Tapaktuan, 16/2 (ANTARA Aceh) - Mayfendri SE, pria kelahiran Banda Aceh 31 Mei 1976 ini, terus membuktikan pengabdiannya untuk urusan kemanusian di Satuan Tugas (Satgas) Search and Rescue (SAR) Aceh Selatan.
Dalam bekerja memberikan pertolongan kepada masyarakat korban bencana, dia tidak mengenal waktu dan cuaca. Apakah saat tengah malam atau saat hujan turun serta badai, jika sudah mendapat laporan terjadi bencana lama, dia bersama sejumlah personil SAR setempat langsung bergerak ke titik lokasi kejadian.
Dalam kesempatan perbincangan di Kantor Satgas SAR Tapaktuan, Senin (16/2), Mayfendri mengungkapkan, Satgas SAR Aceh Selatan mulai berdiri di Tapaktuan pada tahun 2010 lalu.
Tercetusnya pembentukan Satgas SAR di Aceh Selatan, ujarnya, bermula dari kejadian hanyutnya seorang warga di seputaran laut belakang Pos Gardu Lantas Tapaktuan dalam tahun 2010.
Saat terjadi kejadian itu, kata Mayfendri, warga masyarakat termasuk Pemkab Aceh Selatan dan aparat Kepolisian merasa kesulitan karena tidak ada sumber daya manusia yang khusus membidangi terkait pencarian korban tersebut.
Sehingga tercetuslah ide atau gagasan dari pihaknya untuk membentuk Kantor Satgas SAR di Aceh Selatan. Dengan perlengkapan seadanya serta menempati bangunan bekas Rumah Potong Hewan yang di sulap menjadi Kantor Satgas SAR, kerja-kerja penanganan korban bencana akhirnya dapat di lakukan.
Saat awal-awal pembentukan Kantor Satgas SAR, kata Mayfendri, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Selatan belum meyakini dan masih meragukan eksistensi Satgas SAR dalam memberikan bantuan terhadap korban bencana di daerah itu.
Bahkan, sambung Mayfendri, karena keberadaan Satgas SAR belum diakui, dapat dipastikan aktivitas operasional Satgas SAR Aceh Selatan sejak awal-awal dibuka tahun 2010 sampai 2011 tanpa suntikan dana dari Pemkab Aceh Selatan.
Meskipun demikian, tegasnya, pada tahun 2010 Satgas SAR Aceh Selatan berhasil memberikan bantuan terhadap 17 kejadian mulai dari pertolongan mengevakuasi orang hilang di hutan, orang tenggelam di laut dan tenggelam di sungai, sampai bantuan untuk kebakaran, tanah longsor, piket siaga lebaran, serta pengawalan mahasiswa survey di hutan.
Sedangkan pada tahun 2011, sambungnya, meskipun tanpa bantuan anggaran dari Pemkab Aceh Selatan, namun pihaknya juga telah berhasil memberikan pertolongan terhadap 14 kasus kejadian yang terjadi sepanjang tahun itu, mulai dari memberikan pertolongan pencarian petani hilang di hutan, kebakaran, evakuasi korban longsor di tambang Menggamat, evakuasi banjir, piket siaga lebaran, pencarian dan evakuasi korban tenggelam di sungai dan laut, pengawalan even surfing, serta melakukan pengamanan pantai saat hari-hari libur.
Setelah melihat eksistensi kerja Satgas SAR selama dua tahun itu, baru perhatian Pemkab dan masyarakat Aceh Selatan mulai mempedulikan keberadaan Satgas SAR di daerah itu. Setelah melihat peran besar Satgas SAR dalam memberikan bantuan di saat terjadi musibah atau bencana alam, baru Pemkab dan masyarakat Aceh Selatan mengakui keberadaan serta telah merasa membutuhkan Satgas SAR.
“Baru setelah itu kucuran anggaran dari Pemkab Aceh Selatan untuk Satgas SAR sumber APBK, kami terima pada tahun 2012. Itu pun hanya sebesar Rp50 juta. Seluruh anggaran itu kami pergunakan untuk membeli alat-alat selam dan peralatan penunjang lainnya,†ucap Mayfendri.
Dia mengakui, sejak tahun 2012 sampai 2015 suntikan dana sumber APBK terus mereka terima dari Pemkab Aceh Selatan. Namun menurutnya, besaran anggaran yang diberikan tergolong sangat kecil dan tidak sebanding dengan kebutuhan anggaran yang diperlukan Satgas SAR.
“Dalam operasional sehari-hari, terkadang kami terpaksa harus mengirit biaya termasuk biaya makan anggota, demi untuk mencukupi kebutuhan anggaran pengadaan peralatan untuk mendukung operasional Satgas SAR,†ujarnya.
Menurutnya, peralatan yang masih kurang sampai saat ini antara lain adalah alat navigasi tebing, kapal patroli laut serta peralatan medis. Karena itu, pihaknya berharap kepada Pemkab Aceh Selatan agar ke depannya lebih memperhatikan kebutuhan anggaran Satgas SAR Aceh Selatan, sehingga tugas kerja memberikan bantuan kepada korban bencana alam dapat lebih maksimal.
Di samping itu, pihaknya juga meminta kepada Badan SAR Nasional (Basarnas) di Jakarta, segera meningkatkan status Satgas SAR Aceh Selatan menjadi Kantor Pos Basarnas Aceh Selatan.
Sebab, kata Mayfendri, Satgas SAR Aceh Selatan ditingkatkan statusnya menjadi Kantor Pos sudah memenuhi syarat yakni berdasarkan perhitungan letak geografis Aceh Selatan sebagai daerah rawan bencana di Provinsi Aceh.
