Menaruh asa masa depan penyelesaian pelanggaran HAM berat Aceh
Oleh Khalis Surry Jumat, 14 Juli 2023 12:03 WIB
Keluarga Jailani terdaftar sebagai penerima bantuan rehab sebagian bangunan rumah, Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Program Keluarga Harapan (PKH) dalam program itu. Semua bantuan atas nama sang istri, sebagai korban. Namun, ia juga kecewa karena namanya tak terdaftar sebagai penerima bantuan.
"Saya tidak dapat lagi karena dianggap satu KK. Mana bisa seorang korban dianggap satu KK, misalnya,1 sepuluh orang korban, ya harusnya kesepuluhnya dikasih, bukan hitungan KK," kata Jailani.
Heri Mafrizal (26) anak dari M Yusuf Hasan, korban Rumoh Geudong yang hilang sampai sekarang, juga mengharapkan hal yang sama. Pemulihan korban dan para keluarganya melalui non-yudisial dapat dipenuhi dengan baik oleh pemerintah.
Heri kehilangan sang ayah saat usia tujuh bulan dalam kandungan sang ibu, Nurmala. Setelah menamatkan sekolah menengah atas (SMA), ia tak lagi melanjutkan kuliah karena terbentur kondisi ekonomi yang pas-pasan.
“Saya cita-cita ingin kuliah, cuma ekonomi sulit. Karena pendapatan kerja sangat minim, untuk hari-hari tidak cukup. Di sini saya bantu orang tua karena sudah tinggal sendiri,” ujarnya.
Sudah tujuh tahun Heri bekerja sebagai satuan pengamanan (satpam) dengan status tenaga kontrak di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tgk Abdullah Syafi’i, Pidie.
Dalam program pemulihan korban ini, keluarganya mendapat bantuan modal usaha untuk kios warung, KIS, dan juga PKH. Di samping itu, ia berharap pemerintah juga memberi kesempatan kepadanya sebagai anak korban konflik untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
“Harapan kami kalau boleh, bisa diangkat menjadi PNS, untuk membahagiakan orang tua kami,” kata Heri.
Harapan untuk hidup lebih baik juga disampaikan Nurhayati Sulaiman (53), istri Zainal Abidin, salah seorang korban tragedi Simpang KKA, Aceh Utara pada 1999.
Sang suami tewas dalam tragedi di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Korban meninggalkan empat orang anak, dan dua di antaranya kembar, yang saat ini sedang menyelesaikan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Kabupaten Bireuen, Aceh.
Ia bersyukur negara akhirnya mengakui tragedi Simpang KKA sebagai pelanggaran HAM berat. Dengan begitu, tentu pemerintah akan merealisasikan berbagai program pemulihan korban dan keluarga korban.
“Harapan kepada Pemerintah, anak saya yang kuliah bisa diberi pekerjaan,” ujarnya.
Hal senada juga diutarakan Sarbunis (34), korban yang masih hidup dari tragedi Jambo Keupok, Aceh Selatan, pada 2003. Peristiwa itu menewaskan 16 warga sipil, dengan cara dibakar hidup-hidup oleh aparat dalam satu rumah.
Tragedi itu terjadi saat Sarbunis usia 16 tahun, masih duduk kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP). Ia dijemput aparat dan dibawa ke Jambo Keupok saat hendak pergi ke sekolah.
Ia bersama warga lainnya juga mengalami berbagai macam penyiksaan. “Akhirnya saya selamat karena saya masih kecil, jadi dilepas,” ujarnya.
Harapan Sarbunis, program pemulihan hak korban pelanggaran HAM besar dari pemerintah tersebut dapat dirasakan secara merata oleh seluruh korban, ahli waris korban di Aceh Selatan.
Setiap korban dan ahli waris korban di Aceh Selatan mendapatkan bantuan yang berbeda-beda. Ia mendapatkan bantuan modal usaha untuk membuat kue.
"Kami ingin bantuan ini terus berlanjut setiap tahun. Karena kami dari pihak korban berharap ada jaminan ekonomi untuk masa akan datang," ujarnya.
Komitmen Presiden
Presiden Indonesia Joko Widodo menyebutkan bahwa Pemerintah memiliki niat tulus untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu atas rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM).
Menurutnya, Indonesia sebagai sebuah negara besar tidak luput dari berbagai peristiwa. Kepala Negara berterima kasih kepada para korban dan atau ahli waris korban yang telah berbesar hati menjalani proses panjang dalam menerima pemulihan hak sebagai upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.
Presiden meyakini bahwa semua proses panjang itu tidak akan sia-sia dan berharap dapat menjadi pembuka jalan untuk berbagai pemulihan.
"Semoga proses yang baik ini menjadi pembuka jalan bagi upaya-upaya untuk menyembuhkan luka-luka yang ada, awal bagi terbangunnya kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera di atas fondasi perlindungan dan penghormatan pada hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan," ujar Presiden Jokowi.
Baca juga: Tangga Rumoh Geudong tak dihancurkan, dijadikan monumen pelanggaran HAM