Banda Aceh (ANTARA) - “Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana” (Adat mengacu kepada almarhum (Iskandar Muda), hukum kepada Syiah Kuala, Qanun kepada Putri Pahang, Reusam kepada Laksamana (Malahayati)).
Hadih maja di atas menjadi penekanan utama yang disampaikan Teuku Kemal Fasya antropolog Universitas Malikussaleh untuk dipedomani oleh setiap investor khususnya perusahaan hulu migas yang akan mengeksploitasi kandungan sumber daya alam di provinsi itu.
“Pendekatan kearifan lokal harus menjadi acuan utama oleh setiap perusahaan industri minyak dan gas yang akan beroperasi di Aceh karena di Aceh untuk menyelesaikan sebuah persoalan lebih baiknya dilakukan secara adat dulu jangan mengedepankan pendekatan hukum,” katanya saat menjadi pemateri dalam kegiatan sosialisasi kegiatan Hulu Migas kepada awak media dan lomba karya jurnalistik 2021.
Ia menjelaskan masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi kearifan lokal yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, sehingga harus dapat dipahami dengan baik oleh setiap perusahaan sehingga dalam operasionalnya dapat berjalan dengan baik.
“Masyarakat Aceh memiliki lembaga adat yang mengakar yang dimulai dari level terendah di gampong yang berperan menyelesaikan berbagai sengketa masyarakat , di level kecamatan, kabupaten hingga provinsi termasuk dengan kekhususan Aceh yakni Lembaga Wali Nanggroe,” katanya
Menurut dia masyarakat Aceh adalah orang yang sangat ramah dan menerima setiap orang yang akan datang dan masuk ke provinsi berpenduduk sekitar lima juta jiwa itu dengan tetap menghormati setiap adat istiadat yang berlaku di darah tersebut.
Kemal memaparkan Tim Survei Unimal sejak 2020 telah terlibat dalam pembuatan dokumen social mapping terkait dengan keberadaan perusahaan migas gelombang kedua yang berinvestasi ke Aceh. Di mana dalam pemetaan tersebut selain memberikan gambaran peta sosial-budaya-politik-ekonomi juga memberikan pandangan tentang peran perusahaan membantu masyarakat sekitar dalam skema CSR.
Ada pun mekanisme pengumpulan data dilakukan sejak model desk review, wawancara stakeholders dari tingkat elite hingga grassroot, observasi gampong pesisir, dan melakukan FGD untuk memantapkan analisis dari temuan yang didapatkan di lapangan dengan pendekatan surveinya dengan metode etnografi, sehingga aspek irreducibility masyarakat termasuk ditampung.
Ada beberapa pesan yang ingin disampaikan dan menjadi kunci yang harus dipedomani oleh perusahaan Migas yang akan mengeksplor hasil bumi di Tanah Rencong itu adalah pada dasarnya masyarakat adat memiliki karakter sosial Gemeinschaften yang lebih mudah dikendalikan potensi konfliknya jika dipatuhi kode-kode kultural dan representasi.
Kemudian relasi antara perusahaan hulu migas dengan masyarakat di sekitar perusahaan beroperasi akan menjadi relasi yang saling mendukung jika ada kesadaran dialog terus-menerus dan bertukar jiwa (imponderabilia). Perusahaan hulu migas harus memulai dengan paradigma baru, baik dalam wacana dan praktik, demi terbangunnya pola pembangunan berkelanjutan dan berkesinambungan.
Kemudian peran pemerintah termasuk Pemerintah kabupaten menjadi mitra strategis dalam mewujudkan model investasi minyak dan gas yang akuntabel dan partisipatif.
Semoga paradigma baru yang dibangun dengan melibatkan masyarakat dalam segara aktivitas dengan tetap mempertimbangkan kearifan lokal serta menggandeng semua unsur akan menjadi kunci keberlanjutan industri dan membangun ekonomi berkelanjutan dapat terwujud.