Banda Aceh (ANTARA Aceh) - Dalam pekan-pekan terakhir ini isu tragedi Rohingya menyentakkan dunia Internasional. Setelah berbulan-bulan terombang-ambing ditengah ganasnya ombak lautan Selat Malaka, menyusul sebelumnya ditolak Malasyia dan Indonesia sendiri pada awalnya dipandang sebelah mata, bahwa Rohingya hanya menambah beban yang bisa memunculkan permasalahan sosial baru bagi kedua negara penganut Muslim terbesar di Asia Tenggara, ini.
Di sinilah ujian bermula terhadap kita selaku mu’min yang berhuni di negeri mayoritas penganut Islam. Bisakah kita menjadi muslim sejati yang utuh dalam mengenyam suka duka, dapatkah tubuh kita merasakan sakit karena saudara seiman dimana bagian tubuhnya kesakitan sihingga mulutnya secara spontan keluar suara mengaduh.
Memang, Aceh bisa disebut pahlawan. Atas kesiagaan, kesukarelaan dan penuh kasih sayang rakyat Aceh bersama pemerintahannya telah menunjukkan empati sedianya menampung dan berkenan memberikan fasilitas tempat tinggal di kamp-kamp pengungsian serta memberi makan minum bagi Muslim Rohingya, setelah sebelumnya lapar dan dahaga panjang di tengah lautan hingga tak sedikit mereka menemui ajalnya.
Belum ada data pasti jumlah mereka yang mati dan kemudian terpaksa ditanam ke dasar punggung Selat Malaka. Diperkirakan ada seratusan dari 8.000 Muslim Rohingya yang terusir oleh kekejaman junta militer Myanmar ini mati mengenaskan sejak mereka menjadi manusia perahu di teritorial laut Malasyia-Indonesia.
Muslim Rohingya terusir dari tanahnya sendiri, kendati jauh sebelumnya Myanmar ada dimana mereka hidup rukun. Walau dalam kondisi miskin, tapi mereka kenan hidup berdampingan dengan penduduk mayoritas Budha sejak abad 7 Masehi. Namun, apa lacur penguasa Myanmar lewat tangan-tangan serdadu dan rakyat Budhanya itu dengan bengis, kejam dan keji secara serampangan melakukan genosida.
Pembunuhan massal dengan berbagai modus yang kejam itu kentara sekali dilakukan sejak 1940-an. Ketika Burma merdeka tahun 1948. Sejak itu Myanmar (Burma) mengeyampingkan keberadaan etnis Rohingya, bahkan membunuhnya. Tak sedikit anak-anak disiksa, sementara kaum perempuan diperkosa selanjutnya tewas. Pembunuhan secara massal tak terendus samasekali, apalagi diam diri dan bungkam media di sana.
Berdasarkan fakta sejarah Muslim Rohingya yang berjumlah 1 hingga 3 juta jiwa, memang, tidak sendiri. Banyak muslim dari negara tetangga Myanmar lainnya, seperti Banglades dan Thailand, bahkan Muslim Burma itu sendiri hidup berdampingan di Arakan, salah satu provinsi di Myanmar, menjadi bulan-bulanan penguasa di sana.
Pengusiran
Kemurkaan Pemerintah Myanmar sungguh tak beralasan. Kebiadaban junta militer Myanmar luar biasa. Hanya karena etnis Rohingya ingin mewujudkan hajat hidupnya yang hakiki. Muslim di sana, hanya membutuhkan adanya pengakuan negaranya atas status sipilnya dan punya kebebasan sebaimana hak-hak warga-umat Budha lainnya.
Rohingya butuh pernikahan seiman, bisa melahirkan anak-anak dan bebas dari perbudakan. Dapat bersekolah dan fasilitas kesehatan serta keadilan serupa sebagaimana perlakuan warga lainnya. Namun, apa dinyana; lagi-lagi etnis Rohingnya dibunuh dan diperkosa. Sisa dari mereka (etnis Rohingya) diusir paksa dan melarikan diri meninggalkan tanah kelahirannya.
Sejak setahun terakhir mereka angkat kaki ke negara tetangga khususnya Malasyia dan Indonesia. Dua negara ini mulanya bersikap apriori juga dengan tegas menolak kehadiran Rohingya, ogah menjadi negara ke tiga. Kendati kedua negara ini tidak termasuk dalam negara ratifikasi dunia terkait pengungsian, namun dalam hubungan physikologis dan nilai-nilai kemanusian seyogyanya Indonesia-Malaysia secara spontan bisa terketuk pintu hatinya untuk menerima muslim ini sebagai bagian dari tubuhnya yang seiman dan seagama.
Bukan malah mengusir, secara tak langsung melalui tangan militernya di angkatan laut yang mengarahkan moncong bedil serta meriam ke arah perahu dan kapal Rohingya yang nyaris karam akibat kelebihan muatan di lauatan lepas.
