Menguak lagi akar historis konflik Palestina dengan Israel
Kamis, 12 Oktober 2023 10:04 WIB
Inggris dan Prancis, membuat perjanjian yang mengiris wilayah Turki Utsmani di Timur Tengah sebagai protektorat mereka. Perjanjian itu dinamai "Sykes-Picot Agreement", dari nama dua diplomat Inggris dan Prancis; Mark Sykes dan Francois Georges-Picot.
Begitu PD I selesai, Inggris dan Prancis mewujudkan Perjanjian Sykes-Picot dengan membagi wilayah Turki di Suriah, Lebanon, Palestina, Irak dan TransJordan ke dalam protektorat mereka. Salah satu yang didapat Inggris adalah Palestina.
Sementara itu, jauh sebelum PD I berkecamuk, sentimen anti Yahudi merebak di Eropa sampai mendorong gerakan Zionisme pada 1897 yang bertujuan mendirikan sebuah negara Yahudi di tanah yang didiami warga Arab Palestina. Saat itu Palestina masih wilayah Turki Utsmani.
Setahun sebelum PD I berakhir, pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour menyurati tokoh Yahudi terkemuka di Inggris, Lionel Walter Rothschild. Keluarga Rothschild kerap dikait-kaitkan dengan berbagai teori konspirasi global, sampai kini.
Surat Balfour yang memuat 67 kata itu berisi janji Inggris memfasilitasi warga Yahudi mendirikan negara di Palestina yang saat itu 90 persen penduduknya justru orang Arab Palestina. Surat itu kemudian disebut Deklarasi Balfour.
Setelah Inggris resmi mendapatkan mandat di Palestina pada 1923, warga Yahudi di Eropa berbondong-bondong pindah ke sana. Eksodus semakin besar pada PD II ketika Jerman Nazi melakukan pembersihan etnis Yahudi di Eropa.
Warga Arab sendiri menentang eksodus itu. Mereka bangkit mengadakan perlawanan pada 1936-1939. Di bawah perlindungan Inggris, milisi Yahudi melancarkan teror terhadap Arab Palestina sampai merenggut 5.000 warga Palestina.
Pada 1947, jumlah penduduk Yahudi melonjak menjadi 30 persen dari total penduduk Palestina, tapi mereka hanya mendiami 6 persen wilayah.
Perang Enam Hari 1967
Tahun 1947 itu juga PBB yang baru berdiri, mengeluarkan resolusi Rencana Pembagian Palestina yang merekomendasikan berdirinya dua negara dan memandatkan Yerusalem dalam status pengawasan internasional.
Palestina menolak rencana itu karena 56 persen wilayah Palestina mesti diserahkan kepada warga Yahudi, padahal waktu itu, warga Arab Palestina menguasai 94 persen tanah Palestina dan penduduknya 67 persen dari total populasi tanah Palestina.
Baca juga: Israel ancam akan bom ke konvoi pembawa bantuan untuk Palestina
Saat situasi kian memanas, Inggris mengakhiri mandatnya di Palestina pada 14 Mei 1948, yang pada hari itu juga warga Yahudi memproklamasikan berdirinya Israel.
Sehari setelah itu, pecah Perang Arab-Israel yang berakhir pada Januari 1949 setelah Israel mengikat gencatan senjata dengan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah.
Di tengah perang itu, pada Desember 1948, PBB mengeluarkan Resolusi 194 yang menjamin hak pengungsi Palestina kembali ke tanah yang diduduki Israel. Setahun kemudian pada 1950, Mesir menduduki Jalur Gaza, sedangkan Yordania memerintah Tepi Barat.