Oleh Dr Ir Ricky Avenzora M.Sc.
Jakarta, 17/7 (Antara) - Beberapa tahap proses Pemilihan Umum Presiden 2014 telah dilalui, namun dinamika politik yang menyertainya berkecenderungan masih akan menimbulkan berbagai drama panjang yang bersifat sangat krusial dan mengandung bahaya laten.
Berbagai dinamika dalam proses Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) yang telah dilalui bukan hanya telah membuka mata bangsa Indonsia tentang bermacam "kenakalan" berbagai pihak selama ini melainkan juga telah semakin meruyak banyak luka lama dalam berbangsa dan bernegara, sedangkan berbagai dinamika yang harus dihadapi di masa depan juga tetap terus menganga semakin lebar untuk memangsa dan melumpuhkan kita sebagai suatu bangsa dan negara.
Jika dicermati dan renungkan berbagai proses yang telah terjadi selama masa Pilpres, maka barangkali kita semua akan bisa sepaham untuk mengatakan bahwa kita sepertinya belum akan bisa mendapatkan pemimpin bangsa yang benar-benar meyakinkan kita semua dan mampu mensejahterakan kita semua.
Salah calon pemimpin sematakah, atau ada juga andil kesalahan kita sebagai rakyat dari bangsa dan negara ini"
Jika ditelaah dengan tenang, proses Pilpres 2014 ternyata hanya menyuburkan tiga pola perilaku politik saja, yaitu (1) "politik adu domba" yang diwarnai oleh isu kampanye hitam atau "black campaign", (2) "politik santun jilid dua" yang didominasi oleh sikap-sikap superlatif yang sinis dan terlalu percaya diri, serta (3) "politik kolaboratif" yang diimplementasikan dalam dua cara yang berbeda, yaitu "politik kolaboratif transaksional terbuka" yang dimainkan oleh kubu Prabowo-Hatta dan "politik kolaboratif transaksional tertutup" yang dimainkan oleh kubu Jokowi-JK.
Dalam mencermati "politik adu domba", maka kita semua perlu menyadari bahwa perilaku "black campaign" tersebut adalah bukan saja potensial untuk dilakukan oleh kedua kubu yang sedang bersaing, melainkan juga sangat potensial untuk dilakukan oleh pihak ketiga yang memang sengaja dan bertujuan untuk melemahkan dan/atau menghancurkan bangsa dan negara Indonesia.
Dalam konteks "positif thinking", kita semua harus berfikir bahwa akan menjadi terlalu bodoh kalau Probowo-Hatta dan Jokowi-JK secara sadar memerintahkan dan membiarkan kelompoknya untuk memainkan "politik adu domba", namun demikian sebaliknya Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK juga tidak bisa terlalu mudah untuk meyakinkan kita semua bahwa kubu mereka masing-masing bersih dari permainan "kotor" tersebut.
Selama kedua kubu tidak mampu menunjukkan pada kita semua tentang SOP beserta sistem kontrol kampanye mereka, maka kedua kubu pun tidak boleh marah kepada kita semua atas berbagai prasangka yang dilemparkan pada mereka masing-masing.
Adanya pihak ketiga yang memainkan "politik adu domba" untuk tujuan melemahkan dan/atau menghancurkan bangsa dan negara kita barangkali perlu untuk dibahas agak panjang.
Sebagai salah satu "the richest country in the world" tentunya mudah untuk dipahami bahwa banyak bangsa asing yang sangat bernafsu untuk menguasai negeri dan bangsa kita ini melalui berbagai cara.
Tanpa harus membuka luka lama, apa pun juga kita semua tidak boleh lupa bahwa sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia pernah dijajah oleh bangsa asing berabad-abad lamanya, sedangkan setelah kemerdekaan pun Indonesia pernah dibuat susah serta coba didikte dan bahkan dihina berkali-kali hingga saat ini oleh berbagai bangsa lain, termasuk oleh berbagai negara tetangga yang mestinya menjadi sahabat setia.
Jika sebelum abad ke-20 kolonialisme adalah dimulai dengan bentuk penguasaan wilayah, maka pada abad 20 kolonialisme adalah dimulai dengan penguasaan teknologi dan ekonomi, sedangkan dalam abad 21 ini kolonialisme akan menjelma dalam bentuk kekuatan yang lebih masif, yaitu ekonomi, teknologi, "mindset" dan wilayah secara bersamaan.
Mari diingat bagaimana sejarah VOC menjadi cikal bakal penjajahan Belanda terhadap Indonesia, lalu coba telusuri serta maknai berbagai konsesi asing yang telah mengusai sebagian besar sumber-sumber daya Indonesia saat ini, selain migas dan bahan tambang maka cermati jugalah telekomunikasi, automotif, perbankan, pendidikan dan pariwisata.
