Tapaktuan (ANTARA Aceh) - Ratusan warga dari tiga Desa masing-masing Desa Kapa Sesak, Alue Bujok dan Titie Poben, Kecamatan Trumon Timur, Aceh Selatan, menyatakan siap mati demi merebut kembali lahan milik mereka yang diduga telah diserobot secara paksa oleh perusahaan perkebunan sawit, PT Asdal Prima Lestari.
Penegasan itu disampaikan ratusan masyarakat saat menggelar aksi demo, dipintu masuk perusahaan PT Asdal yang berlokasi dipuncak Gunung Desa Kapa Sesak atau persis diperbatasan antara Kabupaten Aceh Selatan dengan Pemko Subulussalam, Kamis (7/1).
Menurut warga, ratusan hektar lahan perkebunan sawit yang diduga telah diserobot oleh pihak PT Asdal tersebut, merupakan tanah adat dan tanah ulayat yang sudah digarap atau dikelola oleh nenek moyangnya sejak ratusan tahun lalu sehingga secara otomatis lahan tersebut menjadi hak mereka karena sudah dikelola secara turun temurun oleh anak cucunya.
''Kami menuntut kepada Pemkab dan DPRK Aceh Selatan segera membuat tapal batas yang jelas dengan PT Asdal dengan cara menggali parit pembatas dengan ukuran bukaan atas 2,5 meter dan tinggi 2,5 meter sebagai tapal batas yang jelas antara PT Asdal dengan tiga Desa yang berbatasan langsung sehingga tidak ada penyerobotan lahan milik masyarakat oleh pihak perusahaan,'' kata Koordinator Aksi, Purwanto.
Selain itu, masyarakat juga menuntut kepada PT Asdal agar segera merealisasikan kebun plasma kepada masyarakat setempat sebanyak 30 persen dari luas keseluruhan kebun yang digarap oleh perusahaan tersebut sesuai Keputusan Gubernur Aceh Nomor : 525/BP2T/4966/2011.
Massa juga menuntut kepada pihak perusahaan agar segera merealisasikan kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) kepada masyarakat sekitar areal kebun sebab terhitung sejak berdirinya perusahaan perkebunan sawit tersebut, kewajiban itu tidak pernah dipenuhi dengan baik kepada masyarakat setempat.
Jika tuntutan itu tidak ditindaklanjuti, maka ratusan pendemo menyatakan tetap bertahan di lokasi aksi dengan menutup akses jalan masuk ke PT Asdal sehingga aktivitas operasional perusahaan dimaksud lumpuh.
''Kami siap mati demi mempertahankan hak kami. Jika tuntutan kami tidak ditindaklanjuti oleh pihak berwenang maka kami tetap bertahan di tempat ini,'' ujar seorang warga.
Menyikapi tuntutan tersebut, Ketua DPRK Aceh Selatan T Zulhelmi yang turun langsung ke lokasi bersama beberapa anggota dewan dari dapil Trumon Raya, menyatakan bahwa, pihaknya mendukung penuh aspirasi yang disampaikan oleh ratusan masyarakat dari tiga Desa itu.
''Jika masyarakat menyatakan siap mati demi mempertahankan tanah yang telah di serobot paksa oleh perusahaan. Maka saya atas nama Ketua DPRK Aceh Selatan yang juga putra asli Trumon memastikan bahwa, siap menjadi orang yang pertama dan paling didepan jika memang harus mengorbankan nyawa demi untuk mempertahankan tanah yang diserobot paksa oleh pihak perusahaan tersebut,'' teriak T Zulhelmi dihadapan ratusan massa pendemo.
Legislator dari Partai Aceh (PA) ini menegaskan, berdasarkan amatan dan penilaian pihaknya, PT Asdal Prima Lestari yang telah menggarap lahan perkebunan sawit di Kecamatan Trumon Timur sejak tahun 1995, tidak pernah mempunyai itikat baik untuk menyelesaikan persoalan sengketa lahan dengan masyarakat setempat.
Buktinya, kata pria yang akrap disapa Teuku Zul ini, sejak Pemkab Aceh Selatan dipimpin oleh Bupati Tgk Husin Yusuf dan berlanjut dibawah kepemimpinan Bupati HT Sama Indra SH, Pemkab Aceh Selatan telah berulang kali memfasilitasi atau memediasi penyelesaian kasus itu dengan masyarakat, namun sayangnya semua kesepakatan yang telah dihasilkan tidak pernah bersedia ditindaklanjuti dilapangan.