Selain itu, letak Aceh Selatan yang dapat membawahi beberapa Satgas SAR di beberapa kabupaten/kota di pantai barat selatan Aceh seperti Kabupaten Aceh Barat Daya, Pemko Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil.
Dalam bekerja memberikan pertolongan kepada masyarakat korban bencana, dia tidak mengenal waktu dan cuaca. Apakah saat tengah malam atau saat hujan turun serta badai, jika sudah mendapat laporan terjadi bencana lama, dia bersama sejumlah personil SAR setempat langsung bergerak ke titik lokasi kejadian.
Dalam kesempatan perbincangan di Kantor Satgas SAR Tapaktuan, Senin (16/2), Mayfendri mengungkapkan, Satgas SAR Aceh Selatan mulai berdiri di Tapaktuan pada tahun 2010 lalu.
Tercetusnya pembentukan Satgas SAR di Aceh Selatan, ujarnya, bermula dari kejadian hanyutnya seorang warga di seputaran laut belakang Pos Gardu Lantas Tapaktuan dalam tahun 2010.
Saat terjadi kejadian itu, kata Mayfendri, warga masyarakat termasuk Pemkab Aceh Selatan dan aparat Kepolisian merasa kesulitan karena tidak ada sumber daya manusia yang khusus membidangi terkait pencarian korban tersebut.
Sehingga tercetuslah ide atau gagasan dari pihaknya untuk membentuk Kantor Satgas SAR di Aceh Selatan. Dengan perlengkapan seadanya serta menempati bangunan bekas Rumah Potong Hewan yang di sulap menjadi Kantor Satgas SAR, kerja-kerja penanganan korban bencana akhirnya dapat di lakukan.
Saat awal-awal pembentukan Kantor Satgas SAR, kata Mayfendri, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Selatan belum meyakini dan masih meragukan eksistensi Satgas SAR dalam memberikan bantuan terhadap korban bencana di daerah itu.
Bahkan, sambung Mayfendri, karena keberadaan Satgas SAR belum diakui, dapat dipastikan aktivitas operasional Satgas SAR Aceh Selatan sejak awal-awal dibuka tahun 2010 sampai 2011 tanpa suntikan dana dari Pemkab Aceh Selatan.
Meskipun demikian, tegasnya, pada tahun 2010 Satgas SAR Aceh Selatan berhasil memberikan bantuan terhadap 17 kejadian mulai dari pertolongan mengevakuasi orang hilang di hutan, orang tenggelam di laut dan tenggelam di sungai, sampai bantuan untuk kebakaran, tanah longsor, piket siaga lebaran, serta pengawalan mahasiswa survey di hutan.
Sedangkan pada tahun 2011, sambungnya, meskipun tanpa bantuan anggaran dari Pemkab Aceh Selatan, namun pihaknya juga telah berhasil memberikan pertolongan terhadap 14 kasus kejadian yang terjadi sepanjang tahun itu, mulai dari memberikan pertolongan pencarian petani hilang di hutan, kebakaran, evakuasi korban longsor di tambang Menggamat, evakuasi banjir, piket siaga lebaran, pencarian dan evakuasi korban tenggelam di sungai dan laut, pengawalan even surfing, serta melakukan pengamanan pantai saat hari-hari libur.
Setelah melihat eksistensi kerja Satgas SAR selama dua tahun itu, baru perhatian Pemkab dan masyarakat Aceh Selatan mulai mempedulikan keberadaan Satgas SAR di daerah itu. Setelah melihat peran besar Satgas SAR dalam memberikan bantuan di saat terjadi musibah atau bencana alam, baru Pemkab dan masyarakat Aceh Selatan mengakui keberadaan serta telah merasa membutuhkan Satgas SAR.
“Baru setelah itu kucuran anggaran dari Pemkab Aceh Selatan untuk Satgas SAR sumber APBK, kami terima pada tahun 2012. Itu pun hanya sebesar Rp50 juta. Seluruh anggaran itu kami pergunakan untuk membeli alat-alat selam dan peralatan penunjang lainnya,†ucap Mayfendri.
Dia mengakui, sejak tahun 2012 sampai 2015 suntikan dana sumber APBK terus mereka terima dari Pemkab Aceh Selatan. Namun menurutnya, besaran anggaran yang diberikan tergolong sangat kecil dan tidak sebanding dengan kebutuhan anggaran yang diperlukan Satgas SAR.
“Dalam operasional sehari-hari, terkadang kami terpaksa harus mengirit biaya termasuk biaya makan anggota, demi untuk mencukupi kebutuhan anggaran pengadaan peralatan untuk mendukung operasional Satgas SAR,†ujarnya.
Menurutnya, peralatan yang masih kurang sampai saat ini antara lain adalah alat navigasi tebing, kapal patroli laut serta peralatan medis. Karena itu, pihaknya berharap kepada Pemkab Aceh Selatan agar ke depannya lebih memperhatikan kebutuhan anggaran Satgas SAR Aceh Selatan, sehingga tugas kerja memberikan bantuan kepada korban bencana alam dapat lebih maksimal.
Di samping itu, pihaknya juga meminta kepada Badan SAR Nasional (Basarnas) di Jakarta, segera meningkatkan status Satgas SAR Aceh Selatan menjadi Kantor Pos Basarnas Aceh Selatan.
Sebab, kata Mayfendri, Satgas SAR Aceh Selatan ditingkatkan statusnya menjadi Kantor Pos sudah memenuhi syarat yakni berdasarkan perhitungan letak geografis Aceh Selatan sebagai daerah rawan bencana di Provinsi Aceh.
Selain itu, letak Aceh Selatan yang dapat membawahi beberapa Satgas SAR di beberapa kabupaten/kota di pantai barat selatan Aceh seperti Kabupaten Aceh Barat Daya, Pemko Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil.