Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum pidana, Muladi menegaskan bahwa penundaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) harus disahkan, meski ada penundaan.
"Pokoknya jangan sampai gagal. Ditunda boleh, tetapi kalau gagal berarti kita cinta pada penjajahan," ujar Muladi dalam temu pers terkait RKUHP di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Jumat.
Salah satu tim ahli yang ikut dalam penyusunan RKUHP itu mengatakan, telah mempertimbangkan Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia, serta asas-asas hukum umum dan adat sebagai pengujinya (testing stone).
Dalam hal ini, mencakup filosofi, kriminalisasi perbuatan-perbuatan dipidana, sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, dan sanksi pidana.
Mengenai hal yang baru di dalam RKUHP, kata Muladi di antaranya adalah perluasan pidana kesusilaan, perzinahan, pencabulan, dan pemerkosaan.
Guru Besar Universitas Diponegoro itu menambahkan kalau RKUHP juga telah mengembangkan suatu alternatif pidana kurungan penjara. Sehingga tidak benar jika dikatakan kalau RKUHP akan memenjarakan jutaan orang.
"Tidak semuanya itu dipenjara, nanti bisa-bisa penjara penuh. (Pidana) yang lima tahun ke bawah itu bisa diganti dengan denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial, tapi nanti hakim yang memutuskan," kata Muladi.
Oleh karena itu, ia mengklaim RKUHP justru akan mengurangi kapasitas berlebih di Penjara.
Ia juga mengaku telah mengkaji semua masukan dari masyarakat, meski tidak semuanya dimasukkan 100 persen.
"Tidak semuanya masukan kami proses, tapi pasti kami pelajari. Tidak kami sepelekan," kata Muladi.