Ia juga menyoroti berkurangnya tutupan hutan Aceh akibat fragmentasi pembangunan jalan di kawasan hutan yang turut mengancam keberlangsungan hidup satwa-satwa kecil dan berkontribusi pada kepunahan.
“Ketika dibangun jalan, maka akan muncul perkebunan, permukiman, dan mudahnya terjadi illegal logging. Ketika adanya fragmentasi tersebut, maka satwa-satwa kecil akan punah,” kata Mike Griffiths.
Sementara itu, Senior Advisor Forum Konservasi Leuser, Rudi Putra, menyampaikan, aktivitas perambahan hutan masih terus berlangsung di KEL. Dalam 53 tahun terakhir, kehilangan hutan di Leuser seluas 423.524 hektare.
“Ini setara dua kali luas Kabupaten Aceh Tamiang dan enam kali luas Singapura,” kata Rudi.
Senada dengan Mike, Rudi berpendapat bahwa kehilangan tutupan hutan di kawasan Leuser disebabkan pembangunan jalan yang memicu aktivitas deforestasi dan perburuan satwa liar.
Baca: Aceh Selatan kembangan Tahura Trumon jadi pusat penelitian flora fauna
“Musuh besar konservasionis adalah pembukaan lahan yang mempermudah perambah mengakses hutan sekaligus berburu satwa yang dilindungi,” katanya.
Dirinya juga menuturkan, kehilangan tutupan hutan ini telah berdampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat. Artinya, ikut berkontribusi pada meningkatnya intensitas banjir.
“Dampak kehilangan hutan membuat banjir terjadi lebih sering. Aceh tidak akan bisa maju jika banjir terus terjadi, karena biaya pemulihan jauh lebih besar. Akibatnya, banyak penduduk jatuh ke jurang kemiskinan. Berapa banyak orang yang menjadi miskin karena bencana,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Rudi juga mengingatkan pemerintah terhadap pentingnya menjaga kelestarian Leuser. Karena hutan itu dapat menjadi kunci kesejahteraan masyarakat Aceh.
“Leuser adalah harapan terakhir untuk konservasi. Dengan hutan yang masih luas ini, kita yakin masyarakat dapat sejahtera,” demikian Rudi Putra.
Baca: Lembaga konservasi kampanyekan penyelamatan SM Rawa Singkil