''Karena desakan dan tuntutan masyarakat kami nilai tidak bisa dibendung lagi, maka kami memutuskan bahwa pada hari Selasa (12/1) mendatang, aksi penggalian parit sebagai pembatas antara lahan PT Asdal dengan lahan milik masyarakat langsung dilakukan oleh masyarakat dengan disaksikan oleh pejabat terkait dari Pemkab dan DPRK Aceh Selatan serta pihak PT Asdal dan aparat kepolisian,'' tegas T Zulhelmi.
Menurutnya, tiga Desa di Kecamatan Trumon Timur yakni Desa Kapa Sesak, Alue Bujok dan Titie Poben yang terlibat langsung sengketa lahan dengan PT Asdal, masing-masingnya akan menyiapkan langsung alat berat (beco) untuk penggalian parit sebagai tapal batas.
''Masyarakat dimasing-masing desa itu, akan melakukan aksi pengumpulan dana secara patungan untuk biaya sewa alat berat. Langkah itu dilakukan warga dengan inisiatif sendiri,'' ujarnya.
Manager PT Asdal Prima Lestari, Muhammad Rozi, yang dikonfirmasi secara terpisah membantah tudingan yang menyebutkan pihaknya telah menyerobot lahan perkebunan milik masyarakat tiga desa di Kecamatan Trumon Timur tersebut. Sebaliknya, perusahaan tersebut justru menuding bahwa masyarakat di tiga desa itulah yang telah menyerobot lahan milik PT Asdal dengan melakukan penggarapan lahan secara sepihak dimasa Aceh dilanda konflik dulu.
''Lahan perkebunan sawit milik PT Asdal tersebut berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh Pemerintah pada tahun 1995 seluas 5.074 hektar. Dari luas itu yang baru di garap hanya seluas 2.776 hektar sehingga selebihnya masih berstatus lahan kosong yang rencananya akan digarap kembali secara bertahap oleh perusahaan,'' kata Muhammad Rozi.
Yang jadi persoalannya, sambungnya, diatas lahan HGU milik PT Asdal yang belum digarap tersebut, telah dijadikan lahan perkebunan warga dengan ditanami berbagai tanaman perkebunan.
''Jika memang kasus ini harus ada penyelesaian, maka kami siap untuk menyelesaikannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Namun jika dipaksakan kami harus mengurangi luas lahan HGU, maka hal itu bukan kewenangan kami sebab yang berwenang terkait hal itu adalah pihak Badan Pertanahan Negara (BPN). Kami siap jika harus dilakukan pengukuran ulang dengan melibatkan pihak BPN. Jikapun Pemerintah mengurangi luas lahan PT Asdal dari HGU yang sudah ada, maka secara otomatis kewajiban pajak yang dibebankan oleh Negara kepada PT Asdal juga harus dikurangi," tegasnya.
Sedangkan terkait dengan kewajiban kebun plasma sebesar 30 persen dari luas keseluruhan lahan yang di garap PT Asdal, menurut Muhammad Rozi, alasan pihaknya tidak merealisasikan kewajiban itu selama ini karena berdasarkan aturan yang telah ditetapkan, kewajiban itu hanya diperuntukkan terhadap perusahaan perkebunan sawit yang membuka atau mengantongi lahan HGU di atas tahun 2007 sebab aturan itu mulai berlaku tahun 2007.
''Sementara, PT Asdal telah mengantongi izin HGU sejak tahun 1995. Artinya bahwa jauh sebelum aturan itu diberlakukan PT Asdal telah melakukan aktivitas operasional sehingga tidak ada kewajiban untuk merealisasikan kebun plasma 30 persen,'' paparnya.
Untuk kewajiban CSR, Muhammad Rozi mengaku bahwa, selama ini pihaknya telah merealisasikan kewajiban CSR kepada masyarakat yang berada disekitar areal kebun.
''Tidak benar tudingan yang menyebutkan PT Asdal tidak pernah merealisasikan CSR, namun dalam penyalurannya tentu tidak mungkin seperti yang diharapkan masyarakat sebab sesuai aturan yang berlaku kewajiban CSR itu disalurkan oleh sebuah perusahaan sesuai kemampuan keuangannya. Sehingga PT Asdal yang masih berstatus kelas D dengan produksi per hektarnya masih dibawah 1 ton, maka kewajiban CSR pun disalurkan sesuai dengan anggaran yang tersedia,'' jelasnya.