Kemudian mari cermati proses "cuci otak" yang dimainkan berbagai kelompok media terhadap generasi muda Indonesia. Bukan hanya setali tiga uang dengan pola VOC, melainkan penguasaan sektor, aspek dan distribusi ruang yang dikuasainya jauh lebih masif dan laten, bukan"
Politik Santun
Hadirnya "Politik Santun Jilid II" perlu dicermati dan maknai bukan saja karena telah ditirunya pola-pola "Politik Santun Jilid I" yang cenderung diasosiasikan masyarakat dengan Presiden SBY dan Partai Demokratnya, melainkan juga adalah karena agresifitas "Politik Santun Jilid II" yang dimainkan oleh Kubu Jokowi-JK.
Jika "Politik Santun Jilid I" cenderung dominan dimainkan dengan pola "indah kabar dari pada rupa", maka dalam "Politik Santun Jilid II" Jokowi-JK ingin membangun image (citra) dan mengklaim diri sebagai pemimpin yang "merakyat" dan "cepat-kaki ringan-tangan", tapi di sisi lain kita semua menjadi saksi betapa sinisnya air muka dan gaya bahasa yang dipakai oleh kelompok Jokowi-Jk selama masa berkampanye, serta betapa superlatifnya retorika kampanye yang mereka suarakan, seakan-akan mereka adalah kelompok tanpa "catatan kenakalan" atau pun tanpa "catatan kekhilafan" dan tanpa berkekurangan.
Saking agresifnya dan merasa superlatifnya, kita semua telah menjadi saksi betapa JK (sebagai seorang politisi senior dan mantan Wapres negara ini) telah secara vulgar merendahkan kelompok lawannya dengan isu "gerombolan-mafia" pada saat debat Capres.
Di satu sisi, keagresifan JK adalah sesuatu yang sangat perlu kita semua sayangkan, tapi di sisi lain kita semua juga tidak melihat optimalnya "kecerdasan-diplomasi" dan "kecerdasan-politik" Prabowo dalam menjawab kevulgaran JK tersebut.
Yang kita lihat saat itu adalah Probowo (yang diisukan lawan politiknya sebagai individu yang bersifat emosional dan tempramental) ternyata jauh lebih dewasa dari seorang JK yang sesungguhnya berumur jauh lebih tua dan lebih berpengalaman pula.
Kedewasaan bahasa politik kubu Prabowo-Hatta tersebut nampaknya bukanlah "artificial-identity" kubu mereka, yaitu sejalan dengan konsistennya mereka mengartikulasikan retorika kampanye mereka secara proporsional selama masa kampanye.
Meskipun "politik-kolaboratif-transaksional" telah kita kritik habis-habisan semenjak reformasi, namun pilihan langkah politik kubu Prabowo-Hatta untuk melakukan Koalisi Permanen Merah Putih dengan dasar transaksional (seperti yang diberitakan berbagai media) secara terbuka adalah sesuatu yang secara objektif harus dikatakan sangat-sangat menyesakkan dada kita semua.
Di satu sisi barangkali bisa kita pahami bahwa langkah tersebut memang adalah langkah yang efektif untuk "menjaring" calon kawan untuk mau segera berkolaborasi dengan pihak Prabowo, namun di sisi lain bangsa ini menangis tersedu sedan atas masih suburnya pemikiran transaksional itu di tengah-tengah "Taipan Politik" yang membentuk Koalisi Permanen Merah Putih tersebut.
Jika para "Taipan Politik" saja masih memainkan "jurus" tidak terpuji tersebut saat ini, maka "jurus-politik" apa lagi yang akan bisa dipelajari oleh generasi penerus dari para "Taipan" tersebut sebelum mereka uzur nantinya.
Di satu sisi, tidak bisa ditolak jika ada anggota masyarakat yang berkesimpulan bahwa langkah politik-transaksional Prabowo telah mencederai semangat visioner dan nasionalisme yang beliau kobarkan.
Jika para "Taipan Politik" saja cenderung lebih memetingkan kelompok mereka masing-masing, maka tentu tidak aneh kalau kemudian ada bangsa lain yang juga ingin dapat "kue" yang diperebutkan itu, bukan"
Namun di sisi lain, kejujuran Prabowo untuk membuat transaksi terbuka adalah perlu juga kita hargai, setidak-tidaknya dengan keterbukaan tersebut maka kita bisa memberi "input" secara terbuka pula.
Kejujuran politik-transaksional tersebut menjadi penting dan berarti ketika harus kita sandingkan dengan retorika kampanye "politik kolaborasi-tanpa syarat" yang dengan "angkuhnya" digaungkan oleh kubu Megawati-Jokowi-JK.
