Banda Aceh (ANTARA) - Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukumnya, dimana ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat.
Pada prakteknya masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam mengatur kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang ada.
Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tata hukum adatnya masing-masing untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam yang sebagian besar hukum adat tersebut tidak dalam bentuk aturan yang tertulis.
Paradigma pemahaman hukum adat dan perkembangannya harus diletakkan pada ruang yang besar, dengan mengkaji secara luas:
Kajian yang tidak lagi melihat sistem hukum suatu negara berupa hukum negara, namun juga hukum adat hukum agama serta hukum kebiasaan; Pemahaman hukum (adat) tidak hanya memahami hukum adat yang dalam berada dalam komunitas tradisional- masyarakat pedesaan, tetapi juga hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat lingkungan tertentu (hybrid law atau unnamed law); Memahami gejala trans nasional law sebagaimana hukum yang dibuat oleh organisasi multilateral, maka adanya hubungan interdependensi antara hukum internasional, hukum nasional dan hukum lokal.
Dengan pemahaman holistik dan intregratif maka perkembangan dan kedudukan hukum adat akan dapat dipahami dengan bagus. Maka studi hukum adat dalam perkembangan mengkaji hukum adat sepanjang perkembanganya di dalam masyarakat, dilakukan secara kritis obyektif analitis, artinya hukum adat akan dikaji secara positif dan secara negative. Secara positif artinya hukum adat dilihat sebagai hukum yang bersumber dari alam pikiran dan cita-cita masyarakatnya.
Secara negatif hukum adat dilihat dari luar, dari hubungannya dengan hukum lain baik yang menguatkan maupun yang melemahkan dan interaksi perkembangan politik kenegaraan.
Perkembangan hukum secara positif artinya hukum adat akan dilihat pengakuannya dalam masyarakat dalam dokrin, perundang-undangan, dalam yurisprudensi maupun dalam kehidupan masyarakat sehari hari. Sebaliknya perkembangan secara negatif bagaimana hukum adat dikesampingkan dan tergeser atau sama sekali tidak berlaku oleh adanya hukum positif yang direpresentasikan oleh Negara baik dalam perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan.
Pembahasan arti hukum adat
Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali oleh William Marsden (1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian di Bengkulu. kemudian diikuti oleh Muntinghe dan Raffles.
Namun kajian secara sistimatis baru dilakuan oleh Snouck Hourgronye, dikenal dengan istilah Adatrecht, setelah dia mendapatkan dokumen Adat Meukuta Alam yang diserahkan oleh Van langen, kepadanya, sewaktu dia meneliti tentang Aceh.
Istilah Adatrecht ditujukan kepada hukum pribumi yang berlaku bagi bumi putra (orang Indonesia asli) dan orang timur asing pada masa Hindia Belanda. Snouck Hurgronje peletak dasar teori Receptie, ia memandang hukum adat identik dengan hukum kebiasaan.
Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu:
1. memperlihatkan keadaan (gestelheid),
2. kelanjutan (veloop), dan
3 menemukan keajekannya (regelmaat),
Berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19 lingkungan hukum adat secara sistematik. Konsep hukum adat, seperti, masyarakat hukum atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts), lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Van Vollenhoven juga mendefinisikan hukum adat sebagai hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia asli. Sehingga setidaknya dapat dipahami bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, serta berlaku bagi masyarakat Indonesia yang mana dalam hal ini setiap tempat hukum adat tersebut memiliki pengaturan yang berbeda namun pada dasarnya memiliki akar konsep yang sama.
Selanjutnya Terhaar, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan adat dan berlaku secara spontan. Dapat disimpulkan hukum adat adalah suatu norma atau peraturan tidak tertulis yang dibuat untuk mengatur tingkah laku masyarakat dan memiliki sanksi.
Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan masyarakat dan tradisi rakyat yang ada. Hukum adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut.
Dalam perkembangannya, praktek yang terjadi dalam masyarakat hukum adat keberadaan hukum adat sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah aturan hukum adat ini tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-hari masyarakat dan menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat hukum adat.
Dalam fokus kedudukan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia, kembali konstitusi di mana Pengakuan terhadap hukum tidak tertulis dahulu hanya dijelaskan atau dicantumkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang dalam hal ini mengatur ”... Undang Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-undang Dasar itu berlakunya juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”.
Dalam artian hukum adat yang pada umumya tidak tertulis memiliki kedudukan yang sama dengan hukum lainnya yang berlaku di Indonesia mengingat pengakuan terhadap hukum tidak tertulis di samping Undang-Undang Dasar itu sendiri.
Maka dalam hal ini dapat dipahami bahwa kedudukan hukum adat di dalam sistem hukum di Indonesia memiliki kedudukan secara konstitusiona bersifat sama dengan kedudukan hukum pada umumnya berlaku dalam kehidupan bernegara di Indonesia, namun yang patut digaris bawahi juga terdapat perbedaan antara hukum adat dengan hukum yang berlaku pada umumnya yakni dari aspek keberlakuan dan bentuknya.
Dimana dalam hal ini keberlakuan hukum adat hanya berlaku untuk orang Indonesia dan dari aspek bentuknya hukum adat pada umumnya tidak tertulis.
