Selain memiliki panorama alam yang menawan, Pantai Pasir Putih Lama Muda di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Provinsi Aceh, ternyata menyimpan sejarah yang bernilai tinggi di mata dunia.
Pantai yang terletak di Desa Lama Tuha, Kecamatan Kuala Batee, memiliki hamparan pasir putih yang luas dengan air jernih kebiruan dan deretan pohon cemara yang sangat panjang menjadikannya sebagai pemandangan sempurna untuk diabadikan bersama keluarga.
Selain sangat cocok bersantai dengan keluarga, pantai nan eksotis itu juga sangat cocok untuk dijadikan destinasi wisata populer bagi warga lokal dan mancanegara, apalagi memiliki deburan ombak Samudera Hindia yang sangat cocok untuk penikmat selancar (surfing).
Keindahan alam tidak hanya dengan pasir putih dan lambaian pohon nyiur berderetan di pantai. Akan tetapi, panorama menawan yang sangat menabjubkan juga bisa disaksikan di sekitar lokasi muara (kuala) besar bagaikan danau berada di sebelah Pantai Lama Muda.
Muara Lama Muda dengan luas sekitar 100 hektar itu menawarkan keindahan alam yang luar biasa. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan di sekitar danau itu, mulai dari berenang, memancing sampai berlayar dengan perahu tradisonal milik nelayan untuk berkeliling muara.
Muara Lama Muda salah satu penghasil ikan air tawar terbanyak di Kabupaten Abdya. Banyak keanekaragaman ikan air tawar bisa ditemukan di kuala besar itu. Mulai dari ikan mas, mujahir, nila, ikan bulan dan ikan-ikan lainnya dan bahkan udang, ketam banyak hidup di muara itu.
Dengan kedalaman air muara rata-rata 3 meter membuat para wisatawan lokal hampir setiap hari datang memancing ikan di muara itu. Masyarakat pendatang terlihat betah untuk berlama-lama di sekitar pinggiran muara menyaksikan nelayan tradisonal menangkap ikan air tawar.
Masyarakat Desa Lama Tuha terlihat sangat ramah bagi pendatang. Mereka mempersilahkan siapa saja tamu yang datang untuk memancing ikan di muara tersebut tanpa meminta tiket (karcis) ataupun retribusi kepada wisatawan.
Pantai wisata Lama Muda sangat dekat dari Kota Blangpidie (ibukota Abdya), dengan menghabiskan waktu 20 menit, dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat wisatawan sudah tiba di lokasi wisata.
Pusat kerajaan
Selain memiliki keindahan pantai dan muara besar Lama Muda juga memiliki sejarah (historis), situs religius yang selama ini masih kurang dipromosikan, padahal di kawasan tempat wisata itu pernah menjadi pusat kerjaan Kuala Batee pada masa lampau.
Menurut penuturan Kepala Desa Lama Tuha, M Nasir, dahulu kawasan Lama Muda merupakan pusat Kerajaan Kuala Batee dan satu-satunya benteng kerajaan Aceh yang pernah diserang oleh infanteri Amerika Serikat dalam ekspedisi balasan Potomac.
"Menurut cerita orangtua, Amerika menyerang kerajaan Kuala Batee karena balas dendam pada tahun 1832. Pembalasan terjadi sebagai jawaban atas pembajakan dan pembantaian anak buah kapal (ABK) Friendship setahun sebelum pecahnya peperangan," tutur dia.
Ia mengatakan, bukti sejarah kerajaan pernah diserang oleh Amerika Serikat masih ada di Desa Lama Tuha. Sebuah monumen milik Amerika tertulis dengan berbahasa Inggris kuno masih berada di kompleks sekolah dasar sampai dengan saat sekarang.
Selain itu, lanjut dia, beberapa tahun silam, banyak senjata meriam milik kerajaan yang sudah tertanam dalam tanah di kawasan benteng Kerajaan Kuala Batee ditemukan oleh warga kemudian dibawa keluar desa tanpa sepengetahuan aparatur desa.
"Pemerintah daerah tidak pernah berupaya untuk menyelamatkan benda-benda bersejarah itu. Sekarang semua meriam-meriam bersejarah itu hilang entah kemana. Yang tersisa hanya bekas benteng kerajaan dan monumen Amerika. Itupun tidak pernah diturunkan ahli sejarah," katanya.
Mantan Rektor Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Ar Raniry, Prof Dr Farish A Noor pernah mengemukan kepada wartawan tentang sejarah serangan Amerika terhadap Kerajaan Kuala Batee (Quallah Battoo) dalam sebuah diskusi di Banda Aceh tahun 2014.
Berdasarkan hasil penilitian dari klipingan surat kabar New York Observer, Farish A Noor menceritakan, serangan balasan Amerika Serikat berawal dari pembajakan dan pembantaian ABK Prienship tahun 1831. Dimana kapal yang dipimpin Charles Endicott datang ke Kuala Batee Abdya untuk mendapatkan satu kargo lada hitam pada tanggal 7 Februari.
Kapal yang dimpin Charles Endicott berlabuh dilepas pantai Lama Muda. Penduduk asli dengan menggunakan perahu menyerang kapal hingga terbunuhnya seorang perwira bersama dua ABK lainnya. Sementara, Charles Endicott berhasil pulang ke Amerika setelah diselamatkan oleh Poh Adam (orang tuha kerjaan saat itu).
Setelah Charles Endicott tiba di negerinya, Amerika Serikat ketika itu menjadi gempar dan Presiden Amerika waktu Andrew Jakson memerintahkan kapal Potomac yang dipimpin Komodor John Downes untuk melakukan serangan balasan terhadap Kerajaan Kuala Batee pada tanggal 5 Februari 1832.
Setelah Potomac milik Amerika menyamar menjadi kapal dagang Denmark akhirnya masuk ke wilayah perairan laut Kuala Batee. Saat negosiasi perdagangan, John Dwnes menahan penduduk pribumi di atas kapal dan meminta ganti rugi atas Kapal Prienship yang setahun sebelumnya dibajak.
Berhubung masyarakat tidak mau mengganti rugi, akhirnya pertempuran terjadi dengan memakan korban jiwa kedua belah pihak dan Amerika mengembar gemborkan peperangan itu sebagai invansi sumatera pertama.
"Kala itu Amerika hendak melakukan pemilihan umum. Konstalasi politik terjadi akibat serangan itu, karena surat kabar yang partisan kerap mengambil sisi lain untuk menjatuhkan Presiden Andrew Jakson," tuturnya.
Farish memiliki satu kliping koran New York Observer yang menyiarkan kemenangan invansi Amerika terhadap Kuala Batee. Namun, koran tersebut mengangkat tema Amerika Serikat membunuh perempuan kerajaan Quaalah Battoo Sumatera.
"Pembunuhan wanita sangat berpengaruh terhadap politik Amerika saat itu, karena kala itu perempuan di Amerika dianggap tidak mungkin ikut berperang, sehingga dengan pemberitaan koran itu Presiden Andrew Jakson menjadi jelek di mata dunia kala itu," katanya.
Farish mengaku belum pernah datang ke Kuala Batee. Ia mengetahui sejarah serangan infanteri Amerika Serikat terhadap masyarakat Kuala Batee dari kliping Surat Kabar New York Observer yang kini bernama Washington Post.