Meulaboh (Antaranews Aceh) - Produktivitas perkebunan kelapa sawit milik masyarakat di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya, Provinsi Aceh terus menurun seiring jatuhnya harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.
Seorang petani sawit Aceh Barat, Ibunu Sa`dan (56) di Meulaboh, Senin, mengatakan, kebun dimiliknya satu kali panen bisa berproduksi 1,5 ton/ hektare per 15 hari sekali panen, akan tetapi saat ini hanya dapat 400 kg sampai dengan 500 kg.
"Produksi buah sawit sangat tergantung pada pupuk, kalau diberikan pupuk secara rutin dua bulan satu kali atau empat bulan sekali, maka hasilnya bisa keluar 1,5 ton per hektar. Tapi saya selama tahun 2018 harga TBS jatuh, tidak pernah beri pupuk lagi," katanya.
Saat ini harga tampung TBS petani bertahan Rp750 per kilogram dan sudah berlangsung sepanjang 2018 sampai dengan Januari 2019, kondisi ini berdampak pada pendapatan petani sehingga mereka tidak mampu membeli pupuk untuk tanaman.
Ibnu Sa`dan, menyampaikan, dirinya saat ini memiliki lahan perkebunan sawit seluas 30 hektare di Gampong/ Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya dan semua tanamanya tersebut dalam umur produktif.
Selama tahun 2018 lalu, produksi sawitnya tidak memuaskan, karena hasil yang dipetik sudah sangat berkurang disebabkan tanaman sawitnya sudah tidak terawat, pasalnya petani yang hanya bermodal sendiri sudah tidak mampu membeli pupuk sendiri.
"Pada tahun 2017 harga sawit pernah kami jual sampai Rp1.500 per kilogram, tapi sejak 2018 sampai saat ini hanya Rp750 per kilogram, bahkan ada sampai Rp600 per kilo. Dampaknya saya otomatis mengurangi biaya semua beban pekerjaan," katanya.
Lebih lanjut disampaikan, meski pun harga TBS sudah turun lama, akan tetapi harga pupuk yang dibeli di pasar tidak sedikit pun turun, ini lah yang membuat petani merasa sangat tertekan dalam berusaha sektor pertanian itu.
Ibnu Sa`dan, menyampaikan, bahwa rata-rata pendapatan dari setiap panen TBSnya paling didapatkan Rp200/ kg - Rp300/ kg, sebab harus mengeluarkan biaya panen kepada tukang dodos sawit seharga Rp200/kg, belum lagi biaya pengangkutan.
Sementara untuk pembelian pupuk rata - rata Rp300.000/ zak isi 50 kg, sehingga setelah diperhitungkan dengan biaya pekerjaan dengan hasil perkebunan sudah tidak seimbang, malah merugi apabila perawatan berkala tetap dilakukan.
"Panen tetap berjalan, kasian juga kalau tidak dipanen bisa membusuk dan rontok sendiri. Kalau perusahaan mereka punya modal besar, sementara saya petani biasa modalnya terbatas, modal tergantung pada hasil kebun," keluhnya.
Petani berharap, pemerintah menyelamatkan petani sawit dengan menekan spekulasi harga, apalagi telah ada ketentuan menyangkut penetapan harga TBS. Petani merasa dirugikan, apalagi harga minyak mentah seperti monyak goreng curah di pasar stabil.
Ibnu Sa`dan, menyampaikan, sangat terasa aneh ketika harga jual minya mentah Crude Palm Oil (CPO) dunia masih stabil, demikian juga harga migor curah di pasar masih sama dengan harga dua tahun lalu, padahal berasal dari bahan baku yang sama.
"Harga minyak goreng di pasar tidak turun, malah naik terus, tapi kenapa harga sawit petani turun. Kita berharap pemerintah menaikkan kembali harga pembelian TBS petani kalau memang memihak kepada pelaku usaha pertanian," pungkasnya.
Produktivitas sawit menurun akibat jatuhnya harga di Aceh
Selasa, 15 Januari 2019 7:29 WIB