagang berhasil ditangkap bersama dengan tiga bayi Orangutan sekaligus.
"OIC akan terus memantau kasus ini dan mengerahkan segenap potensinya agar tersangka bisa mendapatkan hukuman maksimal," katanya.
Menurut dia, penegakan hukum merupakan salah satu kata kunci untuk mendukung keberhasilan program upaya konservasi Orangutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia.
"Proses hukum yang sudah dijalankan pihak BKSDA Aceh harus didukung dan kami meminta pihak Kejaksaan Negeri Langsa dapat menjalankan tugas dan fungisnya secara adil dan transparan sehingga proses peradilan nantinya dapat menjadi acuan penting bagi upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. Hukuman maksimal harus diberikan kepada tersangka agar ada efek jera di masyarakat," katanya.
Manager Anti Kejahatan Satwa Liar dari Centre for Orangutan Protection (COP), Daniek Hendarto menyatakan, ini adalah kasus terbesar yang pernah ada di Aceh dan berpotensi terulang kembali karena hukuman yang dijatuhkan selama ini pada kasus-kasus kejahatan terhadap satwa liar sangatlah ringan.
COP memantau jaringan si pelaku dijejaring sosial dan kami berkesimpulan bahwa mereka tidak takut menghadap jerat hukum karena keuntungan sangat besar jika dibandingkan resikonya," ujarnya.
Tapi, lanjut dia, kuncinya ada di Kejaksaan Negeri Langsa. Jika mereka berani membuat terobosan dengan sebuah tuntutan maksimal, maka hakim akan menjatuhkan hukuman yang tidak terpaut jauh.
Sementara itu, Kepala BKSDA Aceh Genman Hasibuan menyatakan, pihaknya akan terus mengawal dan berkomitmen untuk memastikan tersangka mendapatkan hukuman sesuai dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yakni penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp100 juta.