Redelong, Aceh (ANTARA) - Saat itu di tahun 1986, udara sejuk alam pegunungan Dataran Tinggi Gayo menyambut kehadiran sosok pemuda bertubuh ramping asal pulau Jawa yang untuk pertama kali menjejakkan kakinya di wilayah pedalaman Aceh, di rimba Burni Telong.
Pemuda itu baru saja menyandang gelar insinyurnya setelah menamatkan kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada Jogjakarta yang kemudian harus melanjutkan perjuangan hidupnya untuk bekerja di perantauan.
Dialah anak muda bernama Ir Joko Widodo. Sosok yang kemudian menjadi orang nomor satu di negeri ini, sebagai seorang pemimpin bangsa, menjadi Presiden ke 7 Republik Indonesia, hingga pada Pemilu 2019 kembali terpilih untuk melanjutkan pengabdiannya pada tanah air ibu pertiwi tercinta.
Siapa sangka pemuda itu; yang dulunya harus berjuang hidup di daerah pedalaman Aceh, kemudian menjelma sosok paling ternama di negeri ini sebagai seorang tokoh bangsa.
Banyak cerita dan kenangan yang ditinggalkannya untuk masyarakat di lingkungan ia bekerja selama kurun waktu dua tahun sejak 1986-1988 di wilayah yang dulunya adalah bagian dari Kabupaten Aceh Tengah sebelum adanya pemekaran melahirkan Kabupaten Bener Meriah.
Joko Widodo saat itu menetap di kawasan kaki pegunungan Burni Telong. Tak sendiri, dia pun ikut membawa sang istri Iriana yang baru saja dinikahinya di akhir Desember 1986.
Bagi umumnya masyarakat di sana yang dihuni oleh orang-orang suku Gayo sebagai penduduk asli, sosok Joko Widodo sudah dikenal sebagai pribadi yang sederhana dan ramah bergaul dengan siapa saja.
Di masa itu sebutan Jokowi sebagai sapaan akrab lelaki ini belum dikenal oleh masyarakat. Warga dan para sahabatnya disana memanggilnya Joko.
"Kalau kami dulu panggilnya Joko, pak Joko gitu," kata Soelistyo, salah seorang sahabat Jokowi di Bener Meriah.
Soelistyo menuturkan bahwa selama mengenal Jokowi muda semasa tinggal di Gayo, kepribadiannya tak jauh berbeda dengan sosok Jokowi yang kemudian dikenal banyak orang saat ini setelah menjadi Presiden RI.
Menurutnya sosok Jokowi sejak dulu memang dikenal sebagai pribadi yang sederhana, ramah, dan mudah bergaul dengan siapa saja.
"Dia orangnya memang sederhana, gak neko-neko orangnya," tutur Soelistyo.
Jokowi muda juga dikenal sebagai pribadi yang sangat menghormati orang tua. Karena itu dia pun punya ayah dan ibu angkat di tanah rantaunya itu.
Ayah angkatnya bernama Nurdin Aman Tursina. Hubungan kekeluargaan mereka masih terus berlanjut sampai Jokowi menjadi Presiden RI.
"Gak ada yang berubah dia, masih sama kayak dulu," kata Nurdin Aman Tursina.
Orang tua ini mengenang sosok Jokowi muda saat itu sebagai orang yang peduli sesama dan punya kepribadian sosial tinggi.
Nurdin menuturkan Jokowi pernah membantu pembangunan menasah desa di wilayah tempat tinggalnya.
"Kami dulu sedang bangun meunasah, dia langsung nyumbang. Dibelinya seng diantarnya langsung ke sana. Apa-apa yang kurang dia bantu. Sholat pun rajin dari dulu," tutur Nurdin.
Saat Jokowi ingat rumahnya di Gayo
"Saya tanya ke pak menteri, dimana rumah saya dulu? Mohon maaf pak sudah digusur," kata Jokowi menirukan percakapannya dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan saat menanyakan keberadaan rumah masa lalunya di Kabupaten Bener Meriah, Aceh.
Saat itu Jokowi selaku Presiden ke 7 RI sedang berada di Bener Meriah untuk meresmikan Bandara Rembele pada Rabu 2 Maret 2016.
"Mestinya kalau mau gusur rumah presiden itu izin, saya perbolehkan atau tidak. Ini izinnya baru pagi tadi," canda Jokowi disambut tawa para tamu undangan.
Rumah masa lalu Jokowi di daerah ini ada di kawasan kaki pegunungan Burni Telong yang sekarang masuk dalam wilayah pembangunan Bandara Rembele.
Ternyata rumah yang dimaksudnya itu telah digusur untuk pengembangan kawasan Bandara Kelas III tersebut yang akan diresmikannya hari itu.
"Tapi kalau untuk kepentingan umum dan sangat diperlukan oleh masyarakat, saya sampaikan silahkan," ucap Jokowi saat akan meresmikan Bandara Rembele.
Kehadiran kembali Joko Widodo di daerah berhawa sejuk itu setelah 25 tahun lamanya sejak 1988, memunculkan rasa haru bagi masyarakat di sana khususnya untuk para kerabat dan sahabat masa lalunya.
Dan pertemuannya dengan ayah dan ibu angkatnya di sana adalah hal yang paling mengharukan, ketika mereka kembali dipertemukan oleh takdir dalam suasana yang mungkin tak pernah disangka-sangka sebelumnya.
Sosok pemuda yang dulunya datang sebagai orang biasa ke daerah itu, lalu kembali sebagai seorang pemimpin besar di negeri ini.
Namun Jokowi tak pernah lupa dengan orang-orang yang pernah mengisi perjalanan hidupnya itu.
Selain agenda meresmikan operasional Bandara Rembele, Jokowi juga punya acara khusus untuk bertemu dengan para sahabat dan orangtua angkatnya di sana.
Jokowi menjamu mereka semua dalam sebuah acara makan siang di sebuah rumah makan di kawasan Simpang Tiga Redelong.
Ada sebanyak 20 orang sahabat masa lalunya yang berkumpul disana. Mereka kembali saling menyapa, bercerita, dan tak ketinggalan untuk foto bersama.
Hampir satu jam lamanya pertemuan itu berlangsung sebelum kemudian sang presiden harus kembali meninggalkan daerah itu untuk melanjutkan perjalanannya menunaikan agenda tugas lainnya.
Ada hal yang membekas bagi masyarakat Gayo dalam kunjungan Jokowi kala itu.
Sejak tiba di Bandara Rembele dan disambut dengan penyematan kain adat Gayo upuh ulen-ulen di pundaknya, Jokowi pun berkata bahwa dia adalah orang Gayo.
"Ini supaya meresapi lebih dalam bahwa saya ini orang Gayo," kata Jokowi menjelaskan tentang kenapa kain bersulam kerawang gayo itu masih terus dipakainya seusai acara penyambutan.
Masih banyak cerita dan kenangan tentunya yang akan terus diingat oleh masyarakat, sahabat, dan kerabat Jokowi di Gayo.
Jokowi mungkin menjadi inspirasi. Kesederhanaan hidupnya akan selalu diingat oleh orang-orang yang pernah dekat dengannya. Sosok yang kemudian menjadi pemimpin besar bangsa ini.
Ada harapan agar Jokowi dapat membawa kemajuan pembangunan bagi kampung halaman keduanya itu. Membawa kesejahteraan bagi masyarakat disana lewat pemerataan pembangunan.