Penegasan itu disampaikan ratusan masyarakat saat menggelar aksi demo, dipintu masuk perusahaan PT Asdal yang berlokasi dipuncak Gunung Desa Kapa Sesak atau persis diperbatasan antara Kabupaten Aceh Selatan dengan Pemko Subulussalam, Kamis (7/1).
Menurut warga, ratusan hektar lahan perkebunan sawit yang diduga telah diserobot oleh pihak PT Asdal tersebut, merupakan tanah adat dan tanah ulayat yang sudah digarap atau dikelola oleh nenek moyangnya sejak ratusan tahun lalu sehingga secara otomatis lahan tersebut menjadi hak mereka karena sudah dikelola secara turun temurun oleh anak cucunya.
''Kami menuntut kepada Pemkab dan DPRK Aceh Selatan segera membuat tapal batas yang jelas dengan PT Asdal dengan cara menggali parit pembatas dengan ukuran bukaan atas 2,5 meter dan tinggi 2,5 meter sebagai tapal batas yang jelas antara PT Asdal dengan tiga Desa yang berbatasan langsung sehingga tidak ada penyerobotan lahan milik masyarakat oleh pihak perusahaan,'' kata Koordinator Aksi, Purwanto.
Selain itu, masyarakat juga menuntut kepada PT Asdal agar segera merealisasikan kebun plasma kepada masyarakat setempat sebanyak 30 persen dari luas keseluruhan kebun yang digarap oleh perusahaan tersebut sesuai Keputusan Gubernur Aceh Nomor : 525/BP2T/4966/2011.
Massa juga menuntut kepada pihak perusahaan agar segera merealisasikan kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) kepada masyarakat sekitar areal kebun sebab terhitung sejak berdirinya perusahaan perkebunan sawit tersebut, kewajiban itu tidak pernah dipenuhi dengan baik kepada masyarakat setempat.
Jika tuntutan itu tidak ditindaklanjuti, maka ratusan pendemo menyatakan tetap bertahan di lokasi aksi dengan menutup akses jalan masuk ke PT Asdal sehingga aktivitas operasional perusahaan dimaksud lumpuh.
''Kami siap mati demi mempertahankan hak kami. Jika tuntutan kami tidak ditindaklanjuti oleh pihak berwenang maka kami tetap bertahan di tempat ini,'' ujar seorang warga.
Menyikapi tuntutan tersebut, Ketua DPRK Aceh Selatan T Zulhelmi yang turun langsung ke lokasi bersama beberapa anggota dewan dari dapil Trumon Raya, menyatakan bahwa, pihaknya mendukung penuh aspirasi yang disampaikan oleh ratusan masyarakat dari tiga Desa itu.
''Jika masyarakat menyatakan siap mati demi mempertahankan tanah yang telah di serobot paksa oleh perusahaan. Maka saya atas nama Ketua DPRK Aceh Selatan yang juga putra asli Trumon memastikan bahwa, siap menjadi orang yang pertama dan paling didepan jika memang harus mengorbankan nyawa demi untuk mempertahankan tanah yang diserobot paksa oleh pihak perusahaan tersebut,'' teriak T Zulhelmi dihadapan ratusan massa pendemo.
Legislator dari Partai Aceh (PA) ini menegaskan, berdasarkan amatan dan penilaian pihaknya, PT Asdal Prima Lestari yang telah menggarap lahan perkebunan sawit di Kecamatan Trumon Timur sejak tahun 1995, tidak pernah mempunyai itikat baik untuk menyelesaikan persoalan sengketa lahan dengan masyarakat setempat.
Buktinya, kata pria yang akrap disapa Teuku Zul ini, sejak Pemkab Aceh Selatan dipimpin oleh Bupati Tgk Husin Yusuf dan berlanjut dibawah kepemimpinan Bupati HT Sama Indra SH, Pemkab Aceh Selatan telah berulang kali memfasilitasi atau memediasi penyelesaian kasus itu dengan masyarakat, namun sayangnya semua kesepakatan yang telah dihasilkan tidak pernah bersedia ditindaklanjuti dilapangan.
