Menguak lagi akar historis konflik Palestina dengan Israel
Kamis, 12 Oktober 2023 10:04 WIB
Bara konflik terus menyala, tapi perjuangan Palestina tak memiliki struktur kepemimpinan. Lalu, pada 1964, berdiri Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang setahun kemudian disusul Fatah yang menjadi sayap politik PLO.
Hubungan Arab dan Israel sendiri kian panas saja, apalagi saat itu dunia diselimuti Perang Dingin.
Pada 1967 pecah perang selama enam hari antara Israel dan koalisi Arab. Israel memenangkan perang ini dan menduduki wilayah-wilayah Palestina tersisa di Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, selain Dataran Tinggi Golan di Suriah dan Semenanjung Sinai di Mesir. Praktis tanah air Palestina dirampas total oleh Israel.
Pada 1973 perang kembali pecah, antara koalisi Suriah-Mesir melawan Israel. Mesir dan Suriah berusaha merebut kembali Golan dan Sinai.
Mesir bisa mengimbangi Israel sehingga memaksa negara itu menyepakati gencatan senjata yang mewajibkan Israel menarik tentara dari Sinai barat.
Dua tahun kemudian pada 4 September 1975, Israel dan Mesir menandatangani perjanjian damai yang membuat Israel mengembalikan seluruh Semenanjung Sinai kepada Mesir, dengan imbalan Mesir mengakui Israel yang diikuti pembukaan hubungan diplomatik.
Perang kembali pecah pada 1982 ketika Israel menginvasi Lebanon untuk memburu PLO yang berbasis di Lebanon. Tiga tahun kemudian, Israel menarik tentara dari Lebanon setelah PLO juga meninggalkan Lebanon.
Tahun-tahun berikutnya Palestina menggunakan metode baru perlawanan lewat gerakan intifada pada 1987. Setahun kemudian lahir Hamas (Harakah Al Muqawamah Al Islamiyyah atau Gerakan Perlawanan Islam).
Setelah melalui periode panas, pada 1993 dicapai kesepakatan Israel-Palestina di Oslo, Norwegia, yang membolehkan PLO berkantor di Tepi Barat dan Jalur Gaza guna membentuk Otoritas Nasional Palestina. Hamas dan Jihad Islam menolak kesepakatan ini.
Mulai dengan Negara Palestina
Pada September 2000 pecah gerakan intifada kedua, yang memicu perang antara Pasukan Otoritas Palestina dan Angkatan Bersenjata Israel. Konflik itu berakhir pada 2005 setelah Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memerintahkan tentara dan pemukim Yahudi angkat kaki dari Gaza.
Setahun setelah itu Palestina menggelar pemilu. Hamas memperoleh 44 persen suara dalam dewan legislatif Palestina. Israel merespons sukses Hamas itu dengan menjatuhkan sanksi ekonomi, sampai Hamas mau menerima hasil perjanjian-perjanjian Palestina-Israel terdahulu, serta mengakui Israel.
Pada 2007, pecah konflik internal antara Fatah dan Hamas pada 2007 yang membuat Fatah terusir dari Gaza. Buntut konflik internal ini, Israel memblokade Jalur Gaza.
Arab Saudi kemudian memediasi Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintah persatuan, di mana Hamas memerintah Gaza, sedangkan Tepi Barat dikelola Otoritas Palestina.
Berikutnya beberapa perkembangan positif terjadi sampai berdampak baik pada peningkatan status Palestina di PBB ketika sejak November 2012, mereka tak lagi berstatus "pengamat anggota non negara", melainkan "Negara Palestina".
Namun demikian, permusuhan Israel-Palestina tak kunjung padam, bahkan pada 2014 pecah perang di Gaza.
Sempat masuki periode relatif tenang, kekerasan memuncak lagi ketika pada November 2022 pemerintahan kanan pimpinan Benjamin Netanyahu yang melibatkan tokoh-tokoh kanan ekstrem, memerintah Israel.
Semasa pemerintahan ini kekerasan pecah hampir sepanjang 2023 di berbagai wilayah Palestina, termasuk Al Aqsa, hingga merenggut korban jiwa yang jumlahnya terbesar sejak 2005.
Masa-masa itu juga diwarnai terobosan diplomatik besar ketika empat negara Arab mengikuti jejak Mesir dan Yordania, membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Kendati terobosan itu tak mengubah nasib Palestina, Arab Saudi yang merupakan negara Arab dan Islam paling berpengaruh, berusaha mengikutinya.
Namun, di tengah ekspektasi rekonsiliasi Saudi-Israel itu, pada Sabtu 30 September, Hamas meluncurkan serangan paling mautnya. Hamas melakukan hal yang tak bisa dilakukan tentara Arab mana pun ketika berhasil menembus masuk dan menduduki wilayah Israel.
Entah serangan ini ada hubungannya dengan upaya rekonsiliasi Saudi-Israel, masih harus didalami lagi. Yang jelas, serangan 30 September itu membuka realitas baru mengenai sebesar mana kekuatan Hamas dan seberapa kokoh pertahanan Israel.
Mungkin peristiwa itu membuat konflik Palestina-Israel semakin pelik, tapi bisa jadi malah mendorong penyelesaian menyeluruh di sana yang diperlukan karena tak mungkin rakyat Palestina dan rakyat Israel yang 21 persen di antaranya etnis Arab, abadi saling menyerang.
Pada Mei 2017, pemimpin Hamas saat itu, Khaled Meshaal, menyatakan Hamas menerima Solusi Dua Negara dengan catatan Negara Palestina harus berdiri di wilayah-wilayah yang diduduki Israel pada Perang 1967, termasuk Yerusalem Timur.
Kendati komitmen Hamas itu tak disertai pengakuan negara Israel, tetap saja menjadi kemajuan penting demi Solusi Dua Negara. Setidaknya mulailah dengan mewujudkan Negara Palestina, karena formula lain ternyata tak bisa menghentikan konflik.
Baca juga: Kementerian Luar Negeri siapkan evakuasi WNI di Palestina