Malaysia secara terang-terangan menentang “manusia perahu†ini untuk berpijak di semenanjung itu. Bahkan, beberapa kabar tersiar otoritas setempat hanya memberikan beras sebagai bekal bagi etnis Rohingya dalam mengarungi ganasnya Samudra hingga berbulan lamanya.
Nah, begitu pula dengan pemerintah Republik Indonesia yang awalnya kekeh menolak kehadiran kaum imigran Myanmar itu. Penolakan keras datang dari angakatan bersenjata yang acap kali mengusir etnis minoritas itu dari batas perairan Nusantara. Skeptisme Indonesia dan Malaysia telah melukai hati dan perasaan umat Islam khususnya yang berdomisili di bumi Serambi Mekkah dengan spontanitas menerima-menyelamatkan Muslim Rohingya.
Penanganan
Laporan terakhir seribuan etnis Rohingya telah mendarat di Aceh, di sejumlah titik pesisir Kuala Cangkoi Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara dan Kuala Langsa serta Tamiang. Terakhir di Julok, Aceh Timur dan pesisir Pangkalan Susu Kabupaten Langkat, Sumatera Utaras.
Penanganan warga Aceh lewat pemerintahannya dengan menyalurkan berbagai jenis bantuan logistik, sandang pangan dan obat-obatan telah memberikan sedikit rasa nyaman walau belum bisa dikatakan aman. Ini, sekaligus menciptakan rasa simpatik masyarakat dunia Internasional.
Keterlibatan Indonesia, Malaysia dan Thailand, kemarin, dalam penanganan imigran ini di meja runding di Putra Jaya, Malaysia hanya menampung selama setahun. Setelah itu dideportasi ke negara asalnya. Tapi, bagaimanan waktu berikutnya nasib imigran dimaksud.
Jika sikap Pemerintah Myanmar itu sendiri tidak bisa dipastikan pihak PBB yang hingga saat ini belum menunjukkan taring sesungguhnya. Di mana UNHCR sebagai pihak paling bertanggung jawab untuk mengurus dan menfasilitasi pengungsi antarbangsa, ini juga masih terkesan melempem.
Sebagaimana tawaran guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, selayaknya etnis Rohingya ini ditempatkan di salah satu pulau bebas penghuni di wilayah RI dan tidak berbaur dengan penduduk setempat, sehingga mudah discrening dan diawasi, sebelum adanya negara ketiga yang menerim mereka.
Kendati Wapres Jusuf Kalla telah mengeluarkan statement; Indonesia tampung semua pengungsi Rohingya. Namun, sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda realisasi. Jika realisasi ini masih terlalu lama maka semakin memperburuk kondisi dan keselamatan manusia perahu itu. Lantas, dimanakah kita selaku umat seiman dan seagama.
Di sinilah ujian bermula terhadap kita selaku mu’min yang berhuni di negeri mayoritas penganut Islam. Bisakah kita menjadi muslim sejati yang utuh dalam mengenyam suka duka, dapatkah tubuh kita merasakan sakit karena saudara seiman dimana bagian tubuhnya kesakitan sihingga mulutnya secara spontan keluar suara mengaduh.
Memang, Aceh bisa disebut pahlawan. Atas kesiagaan, kesukarelaan dan penuh kasih sayang rakyat Aceh bersama pemerintahannya telah menunjukkan empati sedianya menampung dan berkenan memberikan fasilitas tempat tinggal di kamp-kamp pengungsian serta memberi makan minum bagi Muslim Rohingya, setelah sebelumnya lapar dan dahaga panjang di tengah lautan hingga tak sedikit mereka menemui ajalnya.
Belum ada data pasti jumlah mereka yang mati dan kemudian terpaksa ditanam ke dasar punggung Selat Malaka. Diperkirakan ada seratusan dari 8.000 Muslim Rohingya yang terusir oleh kekejaman junta militer Myanmar ini mati mengenaskan sejak mereka menjadi manusia perahu di teritorial laut Malasyia-Indonesia.
Muslim Rohingya terusir dari tanahnya sendiri, kendati jauh sebelumnya Myanmar ada dimana mereka hidup rukun. Walau dalam kondisi miskin, tapi mereka kenan hidup berdampingan dengan penduduk mayoritas Budha sejak abad 7 Masehi. Namun, apa lacur penguasa Myanmar lewat tangan-tangan serdadu dan rakyat Budhanya itu dengan bengis, kejam dan keji secara serampangan melakukan genosida.
Pembunuhan massal dengan berbagai modus yang kejam itu kentara sekali dilakukan sejak 1940-an. Ketika Burma merdeka tahun 1948. Sejak itu Myanmar (Burma) mengeyampingkan keberadaan etnis Rohingya, bahkan membunuhnya. Tak sedikit anak-anak disiksa, sementara kaum perempuan diperkosa selanjutnya tewas. Pembunuhan secara massal tak terendus samasekali, apalagi diam diri dan bungkam media di sana.