Oleh karena itu, tentu sebagaimana syarat pengakuan tersebut adalah kewajiban bersama untuk senantiasa melestarikan hukum adat dan masyarakat hukum adat itu sendiri, sehingga nilai-nilai luhur bangsa tersebut dapat selamat dari terjangan degradasi akibat globalisasi.
Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Antara hukum adat dengan hukum negara mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.
Masyarakat hukum adat
Keberadaan masyarakat hukum adat secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas. Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia.
Pemaknaan pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 bahwa kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat selanjutnya diatur “dalam” undang undang bukan “dengan” undang undang. Maka konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat; Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang; Pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat dan hukum adatnya sendiri adalah pengakuan bersyarat (sekalipun dalam konsep Negara hukum syarat-syarat tersebut merupakan bentuk kontrol bingkai Negara hukum.
Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang dalam hal ini mengatur sehubungan tentang tahapan dan syarat yang harus dipenuhi oleh Masyarakat Hukum Adat untuk memperoleh kepastian hukum atas hak-hak tradisionalnya.
Di dalam ketentuannya tersebut masysarakat adat harus melalui tahapan-tahapan yang dilakukan secara berjenjang untuk mendapatkan legalisasi pengakuan atas masyarakat hukum adat itu sendiri dimana dalam hal ini tahapan-tahapan tersebut meliputi tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat serta kemudian setelah 3 (tiga) tahapan tersebut dilalui maka dalam hal ini dilakukan penetapan masyarakat hukum adat sebagai output dari tahapan-tahapan tersebut.
Lebih lanjut diatur bahwa dalam tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, hal-hal yang menjadi objek adalah sejarah masyarakat hukum adat, hukum adat, wilayah adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Lebih lanjut sehubungan dengan wilayah adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat secara substansial pada ketentuan hukum ini belum diatur secara jelas teknis penentuan cara menentukan wilayah adat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dan atau pun kelembagaan / sistem pemerintahan adat apakah diatur secara struktural.
Walaupun demikian keberadaan masyarakat hukum adat belum dilindungi secara optimal dalam melaksanakan hak pengelolaan yang bersifat individu dan komunal, baik hak atas tanah, wilayah, budaya, sumber daya alam yang diperoleh secara turun temurun, maupun yang diperoleh melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum adat setempat.
Belum optimalnya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat yang bersifat individu dan komunal mengakibatkan tidak tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat hukum adat dan munculnya konflik sehingga menimbulkan ancaman dstabilitas keamanan nasional.
Hak ulayat dan masyarakat hukum adat
Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau kepemilikan hak atas tanah. Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga halnya dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, “semakin kuat kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis tetapi apabila semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu akan berakhir”.
Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat tetapi mengapa masih banyak permasalahan itu terjadi di daerah-daerah Indonesia. Banyak penggunaan tanah ulayat yang berakhir sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya.
Hal itu timbul karena para investor seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat untuk melaksanakan suatu perjanjian. Tetapi kenyataannya malah investor tersebut mendapatkan tanahnya melalui pemerintah yang mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes karena mengapa melakukan kegiatan investor ditanah mereka.
Timbul juga sebuah kerugian sebagai efek samping dari terjadinya sengketa karena tanah tersebut dalam status quo sehingga tidak dapat digunakan secara optimal dan terjadilah penurunan kualitas sda yang bisa merugikan banyak pihak.
Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat terhadap masyarakat hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) diharapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan untuk masyarakat adat.
Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat seharusnya secara otomatis hak-hak ulayat tersebut diakui tetapi dalam prakteknya tidak. Jangan sampai terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan hukum Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut.
Sekarang untuk adanya jaminan kepastian hukum tentang pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentan Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah, dimana dalam pasal 4 dinyatakan bahwa Hak Pengelolaan dapat berasal dari tanah negara dan tanah ulayat.
Ini memberi peluan bagi masyarakat adat untuk dapat diberikan hak pengelolaan terhadap tanah tanah adatnya baru kemudian di atas tanah Hak Pengelolaan terhadap tanah tanah hak ulayat dilekatkan hak lain seperti hak guna bangunan, Hak Guna Usaha maupun hak pakai.
Kesimpulan
Berikut beberapa kesimpulan dari pemikiran tentang posisi hukum adat dan masyarakat hukum adat di Indonesia, diantaranya adalah:
Posisi hukum adat dan masyarakat hukum adat di Indonesia telah diakui dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia.
Keberadaan hukum adat sebagai wujud dari pluralism hukum yang berlaku di Indonesia.
Posisi hukum adat dan hukum formil memiliki daya pengikat yang sama. Tetapi berbeda dalam bentuk dan aspeknya operasionalnya.
Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagi subjek hukum yang perlu diatur adalah penatausahaannya, khusus yang berhubungan dengan kepentingan publik.
Dalam hal penataa usahaan masyarakat hukum adat, perlu segera disahkan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat. Walaupun bukan perintah mandatori dari konstitusi.
*Dosen Fakultas Hukum USK dan Tenaga Ahli Menteri ATR/BPN Republik Indonesia, Bidang Hukum Adat dan Masyarakat Adat.