Banda Aceh (Antaranews Aceh) - Praksis demokrasi adalah kunci bagi usaha memakmurkan masyarakat secara adil, meskipun sampai saat ini belum semua negara yang menerapkan sistem politik tersebut sanggup mewujudkannya.
Para ahli teori pembangunan sepakat bahwa demokrasilah sistem yang paling ampuh dalam mengikis kekuatan-kekuatan korup di masyarakat yang merongrong usaha-usaha memakmurkan rakyat secara adil.
Berbagai cara dicoba untuk memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh. Lewat pendidikan formal, kurikulum dan buku-buku teks tentang bahaya korupsi disusun, lalu diajarkan di ruang-ruang kelas. Di ranah pendidikan keluarga, orang tua mengajarkan anak-anak untuk berperilaku jujur.
Tak kalah pentingnya adalah pembentukan badan-badan yang berfungsi mencegah korupsi merambah di berbagai sektor. Undang-undang anti- korupsi pun dilahirkan untuk membuat koruptor menerima konsekuensi atas perbuatan korup mereka.
Namun, seperti terlibat dalam praksis berbangsa dan bernegara di mana pun, korupsi tak henti-hentinya menyeruak, entah dilakukan oleh pejabat eksekutif, legislatif ataupun yudikatif.
Begitu juga yang terjadi di Tanah Air, korupsi masih terus terjadi meskipun berbagai upaya pencegahan dan penjerahannya sudah dilakukan. Namun, upaya untuk memberantas korupsi ternyata tak sepenuhnya mendapat tanggapan positif, setidaknya dari sebagian politikus yang lewat berbagai manuver politiknya justru berupaya memperlemah lembaga seperti Komisi Pemberantasan Koupsi (KPK).
Dalam satu dekade terakhir publik dapat menyaksikan bagaimana para politikus berusaha memperlemah kewenangan KPK dengan berbagai cara, yang akhirnya dapat dilawan oleh kekuatan sipil meskipun tak sepenuhnya berhasil.
Publik belum lupa bahwa para politisi di Partai Golongan Karya di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pernah gencar mewacanakan pembubaran KPK karena lembaga antirasuah itu dinilai sebagai badan ekstra yudisial, dan mengembalikan tugas-tugas pemberantasan korupsi kepada aparat hukum sebagaimana diamanatkan oleh trias politika, konsep orisinal negara demokrasi.
Politikus Partai Golkar mengabaikan bahwa Indonesia masih berada dalam situasi di mana para penegak hukum konvensional juga terbelit dalam pusaran korupsi dengan bukti-bukti terjadinya sejumlah operasi tangkap tangan oleh KPK di kalangan jaksa maupun hakim dalam kasus suap.
Upaya pelemahan KPK juga terus dicoba oleh kalangan legislator dari partai-partai politik dengan membentuk panitia khusus untuk mengurangi berbagai kewenangan KPK. Namun, berkat desakan publik dan dukungan para aktivis prodemokrasi, upaya pelemahan kewenangan KPK itu dapat diimbangi sehingga sampai saat ini eksistensi KPK masih dapat dipertahankan.
Sebenarnya ada satu kiat bagi publik yang bisa dimainkan dengan efektif dalam mendukung upaya perlawanan terhadap koruptor. Sistem politik demokratik juga memberikan ruang dalam memberantas korupsi.
Dalam konteks ini, publik yang mempunyai hak suara dalam menentukan figur-figur yang pantas menjadi wakil rakyat atau legislator di parlemen sepakat untuk memilih hanya orang-orang yang memperlihatkan rekam jejak yang bersih, demokratis dan berintegritas.
Di sinilah pentingnya peran aktivis prodemokrasi dalam memberikan literasi tentang siapa saja yang layak dipilih dalam pemilihan umum anggota legislatif. Pendidikan politik bagi pemilih pemula sangat penting karena tak semua warga negara yang berhak memilih, terutama kaum remaja pemilih pemula, punya informasi tentang calon-calon legislator yang bersih, demokratis, dan berintegritas.
Lembaga pendidikan bagi pemilih pemula yang didirikan oleh sejumlah pegiat demokrasi perus terus menyelenggarakan forum-forum pendidikan politik yang mencerahkan publik pemilih pemula. Ini penting karena sampai saat ini pun, terutama di kawasan pedesaan, para politikus yang berhasrat besar untuk melanggengkan kekuasaan mereka berjuang membujuk pemilih dengan cara-cara yang bisa dikategorikan sebagai politik uang.
Namun, dengan makin ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu, baik di pusat maupun di daerah, diperkirakan di masa depan praktik politik uang kian menghilang karena pertaruhannya cukup besar bagi karier politikus.
Kini menjelang Pileg dan Pilpres 2019, sebetulnya bisa dijadikan momen yang tepat bagi kandidat yang bertarung dalam ajang perebutan kuasa di parlemen maupun istana kepresidenan itu untuk memperlihatkan visinya tentang pemberantasan korupsi.
Pemilih akan mendukung kandidat legislator yang punya visi yang berpihak pada penyelamatan uang rakyat. Wakil rakyat yang punya tekad untuk merevisi UU Antikorupsi No 31 Tahun 1999 agar punya standar internasional sampai saat ini belum menonjol. Padahal inilah urgensi dalam pemberantasan rasuah di negeri ini.
Ketua KPK Agus Rahardjo saat peringatan Hari Antikorupsi Internasional 2018 mengatakan bahwa undang-undang anti korupsi di Tanah Air belum berstandar internasional sebagaimana dilihat dalam perspektif dan parameter Konvensi Antikorupsi Persatuan Bangsa-Bangsa.
Mengapa demikian, Salah satunya adalah bahwa UU No. 31 Tahun 1999 tentang Antikorupsi itu belum menyentuh korupsi di beberapa sektor seperti perdagangan pengaruh, pemulihan aset dalam upaya penelusuran, pengamanan, perampasan, pengembalian dan pemeliharaan aset negara.
Kandidat legislator yang punya visi dalam pemberantasan korupsi di masa depan perlu mengampanyekan pokok-pokok masalah yang belum disentuh oleh UU Antikorupsi di Tanah Air.
Tentu publik pemilih perlu juga waspada bahwa janji politik legislator belum menjamin perilakunya ketika dia terpilih sebagai wakil rakyat. Untuk itu, janji itu pun perlu dikonfrontasikan, disandingkan untuk dikomparasikan dengan rekam jejak si pembuat janji politik.
Demokrasi mengikis korupsi
Rabu, 12 Desember 2018 10:01 WIB