Berdasarkan fakta sejarah Muslim Rohingya yang berjumlah 1 hingga 3 juta jiwa, memang, tidak sendiri. Banyak muslim dari negara tetangga Myanmar lainnya, seperti Banglades dan Thailand, bahkan Muslim Burma itu sendiri hidup berdampingan di Arakan, salah satu provinsi di Myanmar, menjadi bulan-bulanan penguasa di sana.
Pengusiran
Kemurkaan Pemerintah Myanmar sungguh tak beralasan. Kebiadaban junta militer Myanmar luar biasa. Hanya karena etnis Rohingya ingin mewujudkan hajat hidupnya yang hakiki. Muslim di sana, hanya membutuhkan adanya pengakuan negaranya atas status sipilnya dan punya kebebasan sebaimana hak-hak warga-umat Budha lainnya.
Rohingya butuh pernikahan seiman, bisa melahirkan anak-anak dan bebas dari perbudakan. Dapat bersekolah dan fasilitas kesehatan serta keadilan serupa sebagaimana perlakuan warga lainnya. Namun, apa dinyana; lagi-lagi etnis Rohingnya dibunuh dan diperkosa. Sisa dari mereka (etnis Rohingya) diusir paksa dan melarikan diri meninggalkan tanah kelahirannya.
Sejak setahun terakhir mereka angkat kaki ke negara tetangga khususnya Malasyia dan Indonesia. Dua negara ini mulanya bersikap apriori juga dengan tegas menolak kehadiran Rohingya, ogah menjadi negara ke tiga. Kendati kedua negara ini tidak termasuk dalam negara ratifikasi dunia terkait pengungsian, namun dalam hubungan physikologis dan nilai-nilai kemanusian seyogyanya Indonesia-Malaysia secara spontan bisa terketuk pintu hatinya untuk menerima muslim ini sebagai bagian dari tubuhnya yang seiman dan seagama.
Bukan malah mengusir, secara tak langsung melalui tangan militernya di angkatan laut yang mengarahkan moncong bedil serta meriam ke arah perahu dan kapal Rohingya yang nyaris karam akibat kelebihan muatan di lauatan lepas.
Malaysia secara terang-terangan menentang “manusia perahu†ini untuk berpijak di semenanjung itu. Bahkan, beberapa kabar tersiar otoritas setempat hanya memberikan beras sebagai bekal bagi etnis Rohingya dalam mengarungi ganasnya Samudra hingga berbulan lamanya.
Nah, begitu pula dengan pemerintah Republik Indonesia yang awalnya kekeh menolak kehadiran kaum imigran Myanmar itu. Penolakan keras datang dari angakatan bersenjata yang acap kali mengusir etnis minoritas itu dari batas perairan Nusantara. Skeptisme Indonesia dan Malaysia telah melukai hati dan perasaan umat Islam khususnya yang berdomisili di bumi Serambi Mekkah dengan spontanitas menerima-menyelamatkan Muslim Rohingya.
Penanganan
Laporan terakhir seribuan etnis Rohingya telah mendarat di Aceh, di sejumlah titik pesisir Kuala Cangkoi Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara dan Kuala Langsa serta Tamiang. Terakhir di Julok, Aceh Timur dan pesisir Pangkalan Susu Kabupaten Langkat, Sumatera Utaras.
Penanganan warga Aceh lewat pemerintahannya dengan menyalurkan berbagai jenis bantuan logistik, sandang pangan dan obat-obatan telah memberikan sedikit rasa nyaman walau belum bisa dikatakan aman. Ini, sekaligus menciptakan rasa simpatik masyarakat dunia Internasional.
Keterlibatan Indonesia, Malaysia dan Thailand, kemarin, dalam penanganan imigran ini di meja runding di Putra Jaya, Malaysia hanya menampung selama setahun. Setelah itu dideportasi ke negara asalnya. Tapi, bagaimanan waktu berikutnya nasib imigran dimaksud.
Jika sikap Pemerintah Myanmar itu sendiri tidak bisa dipastikan pihak PBB yang hingga saat ini belum menunjukkan taring sesungguhnya. Di mana UNHCR sebagai pihak paling bertanggung jawab untuk mengurus dan menfasilitasi pengungsi antarbangsa, ini juga masih terkesan melempem.
Sebagaimana tawaran guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, selayaknya etnis Rohingya ini ditempatkan di salah satu pulau bebas penghuni di wilayah RI dan tidak berbaur dengan penduduk setempat, sehingga mudah discrening dan diawasi, sebelum adanya negara ketiga yang menerim mereka.
Kendati Wapres Jusuf Kalla telah mengeluarkan statement; Indonesia tampung semua pengungsi Rohingya. Namun, sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda realisasi. Jika realisasi ini masih terlalu lama maka semakin memperburuk kondisi dan keselamatan manusia perahu itu. Lantas, dimanakah kita selaku umat seiman dan seagama.