Jakarta (ANTARA) - Para ilmuwan yang menciptakan inovasi unggul dan menghasilkan terobosan yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara serta mengharumkan nama bangsa, patut untuk mendapatkan penghargaan dan apresiasi.
Dalam mengapresiasi putera-puteri bangsa yang berprestasi unggul dan berkarya penting bagi bangsa dan negara Indonesia, Habibie Prize hadir.
Habibie Prize merupakan penghargaan bagi perseorangan yang mempunyai keunggulan tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dengan kriteria yang sangat tinggi, serta mampu menghasilkan temuan-temuan baru di bidangnya untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sebelum berganti nama menjadi Habibie Prize pada 2020, ajang penghargaan iptek paling bergengsi di Indonesia itu dikenal dengan nama Habibie Award.
Sejarah Habibie Award dimulai saat keluarga Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, yang dikenal sebagai Bapak Teknologi Indonesia dan merupakan mantan Presiden RI, mendirikan Yayasan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SDM Iptek) pada 12 Mei 1997 untuk memberikan Habibie Award.
Sejak pelaksanaan pertama pada 1999 hingga 2020, anugerah tersebut telah diberikan kepada 71 ilmuwan.
Pada 2020 pemberian penghargaan diambil alih oleh Kementerian Riset dan Teknologi dan nama penghargaan berganti menjadi Habibie Prize. Mulai 2021 pemberian Habibie Prize dilaksanakan di bawah pengelolaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Pada 17 November 2021, dilakukan penganugerahan Habibie Prize 2021 oleh BRIN dan Yayasan SDM Iptek kepada empat ilmuwan Indonesia.
Mereka adalah Prof. Dr. Ir. Subagjo, DEA untuk kategori bidang Ilmu Rekayasa, dan Prof. Dr. Muhammad Hanafi untuk kategori bidang Ilmu Dasar.
Kemudian Prof. Dr. Nicolaas Cyrillus Budhiparama, Ph.D, Sp.OT(K)FICS untuk kategori bidang Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi, dan Dr. (HC) Nyoman Nuarta untuk kategori bidang Ilmu Filsafat, Agama dan Kebudayaan.
Nyoman Nuarta merupakan seniman terkenal asal Bali yang sudah lebih dari 45 tahun lamanya menggeluti bidang kesenian dan menjadi maestro khususnya di bidang seni patung dan menghasilkan berbagai karya mengagumkan, salah satunya patung Garuda Wisnu Kencana.
Pria kelahiran di Tabanan, Bali pada 14 November 1951 itu membuat patung Garuda Wisnu Kencana yang menjulang di Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana, Bali.
Pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana menghabiskan waktu selama 28 tahun. Patung itu menjadi ikonik di Bali dan merupakan salah satu karya patung tertinggi di dunia.
Nyoman juga membangun taman patung di Bandung, yakni di NuArt Sculpture Park untuk berbagi nilai luhur budaya melalui kegiatan kesenian.
Pada awal 2021 Nyoman memenangkan sayembara konsep desain istana negara ibu kota negara baru yang memiliki konsep istana negara burung garuda yang merupakan sinergi antara seni, sains dan teknologi.
Sementara Prof. Dr. Ir. Subagjo, DEA merupakan seorang peneliti, pencetus, perancang dan pemimpin tim peneliti dalam bidang teknologi katalis, yang ingin mewujudkan Indonesia menjadi mandiri dalam teknologi katalis.
Setelah lulus sarjana dari Institut Teknologi Bandung, Subagjo mengambil pendidikan lanjutan di Universite de Poitiers di Prancis.
Berkarya dalam bidang teknologi katalis, ia bersama tim menghasilkan produk inovasi dan memenangkan penghargaan anugerah Adibrata sebagai juara pertama pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) 2018.
Dengan teknologi katalisnya, ia berharap dapat mengurangi impor minyak mentah dan bahan bakar minyak serta menciptakan ketahanan energi.
Subagjo juga membawa Indonesia satu langkah lebih mandiri dalam bidang teknologi proses dengan merencanakan perusahaan patungan untuk mengelola industri katalis. Perusahaan itu direncanakan beroperasi secara komersial pada 2024.
Hasil temuannya menginspirasi banyak sekali pihak untuk memberdayakan sumber daya alam Indonesia untuk kemajuan bangsa dengan memanfaatkan kemampuan sendiri.
Katalis sangat diperlukan untuk mempercepat reaksi kimia dalam menghasilkan bahan bakar nabati seperti biodiesel.
