Banda Aceh (ANTARA) - Di Aceh, urusan tentang cara menangkap ikan di laut atau dalam bahasa lokal disebut meupayang dikomandoi oleh sebuah lembaga adat yang dikenal dengan sebutan Panglima Laot.
Keberadaan Lembaga Panglima Laot (laut) di Aceh menurut sejarah sudah ada sejak 400 tahun yang lalu, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam.
Saat itu, Panglima Laot diberikan mandat oleh kesultanan untuk memungut cukai pada kapal-kapal yang singgah di pelabuhan dan memobilisasi rakyat terutama nelayan untuk berperang.
Baca juga: Kapal imigran Rohingya kembali terpantau di perairan Aceh, begini penjelasan Panglima Laot
Hingga kini, keberadaan Panglima Laot masih penting dalam sistem kemaritiman Aceh meskipun masa kerajaan di tanah Serambi Mekkah sudah purna.
Hanya saja, perannya bergeser menjadi mengatur tata cara penangkapan ikan di laut, bagi hasil, dan tata cara penyelesaian sengketa jika terjadi pelanggaran di laut sesuai dengan hukum adat laot.
Hukum adat laot merupakan salah satu kearifan lokal Aceh yang diberlakukan oleh nelayan sejak masa kerajaan untuk menjaga ketertiban dalam penangkapan ikan dan kehidupan masyarakat nelayan di pesisir. Dalam pelaksanaannya, Panglima Laot bertindak sebagai orang yang menegakkan aturan hukum adat laot.
Sekretaris Panglima Laot Aceh Miftach Cut Adek mengatakan, Panglima Laot sebagai pemimpin persekutuan adat nelayan berperan penting dalam menjaga keamanan laut Aceh, terutama dalam menangani konflik di lautan Aceh.
"Apabila ada sengketa dan pelanggaran di laut akan bertindak sebagai pengadil dan melakukan mediasi agar tidak terjadi konflik," kata Miftach.
Seiring perkembangan zaman, kata Miftach, struktur adat Panglima Laot menjadi lebih komprehensif. Kepemimpinan Panglima Laot kini terbagi atas tiga tingkatan wilayah, yaitu Panglima Laot Lhok, Panglima Laot Kabupaten, dan Panglima Laot Aceh.
Panglima Laot Lhok memimpin di Lhok atau dalam bahasa Indonesia disebut kuala atau tempat kapal boat ditambat. Saat ini, ada 175 orang Panglima Laot Lhok yang tersebar di 18 kabupaten/kota di Aceh.
"Setiap kabupaten/kota ada lima lhok, ada juga yang berjumlah 12, tergantung luas wilayahnya," ujarnya.
Baca juga: Panglima Laot minta Mifa Bersaudara pasang lampu mooring buoy hindari kecelakaan nelayan
Panglima Laot Lhok ini bertanggung jawab urusan meupayang di lhok masing-masing wilayah kepemimpinannya dan di bawah koordinasi Panglima Laot Kabupaten.
Sedangkan Panglima Laot Kabupaten yang resmi terbentuk pada tahun 1982 diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa nelayan yang terjadi antar Panglima Laot Lhok yang tidak dapat diselesaikan oleh Panglima Laot Lhok.
Kemudian, pada tahun 2000 secara resmi ditetapkan bahwa kekuasaan tertinggi dalam struktur lembaga adat ada pada Panglima Laot Aceh yang memimpin di tingkat provinsi.
Panglima Laot Aceh ini memiliki tugas untuk mengkoordinasikan hukum adat laot, menjembatani kepentingan nelayan dengan pemerintah, dan mengadvokasi kebijakan kelautan dan perikanan.
Termasuk urusan Panglima Laot tingkat provinsi ialah melakukan advokasi hukum dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat nelayan Aceh termasuk bagi nelayan yang terdampar.
Kiprah Panglima Laot sebagai ketua adat yang menjalankan hukum adat laot dan pemimpin bagi kelompok nelayan makin kuat pasca tsunami 26 Desember 2004 silam.
Setahun setelahnya tepatnya tahun 2006, Pemerintah Aceh mengukuhkan keberadaan Panglima Laot ke dalam peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Aceh memasukkan aturan yang mengatur kewenangan Panglima Laot dalam UU No.11 Tahun 2006 pasal 98-99 dan Pasal pasal 162 ayat (2) huruf e tentang Pemerintahan Aceh.
Kemudian, UU tersebut dijabarkan ke dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Baca juga: Ini sanksi nelayan jika melaut di hari peringatan tsunami