Banda Aceh (ANTARA) - Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh menyebut produksi komoditas bawang merah di provinsi paling barat Indonesia itu 10.090 ton per tahun, namun belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat yang mencapai 17.962 ton per tahun.
Kepala Bidang Hortikultura Distanbun Aceh Chairil Anwar di Banda Aceh, Kamis, mengatakan defisit bawang merah merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh petani setempat.
“Karena memang produksi kita selalu defisit. Seandainya kita berharap produksi petani di Aceh maka bawang merah kita tidak cukup untuk konsumsi,” katanya.
Ia menjelaskan hortikultura merupakan salah satu komoditas yang dapat menyebabkan terjadinya inflasi, terutama dua komoditi seperti cabai merah dan bawang merah.
Di Aceh, kata dia, produksi bawang merah sebanyak 10.090 ton per tahun, sedangkan kebutuhan konsumsi masyarakat mencapai 17.962 ton. Sementara untuk produksi cabai merah di Aceh masih surplus, yakni mencapai 21.504 ton per tahun, sedangkan kebutuhan konsumsi masyarakat 19.268 ton per tahun.
“Dari kebutuhan (bawang merah) kita, kita masih banyak pasokan dari luar, sehingga naik turunnya harga barang juga dipengaruhi pasokan dari luar,” ujarnya.
Sementara untuk cabai merah, lanjut Chairil, angka produksi di Aceh selalu surplus setiap tahun. Namun harga cabai sering berfluktuasi akibat komoditi tersebut tidak berproduksi sepanjang bulan.
“Jadi pada bulan tertentu cabai banyak produksinya, ada bulan tertentu produksinya sedikit, sehingga cabai itu paling cepat terjadi fluktuasi harga, karena barangnya cepat rusak dan tidak bisa disimpan banyak,” ujarnya.
Oleh sebab itu, kata dia, Pemerintah Aceh melalui Distanbun Aceh terus berupaya melalui berbagai program guna menggalakkan warga Aceh untuk berusaha tani terutama bawang merah, karena juga akan sangat menguntungkan dari segi bisnis.
“Garis besar yang belum memenuhi kebutuhan (cuma) bawang merah, kalau cabai surplus, kalau sayur kita banyak didukung dari dataran tinggi seperti Aceh Tengah dan Bener Meriah,” ujarnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia mengingatkan agar Provinsi Aceh mengurangi impor komoditas pangan atau makanan antar daerah, karena akan berdampak pada lambatnya laju pertumbuhan ekonomi daerah itu.
Kepala Bank Indonesia Provinsi Aceh Rony Widijarto mengatakan pertumbuhan ekonomi Aceh masih didominasi sektor primer yakni pertanian. Sejauh ini potensi sektor pertanian Aceh masih belum dioptimalkan dalam peningkatan nilai tambah dari hilirisasi.
“Kita lihat konsumsi rumah tangga (di Aceh) cukup tinggi, namun kita lihat dampaknya impor antar daerah tinggi, artinya itu (komoditi) banyak dipenuhi dari provinsi luar Aceh,” kata Rony.
Baca juga: Pemkab Pidie optimis bisa produksi 170 ribu ton padi di musim rendengan