Ada tiga pertanyaan penting yang harus dijawab sebelum secara objektif kita bisa mempercayai bahwa benar terjadi "politik-kolaborasi-tanpa syarat", yaitu: (1) Apakah ada kolaborasi politik tanpa berbagi kekuasaan" (2) Apakah Megawati-Jokowi begitu kuatnya sehingga Nasdem, Hanura, PKB dan seorang JK pun mau "menghambakan diri" kepada Megawati dan Jokowi" (3) Apakah Nasdem, Hanura dan PKB serta seorang JK begitu lemahnya sehingga mau disuruh berlaku "ndhodhok" oleh Megawati dan Jokowi"
Jika satu saja dari tiga pertanyaan di atas mempunyai jawaban "tidak" maka akan sangat sulit bagi kita semua untuk bisa mempercayai "kolaborasi tanpa syarat" tersebut, bukan"
Atas hal itu, maka menjadi sulit bagi Kubu Jokowi-JK untuk menyalahkan jika ada anggota masyarakat yang menilai bahwa retorika kampanye "kolaborasi tanpa syarat" tersebut sesungguhnya hanyalah merupakan suatu proses pencitraan belaka, yang kemudian bukan hanya menjadi krusial karena telah melakukan "kebohongan publik", melainkan juga menjadi sangat berbahaya karena adanya motif "otoriter" yang tersembunyi (seperti politik anggaran yang akan diterapkan oleh Jokowi terhadap daerah otonomi).
Hingga di sini, selain pembelajaran dinamika politik yang bisa kita coba cerna sebagai masyarakat umum, maka ada satu pertanyaan besar yang perlu kita cuatkan bersama, yaitu: "Kapankah Bangsa dan Negara Kita Akan Benar-benar Sadar Untuk Benar-Benar Mulai Mencintai dan Membangun Bangsa dan Negara ini""
Ketika "kunci gerbang" pasar bebas sudah terbuka dan saat ini gerbangnya pun sudah harus mulai digeser agar terbuka lebar mulai Januari 2015 nanti mengapa kita semua masih harus menelan pil-pahit bernegara dan berbangsa seperti paparan di atas"
Di satu sisi, kubu calon pemimpin yang visioner seperti "kekurangan akal" untuk membangun kolaborasi, sedangkan di sisi lain kubu calon pemimpin yang ingin memiliki image "kerakyatan" ternyata hanya menampakan "artificial identity" belaka, yang selama kampanye malah sering terindikasikan memiliki sikap "serigala berbulu domba".
Dosa dan khilaf apa yang telah turun temurun dilakukan oleh bangsa kita ini, sehingga persoalan dan permasalahan yang dihadapi semakin berlarut-larut dan kompleks"
Mengapa setelah sekian lama merdeka dan semakin banyak anak bangsa yang terdidik malah kita semua masih saja harus bersikap dan bertindak seperti pil pahit di atas"
Tidakkah kita semua perlu bersatu untuk bahu membahu membangun bangsa dan negara kita tercinta ini secara sungguh-sungguh"
Jika iya, maka nampaknya semua kebodohan kita bersama selama ini hanya akan bisa kita hentikan dan perbaiki kalau kita mau dan mampu melakukan "rekonsiliasi nasional" secara baik dan benar, jujur dan ikhlas serta sesegera mungkin. Tanpa itu, maka persoalan berbangsa dan bernegara setiap hari akan semakin carut marut dan menyebabkan saling cakar-mencakar di antara kita pun akan sulit terhindari.
Para politikus akan cenderung terus "memakai topeng" dan membuat kebohongan publik, para birokrat akan terus menjadi "rayap" yang menghancurkan bangunan rumahnya sendiri, sedangkan para teknokrat akan terus sombong dan menjadi "salesman" dari teknologi yang mereka banggakan.
Adapun para akademisi senior akan terus berlagak bijak tanpa kejelasan sikap dan keberanian bertindak, para akademisi muda (mahasiswa) akan terus terombang-ambing, tercuci rasa nasionalismenya oleh jargon ilmu pengetahuan yang dicekokan berbagi buku dan kemudian menjadi pion "perang politik" belaka, adapun para pengusaha akan terus merasa tidak ada kepastian dan cenderung menumpuk kekayaan hingga tujuh turunan sesegera mungkin dengan berbagai cara.
Demikian juga para PNS akan terus "diteres" (disayat agar kering dan mati pelan-pelan), sama hal nya dengan tentara dan polisi serta hakim dan jaksa yang terus didorong untuk terpaksa menjadi "pagar makan tanaman", sedangkan para buruh dan petani serta rakyat jelata akan terus diperlakukan tidak lebih berharga dari sekedar alas kaki.
Semua itu akan menjadikan bangsa lain semakin mudah serta leluasa untuk menjajah bangsa dan negara Indonesia ini.
Jika pemikiran-pemikiran di atas ada benarnya dan masuk di akal kita semua, maka barangkali perlu bagi kita untuk berfikir serius serta objektif untuk segera memulai suatu proses "rekonsiliasi nasional" sekarang juga.
Untuk itu, maka dalam tulisan selanjutnya kami akan mencoba mengajak pembaca untuk memikirkan beberapa dinamika penting berbangsa dan bernegara selama ini yang perlu dikenali dan maknai agar kita bisa melakukan "rekonsiliasi nasional" secara baik dan benar, serta jujur dan ikhlas, yang akan dituangkan dalam tajuk tulisan "Rekonsiliasi Nasional: Khilaf Politik Yang Harus Diperbaiki".
*)Penulis adalah salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Rekonsiliasi Nasional Suatu Kebutuhan
Kamis, 17 Juli 2014 14:54 WIB