"Sejak sepekan tarakhir, pupuk mulai ada di tingkat pengecer. Tapi, itu pun kita harus cepat mengambilnya," terang petani jangung Abdurrahman Maha (55) di Aceh Tenggara, Selasa.
Jika tidak dilakukan cepat, lanjutnya, maka pupuk yang disubsidi oleh pemerintah seperti jenis urea dan NPK bakal habis diserap pasar akibat petani sangat membutuhkan penyubur tanaman.
Terlihat di jalan lintas nasional Kutacane-Medan seperti di Desa Pejuang, Kecamatan Bukit Tusam, seorang pengendara becak bermotor membawa beberapa sak pupuk urea bersubsidi.
Dalam satu sak kantong goni terbuat dari plastik, terdapat 50 kilogram pupuk urea bersubsidi dengan harga eceran sebesar Rp50.000. Sedangkan harga nonsubsidi mencapai Rp250 ribu per sak.
"Kalau kita lihat saat ini, di mana tempat pengecer, maka di situ banyak becak. Apalagi ketika truk pengangkut pupuk tiba," terangnya.
Maryani (47), petani lainnya mengaku, ketergantungan petani lokal terhadap pupuk bersubsidi di kabupaten ini sudah terjadi sejak turun-temurun.
Data terakhir Dinas Pertanian Aceh Tenggara menyebut, daerah ini telah mampu memproduksi komoditi jagung 61.000 ton per tahun, kakao 8.843 ton per hektare per tahun, dan lain-lain.
"Petani di sini, sangat tergantung pupuk. Dan pupuk, telah menjadi bahan dasar kebutuhan tanan padi yang sewaktu-waktu mendesak dibutuhkan," tutur dia.
Bupati Aceh Tenggara, Raidin Pinim pertengahan bulan ini telah meminta penambahan kuota pupuk urea bersubsidi 1.000 ton untuk disalurkan dalam waktu dekat ini.
Pihaknya juga kepada aparat terkait seperti Komisi Pengawasan Pupuk dan Pertisida (KP3), dan masyarakat setempat untuk penyaluran pupuk urea bersubsidi tersebut.
"Harus diawasi pendistribusian pupuk bersubsidi terutama di pedesaan. Mulai dari tingkat distributor sampai ke tingkat pengencer, agar petani Agara (Aceh Tenggara) tidak terancam gagal panen," tegas Raidin.