Dalam pemberitaan di televisi tersebut juga kerap ditayangkan kegiatan sosial yang dilakukan petinggi partai.
Pada relasi politikus dan kepemilikan media, kiranya sulit mengharapkan terpeliharanya independensi media tersebut. Padahal, stasiun televisi mereka menggunakan frekuensi publik sehingga pemanfaatannya pun seharusnya untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi khalayak.
Oleh karena itu, publik layak mengapresiasi sejumlah media yang tetap kukuh memelihara independensi mereka dari tarikan kepentingan politik praktis maupun godaan kepentingan bisnis sesaat pada tahun politik sekarang ini.
Baca juga: Presiden minta media massa dorong pemilu jujur dan adil
Bias
Amir Machmud yang juga dosen Jurnalistik di sejumlah perguruan tinggi melihat, saat ini ada fenomena bias di kalangan media, yang ditandai dengan praksis dan orientasi berjurnalistik yang jauh dari nilai-nilai jurnalistik itu sendiri.
Padahal, media massa memiliki panduan berupa Undang-Undang Pers sehingga substansi produknya haruslah memberikan edukasi dan kontrol sosial, yang dibingkai oleh Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Dalam menjalankan tugas profetiknya, menurut dia, KEJ harus dijadikan semacam ekspresi yang keluar dari pori-pori kulit kewartawanan.
Amir mengamati bahwa ada kecenderungan menguatnya dikotomi-dikotomi, yang antara lain, terbentuk dari pertarungan opini di media sosial dan media.
“Yang perlu dikhawatirkan adalah polarisasi yang memicu timbulnya dikotomi-dikotomi, misalnya, klaim bahwa ini Pancasila, ini nggak, ini nasionalis yang sana tidak, dikotomi gender, dan lain-lain," ujarnya.