Dampak lain dari produk katalis hasil pengembangan Subagjo bersama tim dan mitra industri adalah memberi peluang meningkatkan kesejahteraan petani sawit swadaya Indonesia yang mencapai 37 juta kepala keluarga.
Pengembang obat alami
Prof. Muhammad Hanafi merupakan seorang peneliti di Pusat Riset Kimia BRIN. Pria yang lahir di Semarang pada 12 April 1957 itu telah menyukai Kimia sejak masa sekolah menengah atas (SMA).
Keahlian dan kompetensi penelitian Hanafi berfokus pada penemuan dan pengembangan obat dari bahan alam. Hanafi telah mendapat gelar profesor riset pada 2012 melalui orasi risetnya tentang proses penemuan obat baru antikolesterol dan antikanker.
Ia mendapat gelar sarjana pada 1985 dari Universitas Indonesia, gelar master pada 1993 dan gelar doktor pada 1995 dari Universitas Osaka City, Jepang. Ia menjabat sebagai Kepala Laboratorium Kimia Organik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak 1997-2021.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain terkait obat antidiabetes, antikardiovaskuler, antihepatitis dan antikolesterol.
Hanafi telah banyak melakukan kolaborasi untuk memproduksi bahan aktif dari bahan alam, menjadi pengajar, promotor dan penguji di berbagai universitas di Indonesia serta aktif pada ragam kegiatan nasional maupun internasional.
Penerima penghargaan Hitachi Global Foundation Asia Innovation Award 2020 kategori Encouragement Award itu telah memperoleh 40 paten, 112 jurnal internasional, 55 prosiding internasional dan 46 jurnal nasional.
Ke depan, ia ingin berkarya lebih maju lagi khususnya menghasilkan penelitian yang prospek. Ia mengatakan kerja sama, koordinasi berbagai bidang atau disiplin ilmu serta dukungan berbagai pihak/institusi dan industri sangat penting agar Indonesia bisa menghasilkan obat baru dari tanaman Indonesia sendiri.
Saat ini Hanafi sedang melakukan penelitian dalam penemuan senyawa aktif antivirus hepatitis B dari tanaman yang merupakan bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia.
Setelah lulus sebagai dokter umum dari Universitas Sumatera Utara, Nicolaas Cyrillus Budhiparama melanjutkan pendidikan spesialis ortopedi di Universitas Leiden Medical School di Belanda dan lulus sebagai lulusan termuda pada 1993.
Penerima Habibie Prize 2021 itu adalah dokter bedah di Indonesia yang memperkenalkan limb salvage surgery, suatu tonggak sejarah penting karena memberikan harapan dan kualitas hidup yang lebih baik pada para pasien dengan tumor tulang.
Tidak hanya memperkenalkan limb salvage surgery, ia juga memperkenalkan teknik-teknik operasi lainnya seperti computer assisted surgery dan unicondylar arthoplasty.
Nicolaas mengharumkan nama Indonesia dengan ikut menjadi pembicara dan moderator di berbagai pertemuan ortopedi bergengsi di dunia. Ia juga mendedikasikan dirinya dalam berbagai organisasi di dunia. Hal itu terus dilakukannya untuk menjembatani dokter-dokter di Indonesia untuk bisa berkiprah di level internasional.
Nicolaas Institute of Constructive Orthopaedic Research and Education Foundation didirikannya agar dapat mewadahi dan memotivasi para dokter Indonesia untuk bisa terhubung ke dunia internasional.
Ia ingin dokter-dokter muda Indonesia mendapatkan kesempatan luas untuk memiliki wawasan, ilmu dan pengalaman di level global.
Nicolaas mengharapkan generasi penerus di Indonesia menjadi generasi yang berani mencoba melakukan terobosan, berkompetisi dan keluar dari zona nyaman.
"Think big, dream big (berpikir besar, bermimpi besar), cita-cita ini harus diwujudkan dengan kerja keras dan menjunjung tinggi etika yang baik," ujarnya.
Para ilmuwan penerima Habibie Prize 2021 tersebut diharapkan dapat menjadi inspirasi dan memotivasi masyarakat Indonesia khususnya generasi penerus bangsa untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan hasil riset, teknologi dan inovasi yang unggul dan bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat serta menjadi kebanggaan bangsa baik di kancah nasional maupun internasional.
Ini sosok ilmuwan para penerima Habibie Prize 2021
Rabu, 17 November 2021 18:33 WIB