''Karena desakan dan tuntutan masyarakat kami nilai tidak bisa dibendung lagi, maka kami memutuskan bahwa pada hari Selasa (12/1) mendatang, aksi penggalian parit sebagai pembatas antara lahan PT Asdal dengan lahan milik masyarakat langsung dilakukan oleh masyarakat dengan disaksikan oleh pejabat terkait dari Pemkab dan DPRK Aceh Selatan serta pihak PT Asdal dan aparat kepolisian,'' tegas T Zulhelmi.
Menurutnya, tiga Desa di Kecamatan Trumon Timur yakni Desa Kapa Sesak, Alue Bujok dan Titie Poben yang terlibat langsung sengketa lahan dengan PT Asdal, masing-masingnya akan menyiapkan langsung alat berat (beco) untuk penggalian parit sebagai tapal batas.
''Masyarakat dimasing-masing desa itu, akan melakukan aksi pengumpulan dana secara patungan untuk biaya sewa alat berat. Langkah itu dilakukan warga dengan inisiatif sendiri,'' ujarnya.
Manager PT Asdal Prima Lestari, Muhammad Rozi, yang dikonfirmasi secara terpisah membantah tudingan yang menyebutkan pihaknya telah menyerobot lahan perkebunan milik masyarakat tiga desa di Kecamatan Trumon Timur tersebut. Sebaliknya, perusahaan tersebut justru menuding bahwa masyarakat di tiga desa itulah yang telah menyerobot lahan milik PT Asdal dengan melakukan penggarapan lahan secara sepihak dimasa Aceh dilanda konflik dulu.
''Lahan perkebunan sawit milik PT Asdal tersebut berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh Pemerintah pada tahun 1995 seluas 5.074 hektar. Dari luas itu yang baru di garap hanya seluas 2.776 hektar sehingga selebihnya masih berstatus lahan kosong yang rencananya akan digarap kembali secara bertahap oleh perusahaan,'' kata Muhammad Rozi.
Yang jadi persoalannya, sambungnya, diatas lahan HGU milik PT Asdal yang belum digarap tersebut, telah dijadikan lahan perkebunan warga dengan ditanami berbagai tanaman perkebunan.
''Jika memang kasus ini harus ada penyelesaian, maka kami siap untuk menyelesaikannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Namun jika dipaksakan kami harus mengurangi luas lahan HGU, maka hal itu bukan kewenangan kami sebab yang berwenang terkait hal itu adalah pihak Badan Pertanahan Negara (BPN). Kami siap jika harus dilakukan pengukuran ulang dengan melibatkan pihak BPN. Jikapun Pemerintah mengurangi luas lahan PT Asdal dari HGU yang sudah ada, maka secara otomatis kewajiban pajak yang dibebankan oleh Negara kepada PT Asdal juga harus dikurangi," tegasnya.
Sedangkan terkait dengan kewajiban kebun plasma sebesar 30 persen dari luas keseluruhan lahan yang di garap PT Asdal, menurut Muhammad Rozi, alasan pihaknya tidak merealisasikan kewajiban itu selama ini karena berdasarkan aturan yang telah ditetapkan, kewajiban itu hanya diperuntukkan terhadap perusahaan perkebunan sawit yang membuka atau mengantongi lahan HGU di atas tahun 2007 sebab aturan itu mulai berlaku tahun 2007.
''Sementara, PT Asdal telah mengantongi izin HGU sejak tahun 1995. Artinya bahwa jauh sebelum aturan itu diberlakukan PT Asdal telah melakukan aktivitas operasional sehingga tidak ada kewajiban untuk merealisasikan kebun plasma 30 persen,'' paparnya.
Untuk kewajiban CSR, Muhammad Rozi mengaku bahwa, selama ini pihaknya telah merealisasikan kewajiban CSR kepada masyarakat yang berada disekitar areal kebun.
''Tidak benar tudingan yang menyebutkan PT Asdal tidak pernah merealisasikan CSR, namun dalam penyalurannya tentu tidak mungkin seperti yang diharapkan masyarakat sebab sesuai aturan yang berlaku kewajiban CSR itu disalurkan oleh sebuah perusahaan sesuai kemampuan keuangannya. Sehingga PT Asdal yang masih berstatus kelas D dengan produksi per hektarnya masih dibawah 1 ton, maka kewajiban CSR pun disalurkan sesuai dengan anggaran yang tersedia,'' jelasnya.