Penguatan pidana bukan satu-satunya solusi melindungi perempuan dan anak
Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh nomor urut 2 Muzakir Manaf -Fadhlullah (Mualem-Dek Fadh) menyatakan bahwa penguatan hukum menjadi salah satu solusi terhadap upaya perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan seksual, termasuk kepada pelakunya.
Pernyataan itu muncul dalam debat publik pertama Pilkada 2024 yang berlangsung pada Jumat malam (25/10/2024). Saat mereka menjawab pertanyaan panelis tentang langkah konkret pasangan calon untuk memperkuat kebijakan perlindungan dan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual selama masa jabatan.
Mualem menegaskan bahwa terkait perlindungan perempuan dan anak, yang mestinya dilakukan adalah pemberian kepastian hukum dengan melibatkan semua pemangku kebijakan atau stakeholders. Dan pemberian hukuman yang setimpal kepada pelaku.
"Kalau kepastian hukum tidak pasti, tidak jelas, hanya cang panah mantoeng (hanya omong-omong saja). Pelaku harus ditindak dengan keras dan jelas. Hukumannya setimpal mungkin, itu yang harus kita perbuat," kata Mualem.
Baca juga: Paslon gubernur klaim anggaran PPA kurang maksimal di Aceh, benarkah?
Pernyataan itu kemudian juga dikuatkan dalam misi-misi mereka. Tertuang dalam program bidang pemerintahan, politik, dan hukum. Yaitu pada pembahasan masalah poin 4 disebutkan implementasi hukum belum terlaksana dengan baik.
Solusi yang ditawarkan pasangan ini terhadap masalah tersebut yakni ada di poin 7 tentang penguatan kelembagaan Mahkamah Syar'iyah (lembaga ini juga menyidangkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak).
Kemudian, pada poin ke 8 yang menegaskan bahwa mereka bakal mengupayakan pemenuhan hak dan perlindungan hukum bagi ibu dan anak.
Sebagai informasi, untuk permasalahan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh, telah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Kemudian, DPR Aceh melakukan upaya revisi qanun hukum jinayat tersebut sejak masuk dalam program legislasi daerah (Prolegda) prioritas 2022. Salah satu target utama perubahan itu adalah untuk memperberat hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual.
Namun, upaya revisi terhadap qanun hukum jinayat itu hingga hari ini belum dapat dilakukan pengesahan. Masalahnya, karena proses fasilitasi oleh Kemendagri belum mencapai hasil final.
Selain itu, sejauh ini, Aceh juga sudah memiliki tiga qanun lainnya yang membahas terkait pemberdayaan, perlindungan, hingga penyelenggaraan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Baca juga: Perempuan dan anak Aceh belum sepenuhnya terlindungi
Pemidanaan bukan satu-satunya solusi
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh menilai bahwa penguatan hukum pemidanaan bukan satu-satunya dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan (seksual maupun fisik) terhadap perempuan dan anak.
Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa mengatakan bahwa melindungi perempuan dan anak dari kekerasan memang ada banyak kebutuhan penguatan hukum. Tetapi, itu tidak bisa hanya dijawab dengan Qanun Jinayat semata.
Aceh, kata dia, sudah mempunyai beberapa peraturan yang bisa menjadi solusi perlindungan hukum bagi perempuan dan anak. Yaitu, Qanun Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak.
Kemudian, Qanun Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan. Lalu, ada Qanun Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.
Dirinya menyampaikan, pada dasarnya terkait dengan pemidanaan lewat penghukuman terhadap pelaku kekerasan seksual sesuai Qanun Hukum Jinayat memang penting dilakukan secara adil dan setimpal.
Tetapi, lanjut dia, pemidanaan pelaku hanya satu variabel saja, masih ada variabel lain, yakni perlindungan, pencegahan, aspek pemulihan bagi korban juga jangan ditinggalkan.
"Aspek pemidanaan itu penting, tetapi pemberatan hukuman bukan satu-satunya solusi. Tetapi juga butuh perlindungan dan pemulihan bagi korban," katanya.
Dirinya mencontohkan, ketika pelaku dihukum hingga 20 tahun penjara, maka itu berat dan juga dapat dinilai ada keadilan bagi korban, dan mungkin masyarakat juga puas.
Tetapi, korban tetap menjadi korban. Pernyataan kemudian, apa yang bisa didapatkan korban setelah hukuman diberikan kepada pelaku. Hal ini juga harus dijawab.
"Ini harus dijawab dari kebutuhan hukum itu, korban harus bisa dipulihkan. Penderitaan korban harus dijawab oleh struktur hukum kita. Jangan hanya berfikir untuk menghukum pelaku saja," pungkas Aulianda.
Baca juga: Menguji program Mualem-Dek Fadh untuk menjawab kebutuhan nelayan Aceh
Konten ini merupakan bagian dari program fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI).